A Door Forever Closed
Evan masih ingat betul pertemuan terakhirnya dengan Vale di Singapura. Saat itu, Evan mengucapkan satu kalimat yang masih ia sesali sampai sekarang. Kalimat yang dampaknya lebih besar dari yang ia kira. Saat itu, Vale menangis hebat dan memohon Evan untuk menarik kembali ucapannya. Evan panik. Ia benci melihat Vale menangis. Ia benci melihat perempuan itu tersakiti oleh ucapannya sendiri.
Alasan itu yang membuat Evan mencium Vale. Ia berharap ciuman itu bisa meredakan semuanya. Namun justru sebaliknya, Vale menolak, bahkan mengigit bibirnya yang perihnya masih ia ingat sampai sekarang. Evan sadar, ia malah melakukan kesalahan lain. Kalau seandainya jarum infusnya tidak lepas saat itu, mungkin hubungannya dengan Vale bisa lebih buruk dari sekarang.
Namun bukan berarti masalah mereka selesai. Semuanya mendadak berubah. Vale jarang memberi kabar. Pesan Evan sering tidak dibalas. Perempuan itu mungkin beralasan sedang sibuk dengan tugas akhirnya. Namun semakin lama, Evan khawatir kalau itu hanya alasan Vale untuk menjauh darinya.
Maka dari itu, setibanya di Indonesia, Evan langsung pergi menuju rumah Vale. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. Ia tidak ingin membiarkan celah sedikitpun tercipta di antara mereka. Evan merasa perlu menemui perempuan itu sebelum terlambat. Ia belum siap berpisah dengan Vale. Ia ingin mereka mencari jalan keluar bersama-sama.
Evan telah sampai di depan pintu utama rumah Vale. Saat mengetuk pintu tersebut, Evan berharap Vale yang menyambutnya. Namun justru bukan Vale yang berdiri di sana. Melainkan seorang pria bernama Bachtiar yang menatapnya dingin dan tampak tidak suka dengan kedatangannya.
Evan cukup terkejut dengan penyambutan itu. Namun ia berusaha mengabaikan dan tetap menyapa Bachtiar ramah. “Siang, Om! Vale nya ada? Tadi saya udah chat dia mau ke sini. Katanya Vale lagi di rumah.”
Wajah Bachtiar mengeras. Semakin menunjukkan ketidaksukaannya. “Vale sedang sibuk. Dia harus fokus menyelesaikan tugas akhirnya. Saya tidak mau ada yang mengganggu.”
Evan tercekat, tidak menyangka kehadirannya ditolak. “Saya cuman ingin ketemu sebentar aja, Om. Saya nggak akan ganggu Vale.”
“Saya sudah peringatkan kamu untuk fokus pada diri kamu sendiri. Tapi kamu tetap saja mengganggu Vale dan memintanya melakukan hal-hal yang tidak penting untuk masa depannya.” Bachtiar menghela napas berat. “Saya sudah cukup baik dengan memperingatkan kamu secara halus tapi sepertinya kamu tidak menangkap maksud saya.”
Evan terdiam. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Bachtiar mendekat. “Saya akan tegaskan sekarang. Kamu harus ingat, hubungan kamu dan Vale dari awal hanya karena bisnis. Dan sekarang, bisnis itu sudah jelas gagal. Kamu sudah tidak punya hak lagi untuk bersama Vale. Jadi jangan habiskan waktu Vale untuk sesuatu yang sudah jelas harus diakhiri. Biarkan dia fokus dengan masa depannya.”
Napas Evan tercekat. Kalimat Bachtiar terasa begitu menusuk. Seolah bukan hanya menegaskan kegagalan yang selama ini berusaha Evan abaikan, tapi juga menggaungkan ketakutannya sendiri.
Apa Vale juga berpikir begitu? Apa dia sengaja menjauh karena memang sudah tidak ada alasan lagi untuk mereka bertahan? Apakah Vale mengiyakan kemungkinan yang Evan bicarakan kemarin menjadi sebuah kenyataan yang membuat mereka benar-benar harus berpisah?
“Om, saya tau hubungan saya dengan Vale awalnya hanya karena bisnis. Tapi bagi saya, Vale lebih dari itu sekarang.” Suara Evan bergetar, tapi matanya tegas menatap Bachtiar. “Saya nggak bisa pisah dari Vale. Vale juga punya pemikiran yang sama. Tolong kasih kami kesempatan sekali lagi. Biarkan kami yang tentukan sendiri soal hubungan kami.”
Bachtiar terdiam beberapa detik lalu menjawab, “Dalam sebuah bisnis, keputusan tidak bisa diubah hanya berdasarkan perasaan saja. Kamu tentu masih ingat hubungan ini terikat oleh sebuah perjanjian. Dan di dalam surat perjanjian itu, jelas tercantum kalau urusan bisnis antara keluarga kita gagal, maka kamu harus melepaskan Vale.”
“Saya janji bakal jagain Vale baik-baik, Om. Saya nggak akan menyakiti dia. Tolong, Om. Saya nggak tau gimana cara melanjutkan hidup saya kalau bukan sama Vale.”
Bahkan ketika Evan sudah memohon-memohon, tatapan dingin Bachtiar tetap tak berubah.
“Perasaan kamu tidak bisa mengubah apapun, Evan. Perjanjian sudah jelas. Kamu harus menepati bagian yang sudah kamu dan Vale setujui sendiri. Saya dan ayah kamu punya bukti surat yang sudah kalian tanda tangani berdua. Silakan minta surat itu ke ayah kamu kalau kamu butuh buktinya.”
Bachtiar menjeda kalimatnya saat melihat sepasang mata Evan memerah.
“Om berharap kamu bisa mengerti, Evan. Tunjukkan kedewasaan kamu dalam menyikapi ini. Tolong jangan temui Vale dulu. Setelah rapat tahunan selesai, datanglah ke sini bersama orangtuamu. Kita selesaikan urusan bisnis keluarga kita sekaligus hubunganmu dan Vale dengan baik.”