Anak Baru

Freya sudah menerima jika ia harus pindah sekolah. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi ekspetasi sang ibu. Namun melihat siapa yang menjadi teman sekelasnya membuat Freya ingin menarik mundur waktu saat ia menerima tawaran sang ibu. Ini gawat. Bisa-bisa identitasnya terkuak.

Ia pun menyadari bukan hanya Justin yang ada di kelas ini. Ada kevin serta anak geng Sweet Escape lain yang berbeda kelas. Mereka memang tidak saling mengenal. Namun sebagai sesama pembalap tentunya mereka pernah sesekali bertegur sapa.

Untung saja selama ini Freya tidak pernah menampakkan wajahnya. Kalau sampai mereka tahu wajah aslinya, image-nya sudah rusak di hari pertama bersekolah.

Freya menyadari tatapan aneh Justin. Apakah lelaki itu mengenalinya? Semoga saja tidak. Kalaupun iya, semoga saja Justin mau menjaga rahasianya.

Hari pertama Freya di sekolah baru masih biasa saja. Tidak ada yang istimewa kecuali Justin. Lelaki itu belum menegurnya sampai sekarang. Namun sesekali Freya memergoki Justin mencuri pandang padanya.

Sesuai tebakan Freya, sulit untuk gadis itu beradaptasi dengan lingkungan baru. Buktinya ia belum mendapatkan teman. Ada beberapa siswa yang mengajaknya ke kantin, tapi ditolak. Freya hanya belum siap menghadapi situasi canggung nantinya.

Sebenarnya ada seorang teman yang ia kenal di sini. Namanya Samuel. Mereka pernah satu SMP sebelum akhirnya Freya memutuskan memilih SMA yang berbeda. Lelaki itu sangat senang ketika mendapat kabar kalau ia akan kembali satu sekolah dengan Freya.

Samuel sudah berjanji akan mengunjungi Freya saat jam istirahat. Benar saja, lelaki itu terlihat melambai di ambang pintu kelasnya. Mood Freya langsung naik. Ia seperti menemukan penyelamat yang akan membantunya keluar dari gua tanpa cahaya.

“Kenapa nggak ke kantin sama temen sekelasmu?” tanya Samuel saat Freya sudah berdiri di hadapannya.

“Nggak mau, malu,” jawab Freya dengan raut cemberut yang membuat Samuel tertawa.

“Ya, udah. Kamu mau beli apa? Aku yang traktir!”

“Serius?”

“Serius. Ini buat menyambut kamu di Taruna Bangsa!”

“Oke! Aku bakal pesen banyak kalo gitu!”

Keduanya tertawa. Mereka lalu melangkah berdampingan menuju kantin.


“Gimana sama temen-temen kelas kamu, Fre?” tanya Samuel sembari mereka menikmati piring siomay masing-masing.

“Mereka baik kok! Tadi aja ada yang ngajak aku ke kantin bareng.

Cuman akunya aja yang masih malu buat bareng mereka. Jadi aku tolak.”

“Lama-lama kamu juga bisa beradaptasi. Pelan-pelan aja. Kalo kamu masih belum bisa nyaman sama mereka, ada aku yang bakal nemenin kamu.”

Keduanya saling melempar senyum.

Ketenangan bersama dua piring siomay itu tak bertahan lama. Suasana kantin mendadak heboh oleh tawaan segerombol anak laki-laki yang baru saja memasuki kantin. Freya langsung menyembunyikan wajah. Ada Justin di antara mereka.

Sepertinya Justin tidak menyadari keberadaan Freya. Gerombolan itu mengambil meja paling pojok untuk dijadikan tongkrongan. Freya melirik mereka dan langsung memutar kepalanya cepat saat hampir bertemu pandang dengan Justin.

“Kenapa, Fre?” tanya Samuel yang melihat gelagat aneh dari Freya.

“Enggak. Cuman kayaknya ada temen sekelasku di gerombolan yang baru masuk tadi.”

Samuel lantas melempar pandang ke arah pojok. Meneliti satu persatu anak di sana yang mungkin satu kelas dengan Freya.

“Oh,” ucap Samuel saat ia berhasil menemukan anak yang dicari. “Si Justin sama Kevin? Seingetku mereka satu kelas sama kamu.”

Mendengar namanya saja Freya sudah hampir memukul meja. Berarti benar, dua orang itu kini jadi teman sekelasnya. Sial, Freya benar-benar sial.

“Iya, mungkin. Aku belum kenalan sama semua temen sekelasku.”

“Kalau sama mereka nggak usah kenalan, Fre.”

“Kenapa?”

“Ya, liat aja mereka gimana. Suka bikin gaduh. Tiap hari cuman bikin masalah. Nggak perlu aku larang juga kamu pasti nggak mau temenan sama mereka.”

Samuel salah. Justru Freya penasaran bagaimana sosok Justin di luar arena. Apakah lelaki itu akan memperlakukan Freya sebaik saat ia memperlakuakn Vanessa? Dan untuk mengetahuinya, jelas Freya harus berteman baik dengan Justin. Semoga saja tidak sulit.

“Nanti kamu pulang sama siapa?” tanya Samuel.

“Dijemput supir kayaknya.”

“Mulai besok, kamu berangkat-pulang sama aku aja, ya. Aku bawa mobil kok.”

“Aku mau aja sih. Tapi nggak tau mamah ngizinin apa enggak.”

“Nanti aku yang minta izin ke mamah kamu.”

Freya menyetujui usulan Samuel. Pandangannya berpendar. Jatuh pada meja paling pojok di mana Justin berada. Tak butuh waktu lama untuk Freya memalingkan wajah. Sebab Justin ternyata tengah menatapnya juga.


Justin bukan tipe cowok yang gampang tertarik sama cewek. Kalau sudah ada satu cewek yang menurutnya menarik, maka tidak akan ada celah untuk cewek lain masuk ke hati Justin. Namun kali ini Justin meragukan pendiriannya. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memandang cewek yang baru saja jadi teman sekelasnya.

Mengenai cewek yang saat ini ada di hati Justin, tentu saja itu adalah Vanessa. Cewek yang bahkan belum pernah ia lihat wajahnya itu akhir-akhir ini sering menghantui pikiran Justin. Apalagi Vanessa sudah berjanji akan menunjukkan wajahnya. Justin jadi berharap secepatnya bertemu hari itu.

Namun setelah kemunculan Freya, fokusnya jadi sedikit teralihkan. Dia merasa tidak asing. Walaupun Justin yakin itu adalah pertama kalinya mereka bertemu. Awalnya Justin pikir semua ini hanya perasaannya saja. Namun saat ia bertemu Freya di kantin, keyakinannya memudar.

Saat pertama kali Justin melihat Freya, ia langsung terbayang wajah Vanessa. Sepasang mata cantik itu mirip sekali dengan milik Vanessa. Suaranya juga tak kalah mirip. Walaupun milik Freya terdengar lebih lembut. Namun sebagai seseorang yang sering berbicara dengan Vanessa, Justin yakin suara milik keduanya benar-benar mirip.

Kecurigaannya semakin bertambah saat Freya juga memiliki luka di pelipis. Luka yang Vanessa tunjukkan semalam. Apakah Freya dan Vanessa adalah orang yang sama? Justin sulit mempercayai. Keduanya memiliki aura yang sangat berbeda. Tidak mungkin cewek polos seperti Freya ternyata seorang Vanessa yang ganas di jalanan.

Tak!

Justin melongok ke bawah meja Kevin. Kebetulan teman sebangkunya masih di luar. Ada sebuah bolpoin jatuh di sana. Bukan miliknya, bukan juga milik Kevin. Namun milik seorang cewek yang duduk tak jauh darinya, Freya.

Freya tampak menatap bolpoinnya. Dalam hati ia mengutuk mengapa bolpoin itu harus jatuh ke sana. Pandangannya naik, menatap Justin. Diem aja nih? Nggak mau bantu ambil?

“Minta tolong ambilin bolpoin gue boleh?” pinta Freya sambil menahan gugup.

Justin tak langsung merespons. Lelaki itu kembali menatap bolpoin Freya. Bukan tangan Justin yang bertindak, melainkan kakinya. Ia menendang bolpoin Freya sampai ke bawah kursi cewek itu.

Freya terkejut. Tidak menyangka Justin akan menendang bolpoinnya alih-alih mengambilnya dengan sopan. Lelaki itu tampak tak merasa bersalah. Ia kembali fokus pada ponselnya tanpa memperdulikan Freya yang jadi kesal.

Bolpoin itu diambil kasar. “Makasih!” ujar Freya sewot. Apa-apaan? Seharusnya Justin tidak sekasar ini. Sangat berbeda dengan Justin yang ia kenal di Sentul. Apa Justin hanya baik pada orang yang sudah ia kenal dekat? Tapi tetap saja, bukankah sikapnya tadi terlalu kasar terhadap cewek?

”Awas aja! Bakal gue bales nanti malem di arena!”