Arsa Bertemu Sesal

Mobil Arsa terparkir mulus di halaman kontrakan sahabatnya, Aji. Ia keluar dari mobilnya dan mendapati sebuah motor matic berwarna merah yang ia kenal milik Maura, pacar Aji. Dua sejoli itu masih menunggunya.

“Mikom!” teriak Arsa sambil membuka pintu bermaksud mengagetkan keduanya. Berhasil. Aji dan Maura yang lagi makan bareng terkejut. Mana si Aji keselek.

“Pelan dong, Sa!” tegur Maura yang langsung menyodorkan air pada Aji.

“Gue kira lagi di kamar,” balas Arsa cengengesan lalu duduk di hadapan mereka.

“Anjing lu, Sa,” umpat Aji.

“Lo mau ngomong apa sama gue, Ra?” tanya Arsa pada Maura.

“Lo beneran lagi deket sama Alana? Udah nggak sama Shofi lagi?”

“Alana kan temen sekelas gue.”

“Lo tau jelas apa maksud gue, Sa.”

Arsa menghempaskan punggungnya di sandaran sofa. Melihat temannya tampak frustasi, Aji melemparkan sekotak rokok ke hadapan Arsa.

“Sebat dulu biar seger.”

“Gue nggak nyebat di depan cewek.”

Jawaban Arsa membuat Aji yang sedang memantik rokoknya jadi terhenti. Ia melirik Maura lantas mendengus. Rokok yang sudah terapit kembali diletakkan di meja.

“Aji tadi udah ceritain semuanya ke gue. Kayaknya lo salah paham, Sa. Alana nggak seburuk itu. Dia bener-bener terpaksa jual barang dari lo,” tambah Maura.

“Tetep aja dia harus izin ke gue, kan? Gimanapun itu barang dari gue,” sanggah Arsa.

“Ya, tapi lo udah kasih ke Alana kan? Berarti barang itu udah jadi hak miliknya Alana. Dia bebas mau ngapain aja sama barangnya. Kalo dia pinjem ke lo, baru lo ada hak buat marah.”

Arsa mulai tersadar. Benar juga apa yang dibilang Maura. Namun yang Arsa permasalahkan di sini adalah sikap Alana yang ia anggap tidak menghargai pemberiannya. Apalagi Arsa sama sekali belum pernah melihat barangnya dipakai oleh cewek itu. Arsa membeli semuanya untuk Alana pakai, bukan untuk dijual.

“Ya lo coba pikir, Ra. Misal lo ngasih barang ke Aji, tapi si Aji malah jual barangnya. Lo terima nggak? Kecewa kan lo?”

Maura langsung melirik Aji. Yang dilirik jadi salah tingkah dan memukul Arsa. “Lo yang bener aja ngasih contohnya. Mau gue ribut sama Maura?”

“Ya, tapi sa … Alana tuh terpaksa jual barang dari lo. Dia butuh uang. Bokapnya harus dioperasi dan butuh duit secepatnya. Dia nggak punya pilihan lain selain jual barang dari lo.”

Kepala Arsa mendongak cepat. “Bokapnya Alana dioperasi?”

Maura mengangguk. “Kemarin pas gue cod sama dia, kita sempet ngobrol. Karena dia butuh persetujuan dari gue kalo suatu saat barang pembelian gue bakal diambil lagi sama dia. Dia bilang kalo ada uang pun, dia nggak akan pernah jual barangnya. Dia bener-bener keliatan terpaksa.”

Arsa hanya diam mendengar penjelasan Maura. Sedangkan Aji sibuk dengan ponselnya sambil memainkan rambut panjang Maura.

“Trus gue tanya, kenapa harus ditarik balik barangnya? Nggak sekalian dijual aja? Lagipula sama dia kan nggak pernah dipake. Di sisi lain, gue juga naksir banget sama barangnya. Tapi dia langsung nolak. Lo tau alasannya apa, Sa?”

Arsa tidak menjawab. Dia terlalu takut mendengar apa yang dijawab Alana. Bahkan detak jantungnya sudah meningkat. Akan ada sebuah penyesalan yang menghampiri Arsa sebentar lagi.

“Karena barang yang dia jual itu dari cowoknya, cowok yang dia suka. Dia seneng banget bisa dapet barang-barang itu. Bahkan dia sempet nangis pas harus ngerelain barang-barang itu jatuh ke tangan orang lain. Lewat matanya, gue bisa liat sebenernya dia nggak ikhlas jualin barangnya.”

Selamat datang di ruang penyesalan, Arsa Gautama.

“Pas gue balikin barangnya, dia keliatan lega banget. Dia bilang kalo dia nyesel udah jualin semua pemberian cowoknya sampe cowoknya marah. Katanya dia mau buru-buru ngabarin cowoknya, berharap cowoknya mau maafin dia. Alana udah bilang ke lo kan, Sa? Lo maafin dia, kan?”

Tidak, Arsa tidak memaafkan Alana. Bahkan dia menyuruh Alana untuk membakar semua pemberian darinya.

“Diliat dari ekspresi lo, kayaknya lo nggak maafin dia.”

Arsa meraup wajahnya dengan helaan napas kasar. “Alana nggak cerita apapun sama gue! Gue mana tau alasan dia ternyata kaya gitu!”

“Ya, elo nggak kasih dia kesempatan kali.”

Lelaki itu memijit pelipisnya. Benar, semua yang dibilang Maura benar. Arsa tidak memberikan kesempatan pada Alana untuk menjelaskan semuanya. Semua ini salah Arsa.

“Sekarang lo samperin dah orangnya, minta maaf.” Akhirnya Aji bersuara.

Tanpa pikir panjang, Arsa langsung menyambar kunci mobilnya dan pergi meninggalkan Aji dan Maura.

“Makasih, Ra,” ujar Arsa sambil berlalu.

Makasih udah nyadarin kalo gue bener-bener bego soal Alana.


Sudah berulang kali Arsa memanggil Alana, namun tidak ada jawaban dari cewek itu. Pesannya juga tidak dibalas satupun. Arsa jadi khawatir.

Salah seorang penghuni kos keluar. Arsa langsung mencegatnya.

“Misi mba, Alana ada di dalem nggak?” tanya Arsa.

“Nggak ada, Mas. Anaknya sejam yang lalu baru aja pergi. Mau pulang katanya.”

“Pulang? Pulang ke mana?”

“Kalo nggak salah Surabaya deh.”

“Surabaya?!”

Arsa cukup terkejut. Jarak Jakarta dan Surabaya cukup jauh. Butuh waktu sekitar 10 jam menggunakan mobil atau kereta. Mengapa Alana mendadak pergi sejauh itu?

“Coba aja disusul, Mas. Siapa tau anaknya masih di stasiun.”

“Oke, oke. Makasih banyak ya, Mbak!”

Arsa bergegas kembali ke mobilnya dan melesat menuju stasiun. Berharap masih dapat menemui Alana untuk meminta pengampunan. Namun harapannya tak direstui semesta.

Alana telah pergi. Meninggalkan Arsa dengan segudang penyesalan di hati.