Bad Habits
Lagu In The Name of Love milik Martin Garrix dan Bebe Rexha menggema. Penjaga kasir itu punya selera yang bagus juga. Jarvis sesekali bersenandung. Dengan sebotol kopi kemasan dalam genggaman, ia duduk di pelataran minimarket sembari menatap lalu lalang kendaraan.
Tidak seharusnya dia di sini, Jarvis paham betul. Entahlah, mendadak dia malas mengikuti pertandingan setelah pak Angga menyapanya di parkiran. Pria itu menunggu piala kemenangan dari Jarvis, katanya. Seharusnya dia bersyukur Jarvis sudah mau turun ke lapangan. Tidak usah segala menuntut banyak hal.
Kepalanya mengangguk kecil selaras dengan musik yang didengar. Tidak peduli pertandingan itu akan kacau karenanya. Salahkan saja Angga yang sudah merusak mood Jarvis.
“KAK JARVIS!!!!”
Jarvis tersedak sampai kopinya menyembur membasahi celananya. Kepalanya mendongak dan mendapati seorang gadis tengah berlari tergesa ke arahnya. Suaranya lantang bukan main. Lelaki itu berdecak sambil mengelap celananya.
“Kakak ngapain di sini?” tanya gadis bernama Rissa itu. Dia berdiri di hadapan Jarvis dengan napas yang hampir habis. Rambutnya berantakan. Basah, entah karena keringat atau air mata.
“Duduk,” jawab Jarvis enteng. Dia bahkan masih sempat menenggak kopinya.
“Kakak nggak lupa kan hari ini ada pertandingan?”
“Nggak, bentar ya. Tadi ban motor gue bocor pas mau berangkat.”
Jarvis baru sadar gimana kacaunya Rissa sekarang. Mendadak ada rasa bersalah menjalar di hatinya. Tanpa ditanya pun, sudah jelas alasan di balik kacaunya gadis itu. Ah, kenapa dia sampai lupa ada Rissa di balik pertandingan itu?
Mendengar jawaban Jarvis, Rissa sontak meluruh ke lantai. Segala emosinya membludak. Air mata yang sedari ditahan merembes keluar. Rissa menyembunyikan wajah dalam dekapan tangannya dan meraung.
Rissa sangat takut. Proker yang selangkah lagi menuju keberhasilan akan gagal. Dia sudah mengorbankan segalanya untuk ini. Dia sudah bahagia mendapatkan banyak kepercayaan dari kakak kelasnya. Dia sudah bangga berhasil membujuk Jarvis untuk ikut pertandingan. Namun semuanya hampir saja pupus.
“Loh ris?!” Jarvis panik lantas turun dari kursinya. “Kenapa hei?” bujuknya sambil menepuk bahu Risaa pelan.
“Gue kira kak Jarvis nggak akan dateng. Gue takut banget nggak bisa ketemu lo, Kak. Gue udah cari kemana-mana. Udah telfon dan chat lo, tapi lo nggak bales. Gue takut banget lo nggak dateng kak,” jawab Rissa dengan suara bergetar.
“Gue udah mikir macem-macem. Gue kira lo mau mainin gue, mainin semua panitia. Tapi ternyata lo ada masalah. Maafin gue udah nethink sama lo, Kak.”
Dada Jarvis bergemuruh. Alasannya tadi bahkan hanya alibi, tidak benar-benar terjadi. Apa yang dipikirkan Rissa, apa yang dia bayangkan adalah alasan sebenarnya. Jarvis memang sengaja tidak datang ke pertandingan. Ban motornya baik-baik saja. Namun Rissa malah meminta maaf atas kebohongan Jarvis.
Jarvis merogoh sakunya. “Hape gue ketinggalan di rumah, Ris. Maaf.” Kali ini Jarvis tidak berbohong. Pantas saja ia merasa ada yang tertinggal.
Gadis itu masih saja menangis. Jarvis merasakan sebuah gejolak perasaan yang luar biasa. Dia benar-benar egois.
Ada sebuah kantung plastik yang digenggam Rissa. Jarvis mengintip isinya. Jantungnya mengentak keras. Itu pocari sweat.
“Duduk di atas, Ris. Jangan kaya gini. Nanti seragam lo kotor.”
Rissa sedikit mendongak untuk menghapus air matanya. “Maaf jadi ngerepotin lo, Kak. Gue malah nangis gini.”
Tolong jangan semakin membuat Jarvis merasa bersalah, Ris.
Jarvis membantu Rissa untuk duduk. Dia bingung. Tidak ada tisu, tidak ada air minum. Apa yang harus dia berikan pada gadis itu?
“Ini minuman buat kita, kan?” tanya Jarvis sambil menunjuk kantung plastik milik Rissa.
Rissa mengangguk. “Pesenan lo, Kak.”
Jarvis segera mengambil salah satu botol lalu membukanya. Ia lantas mengulurkannya pada Rissa. “Diminum dulu.”
Sejenak Rissa menatap botol yang telah dibuka Jarvis. Pandangannya naik menatap Jarvis. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar menerima botol dari Jarvis.
“Lo minum juga, Kak,” pinta Rissa. Ia bersorak dalam hati kala Jarvis mengangguk.
Rissa menatap Jarvis yang tengah minum. Pandangannya beralih pada botol dalam genggaman. Gue sama Kak Jarvis minum pocari sweat bareng.
“Btw, kenapa cuman lo yang nyari gue?”
“Temen-temen lo juga nyariin dari tadi, Kak.”
“Bukan, maksud gue nggak ada panitia lain yang nemenin lo?”
Rissa menggeleng ragu.
Tatapan Jarvis meredup.
“Gue mau ketemu mereka sebelum tanding.”