Balapan Goes Wrong
“YEAY!”
Melihat sang kekasih berdiri di daun pintunya, Freya lantas melompat ke pelukan Justin. Tubuh Justin agak terhuyung, tapi dengan sigap ia memasang kuda-kuda agar tak terjatuh. Kedua tangannya yang kekar melingkar tepat pinggang ramping perempuannya. Tepukan pelan mendarat di pantat Freya.
“Oh ini anak kecil yang dari kemaren nakal, hm? Kamu tuh kecil banget tau nggak? Liat nih liat! Aku bisa gendong kamu pake satu tangan!”
“Kyaa!!! Justin turunin ih!”
Freya berteriak kecil seraya menepuk bahu Justin dengan panik saat lelaki itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan.
Justin tertawa gemas lantas menurunkan tubuh Freya. Namun raut wajahnya kembali ditekuk saat bertatapan dengan Freya. Kedua tangannya terlipat di dada, seperti hendak menghakimi Freya. Bukannya takut, Freya malah meniru apa yang dilakukan Justin.
“Anak nakal!” tuding Justin sambil menunjuk Freya dan menusuk pipi gembul Freya dengan telunjuknya.
“Sakitttt!!!”
“Makanya jangan nakal! Kamu tuh kecil, mungil, dari jarak semeter aja udah nggak keliatan! Nih aku aja bisa ngangkat kamu kaya gini,” ujar Justin dengan menarik kerah belakang Freya, persis seperti sedang mengangkat seekor anak kucing.
Freya langsung berontak. “Bully aja terus!!! Mentang-mentang badannya gede!!”
Lelaki itu membalasnya dengan menggosok pucuk kepala Freya berkali-kali, bahkan semakin lama gosokan itu semakin kuat. Entahlah, malam itu Justin begitu gemas dengan Freya. Mungkin karena efek ngambek seharian yang bikin dia harus nahan diri buat nggak manja-manjaan atau sekedar menusuk pipi lembut Freya. Cuman sehari aja dia udah nggak tahan gini. Ini kalo seandainya Freya bukan jodohnya gimana ya? Kayaknya Justin bakal gila.
“Papa mama nggak di rumah?”
Freya menggeleng. “Tapi kayaknya bentar lagi ada yang pulang. Jalan sekarang yuk! Daripada nanti keburu mereka pulang malah kita nggak jadi pergi.”
“Bagus dong! Biar nggak usah balapan.”
Freya menaruh kedua tangannya di pinggang, kesal. Tawa Justin lantas menggelegar.
“Iya, iya, ayo jalan! Keluarin dulu motornya.”
“Awas ati-ati ada genangan.”
“Iya, udah liat.”
Justin dan Freya berhenti ketika lampu lalu lintas berubah merah. Posisi motor mereka berada di sebelah mobil yang dengan percaya dirinya menempati pemberhentian kendaraan roda dua. Justin berada di belakang Freya. Membiarkan pacarnya yang memimpin perjalanan agar tak tertinggal. Ini terasa lebih aman karena Justin bisa mengawasi Freya sepenuhnya.
Terdengar suara knalpot yang begitu menggelegar. Justin lantas mengintip dari kaca spion. Oh, sepertinya itu salah satu anak arena. Justin tidak asing dengan motor sport merah yang dikendarainya. Namun sepertinya ia tidak berniat ke arena. Lampu sein kirinya menyala.
Tampaknya orang itu juga mengenal Justin. Ia menggeber motornya ketika melewati Justin, bermaksud mengejek. Namun Justin hanya membalasnya dengan menekan klakson. Lagi pula hal semacam pamer suara mesin udah biasa dilakuin di arena. Jadi Justin nggak begitu baper pas tiba-tiba digeber tanpa alasan.
Namun ada hal lain yang memancing emosi Justin. Orang itu dengan sengaja melaju cepat ketika melewati genangan air yang berada di samping Freya. Apa jadinya? Apalagi kalo bukan airnya muncrat dan mengguyur hampir seluruh tubuh Freya. Genangan air itu cukup dalam. Bisa dibayangkan seberapa banyak air yang membasahi tubuh Freya.
Freya berteriak histeris. Air genangan itu bahkan sampai masuk ke mulutnya.
“WOY!!!!” teriak Justin yang langsung menyalakan sein kiri dan mengejar motor itu.
“JUSTIN!” panggil Freya lantas bergegas menyusul Justin.
Saling kejar-kejaran pun tak terelakkan. Justin menarik habis pedal gasnya. Amarah terasa bercokol di ujung kepala, bersiap meledakkan lavanya. Bayangan saat air genangan mengguyur tubuh Freya bagai pemantik yang membakar emosi Justin.
Si Jaguar, nama motor Justin, meliuk-liuk lihai di jalanan. Diiringi berisiknya klakson motor atau mobil yang hampir ditabrak atau menabrak Justin. Yang tampak di mata Justin hanya kilatan merah lampu belakang motor milik orang yang beraninya mengganggu pacarnya tepat di depan matanya sendiri. Justin seolah abai dengan padatnya lalu lintas malam itu, bahkan jika ada polisi pun Justin takkan mengurangi kecepatannya.
Tiba di jalanan cukup sepi, Justin makin menambah kecepatan. Ia berhasil menyusul motor itu dan dengan segenap emosinya, ia menendang motor itu hingga oleng dan jatuh ke trotoar. Justin menarik pedal remnya dalam hingga menggoreskan bekas ban di aspal.
Orang itu mengerang kesakitan karena tertimpa motor. Melihat Justin yang berjalan mendekat membuatnya bergegas bangun. Ia berlari terseok, lebih memilih menahan rasa sakit di kakinya daripada tertangkap Justin yang tampak begitu mengerikan berjalan di tengah kegelapan dengan menenteng helm di tangan kirinya. Namun tentunya mudah untuk Justin mengejar orang itu. Ia memukulkan helmnya ke punggung orang itu hingga ia tersungkur kembali.
“Gue lagi diem, Bro. Ngapain lo nyari masalah sama cewek gue?” tanya Justin mengintimidasi.
“Gue nggak sengaja, sumpah! Gue nggak sengaja! Nggak tau ada genangan di situ!”
“Ya lo minta maaf! Ngapa malah kabur!”
“Sorry, Bro! Sorry!”
“Halah! Ngucap sorry gampang! Cewek gue basah kuyup bisa kering sama kata sorry lo?! Sini lo!”
Justin lantas menarik kerah jaket orang itu dan menggeretnya. Kebetulan mereka berhenti di tepi aliran irigasi persawahan yang mengalir tenang. Tanpa ragu, Justin mendorong orang itu hingga tercebur ke sana. Irigasi itu tidak terlalu dalam, hanya sebatas lutut orang itu. Namun tetap saja membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.
“Ini baru impas! Gue tunggu di arena buat bayar geberan motor lo!”
Justin melenggang pergi. Tersenyum puas telah berhasil menuntaskan kekesalannya. Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Freya di mana anjir cewe gue!”
Ia langsung berlari kembali ke motornya. Tergesa-gesa mengenakan helm dan menyalakan motornya. Baru saja hendak berbalik arah, terdengar suara klakson dan teriakan seseorang.
“JUSTIN!”
Seseorang itu ternyata Freya. Dia berhenti di belakang motor Justin. Dengan pakaian yang masih basah, ia berlari kecil menghampiri Justin.
“Lo nggak apa-apa?!” tanya Freya tampak panik. “Tadi lo ngebut banget! Gue takut lo kecelakaan!”
Justin bergegas turun dari motornya dan memeluk Freya.
“Baju gue basah, Tin!”
“Makanya gue peluk biar kering.”
“Mana bisa begitu! Yang ada baju lo ikut basah!”
“Gapapa.”
“Jangan!”
Freya melepas pelukan Justin. Lelaki itu menatapnya sendu. “Maaf nggak bisa lindungin lo.”
“Ini bukan salah lo. Jangan minta maaf dong. Orangnya mana tadi? Kena nggak?”
Justin menunjuk dengan dagunya. “Lagi mandi sore.”
“Lo yang ceburin????”
Lelaki itu mengangguk bangga membuat Freya terbahak.
“Baju lo basah banget, Fre. Pulang aja yuk. Kalo dipake terus, nanti lo sakit.”
Freya menggeleng. “Kalo pulang kaya gini nanti dimarahin mamah.”
Justin berpikir sejenak. “Kalo pulang ke rumah gue ... gimana?”
“Eh?”
“Kayaknya ibu punya baju ganti buat lo. Lagian ... ibu udah lama pengen ketemu lo.”
Wajah Freya memerah. “Tapi masa gue ketemu ibu lo kaya gini sih??”
Justin tertawa. “Gapapa, ibu udah biasa kok ngeliat anaknya pulang bawa masalah.”