Berdamai dengan Masa Lalu
“Jadi mamah masih sering menekan Freya?”
“Nggak separah dulu sih, Dok. Tapi Freya merasa nggak nyaman. Rasanya pusing, apalagi Freya harus bisa nurutin kemauan mamah buat kuliah di luar negeri terus jadi model yang sebenernya nggak Freya inginkan. Freya bingung harus gimana, Dok.”
Freya memainkan jari-jarinya yang ia letakkan di atas meja. Memperhatikan gerak-gerik dokter Eriska yang menuliskan beberapa keluhannya. Beliau sudah lama bersamanya sejak SMA, lebih tepatnya saat ia mengalami trauma akibat kematian kakaknya.
Kini Freya sudah tidak memiliki jadwal konsul yang tetap. Dosis obat depresannya pun perlahan mulai dikurangi. Semenjak kuliah di luar kota, Freya sedikit merasa lebih bebas. Ya, karena ia jauh dari ibunya. Dan ia tak lagi mudah mengingat masa lalunya.
“Begini Freya, di dunia ini nggak ada satupun yang bisa bertanggung jawab atas kebahagiaan kamu. Hanya kamu, hanya kamu yang bisa membuat diri kamu bahagia. Sekeras apapun usaha orang lain untuk membuatmu bahagia, itu akan sia-sia kalau kamu memang nggak mau bahagia.
“Lakukan hal-hal yang bisa membuat kamu melupakan hal-hal yang bisa menekanmu. Mendengarkan musik, membaca buku, atau sekedar jalan-jalan ke taman dekat rumah sekalipun. Intinya yang bisa membuat pikiranmu fresh. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk itu mengendalikan kamu terus menerus, Freya. Jangan mau diperbudak sama mereka. Lawan! Dokter tahu kamu perempuan yang kuat. Kamu sudah bertahan sejauh ini, akan sia-sia kalau kamu menyerah.
“Saat kamu ingin menyerah, kamu hanya perlu bertahan satu hari lagi. Besok kalau mau nyerah lagi, kamu bilang ‘Aku mau tahan satu hari lagi.’ begitu seterusnya sampai kamu benar-benar menemukan arti bertahan yang sebenarnya.”
Perasaan Freya jauh lebih lega dari sebelumnya. Ya, dia hanya perlu bertahan. Sekeras apapun teriakannya untuk menolak semua ini tidak akan berarti apapun. Pada akhirnya dia harus menghadapinya dan ia yakin jiwanya cukup tangguh untuk bertahan.
Tungkainya melangkah ke luar dari ruang praktik dokter Eriska. Tak sengaja ia menabrak seseorang yang hendak masuk.
“Eh, maaf!” ujar Freya seraya membungkuk sedikit.
“Iya,” jawab seseorang yang mengenakan hoodie dengan tudung dan masker yang menutupi wajahnya. Ia mengangguk kecil kemudian berlalu dari Freya.
Suara itu, seperti tidak asing. Masa iya gue ketemu Justin lagi? Kayaknya nggak mungkin deh. Ngapain coba Justin ke sini? batin Freya lalu kembali melanjutkan langkahnya.
“Bagaimana kabar kamu, Justin?”
“Nggak baik, dok.”
“Bisa kamu ceritakan apa yang membuat kamu merasa nggak baik?”
Justin menurunkan tudung yang menyelumuti kepalanya. Masker putihnya dilepas. Eriska dapat melihat mata Justin menatapnya kosong dengan lingkaran mata yang menghitam. Bibirnya pucat. Jakunnya tampak kesulitan untuk meneguk ludah. Ia mengambil segelas air mineral dan menyerahkannya pada Justin. Namun tidak digubris oleh lelaki itu.
“Saya nggak tidur tadi malam. Saya terlalu takut. Mimpi itu kembali mendatangi saya. Kepala saya pusing. Perut saya mual tapi saya nggak bisa muntah. Saya sering merasa cemas tanpa alasan. Saya sudah coba menenangkan diri tapi gagal.”
Pena Eriska menari-nari begitu cepat seiring ucapan Justin yang begitu cepat, seakan ia mengucapkannya dalam satu tarikan napas. Tidak terdengar suara lagi dari Justin, Eriska lalu menatapnya. Kedua mata lelaki itu sudah basah. Eriska meletakkan penanya.
“Kamu mau rawat inap?” tawarnya yang langsung mendapat penolakan dari Justin.
Eriska menjeda sejenak. Memberikan waktu pada Justin untuk menenangkan dirinya. Seingatnya, terakhir kali Justin konsul, keadaannya tidak separah ini. Pasti ada pemicunya.
“Kamu sudah bertemu sama dia?”
Justin menunduk. “Belum, mungkin bentar lagi. Dia udah pulang.”
“Justin.” Lelaki itu mendongak, menatap sang dokter yang menaruh beban tubuhnya di atas meja. Ia berusaha memberi kesan pada Justin kalau kini seluruh atensinya hanya untuk lelaki itu. “Kamu harus mencoba untuk mengubah pandanganmu terhadap dia.”
Justin sedikit mengerutkan alisnya. “Bagaimana caranya, dok?”
“Dulu, dia adalah seseorang yang sangat kamu cintai bukan? Kamu bilang dia cinta pertama kamu. Perempuan yang kamu sayangi selain ibu. Masih ingat kamu pernah bilang gitu sama dokter?”
Netra Justin melebar sejenak membuatnya tampak lebih hidup. Ia mengangguk ringan.
“Cobalah pandang dia seperti itu lagi. Pandanglah dia sebagai seorang gadis yang kamu cintai. Bukankah dia sudah memaafkanmu? Walaupun dia tidak lagi mau menemuimu bukan berarti kamu yang salah. Dia hanya butuh waktu untuk menata hatinya.
“Semuanya sudah berlalu, Justin. Kamu tidak bisa terus berdiri di titik yang sama. Ini tidak sulit, Justin. Dokter yakin kamu bisa.”
Tidak ada jawaban dari Justin. Namun Eriska merasa ada setitik energi yang terpancar dari sorot mata lelaki berusia sembilan belas tahun itu. “Namun kamu tidak perlu memaksakannya. Cobalah sedikit demi sedikit mengikis kenangan buruk itu. Okay?” ujarnya diakhiri senyuman tulus. Justin sedikit mengangguk.
Eriska kembali mencoret-coret kertasnya. “Dokter buatkan resep obat yang harus ditebus di apotek. Dosisnya dokter tambah ya. Jangan lupa minum dengan teratur sampai habis. Nanti kalau ada keluhan lain, langsung hubungi dokter. Jangan lupa cerita sama orang tuamu ya, Justin.”
“Terima kasih, Dok,” jawab Justin lirih.
“Semangat dong!” ujar Eriska diiringi tawa membuat Justin tersenyum.
Now playing: Stray Kids – Ex
Justin berjalan lunglai ke pinggir jalan. Menanti mobil Grab yang akan mengantarnya pulang. Ia teringat pada ucapan dokter Eriska. Justin lalu membuka galeri dan memandangi foto yang dikirim Jayden.
Pandanglah ia sebagai gadis yang kamu cintai. Justin berusaha memutar kenangan indahnya bersama gadis itu. Kenangan yang membahagiakan tentunya. Namun sepertinya gagal. Pening mulai menderanya. Namun berusaha Justin tahan. Lama-lama tubuhnya mulai limbung. Tidak, ia tidak bisa.
Justin segera menutup ponselnya dan mengatur napas. Ia tidak boleh memaksakan diri. Bisa-bisa ia benar-benar akan dirawat inap.
Sepertinya kendaraan yang akan mengantarnya pulang itu masih lama. Ia menyeberangi jalan menuju kedai untuk membeli minuman. Sambil berbalik, ia membuka penutup botol itu. Namun pandangannya mendadak terpaku pada seseorang yang berdiri di seberang sana. Botol di tangannya lantas terjatuh.
Tubuhnya membeku. Pandangannya terkunci pada presensi seorang gadis yang turut terdiam di seberang sana. Gelapnya malam membuat mereka tak bisa menatap wajah satu sama lain. Namun hanya dengan sebuah bayang-bayang, mereka sudah dapat mengenali satu sama lain.
Freya merasa kedua obsidiannya memanas. Rasa penasaran akan seseorang yang terus ia lihat sebagai Justin membuatnya nekat akan menghampiri lelaki itu. Namun saat lelaki itu berbalik, Freya mendadak tak sanggup melangkahkan kakinya lagi.
Gadis itu berbalik lalu berlari. Justin tersentak lantas mengulurkan tangannya hendak menggapai gadis di sana. Degup jantungnya berdebar kencang. Apakah ia harus mengejar gadis itu? Keraguannya langsung runtuh saat mengingat Freya lari ke sebuah gang yang cukup rawan. Justin segera berlari menyusul.
Justin tiba di mulut gang dengan napas yang tersengal. Tubuhnya melemas. Ia terlambat.
Gadis itu sudah berada di pelukan lelaki lain, Travis.
Dengan pandangan nanar, ia melenggang dari sana. Mereka tidak menyadari kehadiran Justin. Benar, seharusnya Justin sadar kalau dia bukan gadisnya lagi. Kini ada seseorang yang melindungi gadis itu. Seharusnya ia tak perlu repot-repot mengkhawatirkan Freya.
Tiba-tiba Justin merasa bumi seperti berputar. Pandangannya mulai kabur. Ia mencari sandaran namun tak ada yang bisa ia gapai. Setelahnya, Justin tak lagi mengingat apa yang terjadi pada dirinya.