Berjumpa Rissa

“Cepet amat baliknya, Kak! Lo naik burok apa gi .. ma ...”

Dentum bertalu dalam relung jiwa. Dua pasang mata yang lama tak bertemu, kini saling menyapa. Tubuh mereka membeku, bahkan desir panas yang mengalir pun tak dapat membuatnya cair. Suara melengking dari berhentinya waktu menusuk pendengaran. Memberikan kesempatan untuk mereka bertegur sapa lewat tatap sebelum lisan bersuara.

“Eh, kak Jarvis. Masuk, Kak,” ujar Rissa memecah keheningan. Ia lantas memperbaiki posisinya menjadi setengah berbaring. Sedikit merapikan rambut dan pakaiannya, lalu memberikan senyuman tipis pada lelaki di hadapannya. Sesuatu dalam dadanya masih berdegup kencang.

“Permisi,” ucap Jarvis seraya melangkah masuk dengan sedikit membungkukkan badannya, menyapa Rissa. Di bahu kanannya, tersampir tas gendong yang biasa ia bawa ke sekolah. Sedangkan tangan kirinya menenteng kantung plastik hitam berisi buah tangan untuk Rissa.

Jarvis melangkah ke sisi kanan Rissa. Tengok kanan-kiri memastikan tidak ada orang lain selain mereka berdua. Ia lantas melempar senyum canggung ke Rissa yang tak melepas pandang darinya.

“Sendirian, Ris?” tanya Jarvis.

“Ada ibu, tapi lagi ke kantin, Kak,” jawab Rissa.

Jarvis mengangguk kecil. “Gimana keadaan lo sekarang?”

“Udah mendingan. Cuman masih sering mual, Kak. Anu .. emm .. kak, kayaknya gue mau muntah. Gue ke toilet dulu ya,” ujar Rissa panik sambil berusaha meraih kantung infus yang tergantung di atasnya.

“Eh, emang lo bisa jalan? Toilet di mana?” Melihatnya, Jarvis ikut panik. Ia langsung mengambil alih kantung infus milik Rissa dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Di situ,” jawab Rissa yang sudah membekap mulutnya kencang. Ia berjalan tertatih dalam rengkuhan Jarvis. Kebetulan ada toilet di dalam ruangan Rissa. Jadi dia tak perlu jalan terlalu jauh.

“Anu ... bisa sendiri? Apa mau gue bantuin?” Bener-bener posisi yang serba salah. Jarvis nggak mungkin biarin Rissa di dalem toilet sendirian, tapi dia juga nggak mungkin masuk ke toilet berdua sama Rissa. Sebenernya mungkin saja. Namun Jarvis takut Rissa tidak nyaman.

“Gausah kak, gue bisa sendiri. Maaf banget ya,” ujar Rissa sebelum menutup pintu toilet, meninggalkan Jarvis di luar.

Setelahnya, terdengar suara Rissa yang tengah berusaha mengeluarkan isi perutnya, walaupun sudah tidak ada lagi yang bisa ia keluarkan. Jarvis tampak sangat khawatir. Dadanya berdegup sangat kencang. Matanya mulai memerah. Sangat takut melihat keadaan Rissa sekarang.

“Ris? Udah, Ris? Mau gue bantuin?” ujar Jarvis sambil mengetuk pelan pintu toilet.

Tak lama kemudian, pintu toilet terbuka. Menampilkan Rissa dengan rambut berantakan yang wajahnya sudah pucat dan basah. Jarvis sigap mengambil alih kantung infusnya lagi dan menuntunnya kembali ke ranjang.

“Maaf ya kak, jadi ngerepotin,” ujar Rissa lemah.

“Jangan minta maaf mulu dong,” jawab Jarvis yang suaranya sedikit bergetar.

Rissa kembali berbaring di ranjangnya. Ia menghela napas panjang. Memejamkan matanya sejenak lantas menoleh ke Jarvis yang menatapnya khawatir.

“Lemes ya?” tanya lelaki itu.

Rissa mengangguk. “Tapi udah agak mendingan sih. Kak Jarvis gamau duduk? Itu ada kursi ditarik ke sini aja kak.”

Jarvis nurut dan ambil kursi itu buat ditaro di deket Rissa. Mereka berhadapan lantas saling melempar tawa canggung.

“Ke sini sendirian, Kak? Nggak ketemu sama kak Sagara tadi di sekolah?”

“Sagara nggak masuk kan tadi?”

“Iya, tapi tadi dia baru otw ke sekolah buat jemput Dara. Kirain ketemu.”

“Engga. Kayaknya dia keluar terus gue dateng deh. Jadi nggak pas timing-nya.” Sebenernya ini timing yang pas sih menurut Jarvis.

“Ooh gitu. Nggak ngabarin juga sih ya kak Sagara mau ke sekolah. Jadi nggak bareng.”

“Iya, gue juga nggak ngabarin Sagara mau ke sini. Eh gue juga nggak ngabarin lo.”

“Iya hahaha, makanya tadi agak kaget pas kak Jarvis dateng.”

Percakapan selesai. Mereka hanya mengangguk-angguk kecil sambil menatap ke arah lain. Mencari-cari topik pembicaraan selanjutnya yang gatau ngumpet di mana.

Pandangan Jarvis jatuh ke plastik bungkusan yang ia bawa tadi. Nah ini dia topiknya.

“Oh iya, ini gue bawa roti sama buah-buahan. Udah gue cari tau aman sih dimakan lo. Tapi takutnya beda sama saran dokter. Jadi kalo mau makan, ditanyain dulu ya boleh apa engganya.”

Rissa menengok ke bungkusan yang dibawa Jarvis. “Eh, ya ampun makasih banyak kak. Jadi repot-repot bawa makanan segala.”

“Nggak repot kok. Ya masa ke sini nggak bawa apa-apa. Malu dong,” ujar Jarvis memicu gelak tawa keduanya.

“Gue minta maaf kak kemarin ngerepotin lo,” ujar Rissa tiba-tiba.

“Gue yang minta maaf, Ris. Gue gatau ternyata lo lagi sakit. Tau gitu, gue nggak bakal ajakin lo ke gym. Maafin gue nggak peka sama keadaan lo kemarin.”

Dentuman kecil muncul di relung Rissa. Menerbangkan kupu-kupu di perutnya. Melihat raut wajah Jarvis yang tampak menyesal membuatnya terharu. Jarvis ternyata peduli padanya.

Derap langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Jarvis menoleh cepat, terkejut dengan seseorang yang baru saja masuk ke ruangan Rissa. Untung saja orang itu bukan Sagara, melainkan perempuan paruh baya yang Jarvis yakini adalah ibu Rissa.

“Eh, ada tamu,” sambut ibu Rissa melihat kehadiran Jarvis di sana.

“Sore, Tante,” sapa Jarvis yang bergegas berdiri untuk menyalami ibu Rissa.

“Sore juga, temennya Rissa?”

“Kakak kelasku, Bu. Namanya kak Jarvis,” sahut Rissa.

“Ooh Jarvis. Udah lama datengnya, Mas? Maaf ya, tadi tante lagi beli makanan di kantin.”

“Belum lama Tante, baru aja dateng ini. Gapapa, Tan. Saya juga minta maaf ke sini nggak ngabarin dulu. Soalnya habis sekolah tadi langsung ke sini.”

“Ooh iya, gapapa dong. Tante malah seneng ada yang dateng jadi Rissa ada temen ngobrolnya. Ini Aga juga lagi jemput temen kamu ya, Kak? Siapa sih itu namanya?”

“Dara, Bu. Iya tadi aku minta kak Aga jemput Dara. Kayaknya bentar lagi nyampe.”

“Ooh, ya nanti kalo Aga udah sampe, suruh makan dulu kata ibu gitu. Dia baru makan bubur doang tadi pagi.”

“Iya Bu.”

“Ini loh mas Jarvis, si Rissa ngikut-ngikut artis Korea gitu pake diet segala. Tapi dianya nggak bener ngatur makannya. Ya jadi kaya gini nih. Udah tante bilangin, gausah diet-diet. Kamu itu punya maag. Eh, ngeyel. Liat tuh jadinya kaya gini kan.”

“Buu!!!” protes Rissa.

“Loh, Rissa diet ternyata? Saya malah baru tau, Tan. Kalo diet itu ngurangin makan ris, bukan nggak makan. Apalagi kalo punya maag kan nggak boleh telat makan,” sahut Jarvis.

“Tuh, dengerin kata mas Jarvis. Ngurangin makan bukan nggak makan! Lah, ini dia sampe nggak makan berhari-hari, Mas! Tiap hari minum doang.”

“Ibu udah ih, aku malu!”

“Jangan kaya gitu ya ris. Kasian lambung kamu.”

Kamu

“Iya, kak. Maaf.”

Ketukan pintu menjeda obrolan mereka. Ketiganya menoleh bersamaan.

Sial, Jarvis terlambat keluar dari kandang singa ini. Penghuninya keburu kembali.