Berperang dengan Ego

Sepulangnya keluarga Justin dari rumah Freya, Hendra mengajak anak dan istrinya untuk berdiskusi di ruang tengah. Lelaki yang menjabat sebagai kepala keluarga itu tak menyangka keluarga Justin akan mendatangi mereka lagi hanya untuk meminta pengampunan untuk kesalahan anaknya.

Sebenarnya ia pun sudah tak mempermasalahkan hal tersebut. Dulu, ia dan keluarga Justin telah mengikat janji untuk menyelesaikan semuanya secara hukum. Dan Justin sudah menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Ia pikir, ya, sudah? Apa lagi yang perlu diselesaikan? Namun nyatanya, kesalahan masa lalu itu menjelma menjadi trauma yang bercokol pada diri Justin.

Ia bisa saja langsung menerima tawaran tersebut. Apalagi menyangkut kesehatan Justin. Namun Hendra perlu memikirkan perasaan istri dan anaknya juga. Mungkin saja mereka berdua sudah tidak mau berhubungan dengan masalah itu bukan?

“Freya tadi sudah dengar semua, kan?” ujar Hendra memecah keheningan. Anak gadisnya mengangguk ragu. “Jadi bagaimana? Kalau papa mau saja. Tidak ada salahnya, kan, kita berdamai dengan keluarga Justin?” sambung Hendra yang langsung mendapat anggukan mantap dari Freya.

“Udahlah, Pa, kenapa kita harus berurusan sama mereka lagi? Semuanya sudah selesai. Mamah nggak mau buka luka lama keluarga kita lagi,” sahut Alena sambil duduk bersandar dengan kedua tangan yang terlipat di dada.

“Iya, Papa tau. Tapi nggak ada salahnya kita membantu mereka, kan? Apalagi ini menyangkut kesehatan Justin.”

“Ya, lalu apa urusannya dengan kita? Itu, kan, masalah keluarga mereka. Emangnya dulu pas keluarga kita jatuh karena kehilangan Della, mereka bantuin kita?” balas Alena sewot. “Lagi pula, aku masih nggak ikhlas sama perbuatan anak laki-laki itu yang udah bikin anak kita meninggal,” lanjutnya sambil menyesap minuman dari cangkir.

Freya meremas kemeja yang ia kenakan. Sang mamah masih terlihat sangat dendam dengan Justin. Apa dia bisa meyakinkan mamahnya untuk memaafkan Justin? Namun ia harus melakukan semua ini. Demi kesembuhan Justin.

“Mah, pah, aku boleh kasih pendapat?” ucap Freya ragu.

Orang tua Freya lantas menoleh bersamaan. “Boleh, sayang. Kamu mau kasih pendapat apa, hm?” jawab sang papa lembut.

“Menurut aku pribadi, sebaiknya kita terima aja tawaran keluarga Justin. Gimanapun kan nggak cuman keluarga kita yang dirugikan. Keluarga Justin juga dapet imbasnya. Lagipun, Justin udah jalanin hukumannya dan kecelakaan itu nggak sepenuhnya salah dia. Menurut aku, kalo cuman buat maafin Justin itu nggak ada masalah.”

Papa dan mamah Freya tampak memikirkan ucapan Freya. Gadis itu sudah yakin dengan respons positif dari sang papa. Namun raut wajah mamahnya masih belum meyakinkan.

“Nggak ada untungnya kita menyimpan dendam terus, kan, Mah? Aku nggak mau karena masalah ini, Kak Della jadi nggak tenang di sana. Lagi pula ini udah berlalu lama,” bujuk Freya penuh harap. Pandangan sang mamah tampak melunak.

“Kamu masih suka sama Justin, ya?” jawab sang mamah membuat Freya terkejut. “Kamu kelihatan belain dia banget.”

“Suka nggak suka aku tetap ingin kita damai sama keluarga Justin. Aku tahu gimana rasanya punya mental illness kaya Justin. Dan aku nggak mau dia ngalamin hal yang sama. Terlarut pada kesalahan yang sepenuhnya bukan salah dia. Aku nggak mau orang lain ngerasain sakit yang aku rasain.”

Suasana mendadak lengang. Kedua orang tua Freya jelas tahu bagaimana Freya melalui masa-masa ketika semua beban keluarga mendadak beralih padanya. Ketika sang papa tidak bisa terus menemani Freya yang terpuruk kehilangan kakaknya. Ketika sang mamah yang kehilangan anak kebanggaannya dan menyuruh Freya untuk bisa menggantikan. Sudah banyak biaya yang dikeluarkan keluarga Freya hanya untuk membuat gadis itu menjalani hidupnya dengan tenang.

“Dulu, Justin yang udah bikin aku bangkit. Dia selalu temenin aku, selalu yakinin aku kalau aku bisa lewatin semuanya. Di saat papa dan mamah nggak ada di sini, Justin selalu berusaha bikin aku nggak kesepian. Walaupun dulu kami belum lama kenal, tapi dia keliatan peduli banget sama aku.”

Freya hampir meneteskan air matanya. Namun ia tahan karena gengsi di hadapan mamah dan papa. Masa-masa sebulan pacaran dengan Justin kembali berputar di pikiran Freya. Ia bisa menyebut bahwa masa-masa itu adalah kenangan paling bahagia dalam hidupnya.

Tangannya yang terulur di meja terasa digenggam oleh seseorang. Freya mendongak cepat. Itu mamahnya.

“Mamah minta maaf. Selama ini mamah selalu menekan kamu untuk melakukan yang terbaik seperti kak Della. Padahal seharusnya mamah sadar, kamu bisa membanggakan mamah dengan caramu sendiri. Mamah terlalu terpaku pada anak sulung mamah. Padahal mamah punya anak bungsu yang sama hebatnya. Sekarang, mamah cuman punya Freya. Jadi mamah ingin kamu bahagia.”

Lolos sudah air mata yang ditahan Freya. Selama ini ia beranggapan kalau ia tidak pantas mendapat perhatian dari mamahnya. Ia tidak sehebat kakaknya. Freya sangat maklum kalau kakaknya lebih banyak mendapat perhatian dari mamahnya.

Alasan itu yang membuat ia berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Freya hanya ingin mendapat perhatian mamahnya, seperti yang didapat kakaknya. Satu-satunya cara adalah membuat mamahnya bangga. Namun ternyata sulit sekali.

Freya hampir menyerah. Namun hari ini ia menyesali pikiran itu. Perhatian, pengakuan, pujian yang ia harapkan dari sang mamah akhirnya terwujud. Semua kerja kerasnya membuahkan hasil. Kedua bola mata mamahnya yang biasa menatapnya sengit kini meneduh. Kedua belah bibir yang biasa menyayat hatinya kini tersenyum penuh kelembutan. Freya seprti menemukan sosok ibu yang selama ini ia rindukan.

“Kalau Freya mau kita berdamai dengan keluarga Justin, mamah akan melakukannya. Mamah ingin mewujudkan hal-hal yang bisa membuat Freya bahagia,” ujar sang mamah kembali yang terdengar begitu menyejukkan di telinga Freya. Tangis gadis itu akhirnya pecah.

Alena beranjak dari kursinya untuk memeluk Freya. Gadis yang baru beranjak dewasa itu menangis tersedu dalam pelukan hangat sang ibu. Rambut hitam legamnya diusap lembut. Sesekali Alena mengusap pipinya yang basah. Ia melirik sang suami yang menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca.

“Terima kasih,” ujar sang suami tanpa suara. Hanya gerak bibir penuh kebanggaan pada istrinya yang pada akhirnya menang berperang dengan egonya.