Bersua dengan Penyesalan

Tiba di rumah, gue langsung masuk tanpa mikirin motor gue udah terparkir dengan benar apa enggak. Yang ada di pikiran gue cuman Zayyan. Itu anak baru beberapa jam yang lalu dateng ke studio gue. Dan kayaknya tadi pagi pun sempet pergi sama bunda. Walaupun gue nggak tau mereka pergi ke mana. Gue yakin Zayyan masih sehat-sehat aja. Tapi kenapa sekarang jadi gini?

Dari bawah, gue lihat Zayyan yang lagi dipapah mbak Siti dan pak Budi. Dia keliatan lemes dengan napas yang terengah-engah. Semakin lama gue semakin heran sama Zayyan. Sebenernya dia sakit apa sih? Beberapa kali gue liat dia sering sesak. Suara dia pun makin berat dan serak. Apa iya sakit batuk aja bisa segitunya? Kalo engga, trus dia sakit apa?

Gue bergegas menaiki tangga. Raut khawatir gue bertemu dengan wajah Zayyan yang pucat. Saat hendak menggantikan posisi pak Budi, tanpa gue duga Zayyan menghempas genggaman gue. Dia menatap sinis. Gue bener-bener kaget. Nggak pernah gue lihat Zayyan yang kaya gini.

“Lo kenapa anjir?!” gertak gue melihat gelagat Zayyan yang nggak mau gue tolongin.

“Lo tadi nyuruh gue mati kan?” jawabnya dengan suara super serak, bahkan hampir terputus. “Sekarang Tuhan lagi wujudin permintaan lo. Jadi lo nggak usah bantu gue buat selamat dari semua ini.”

Kalimatnya begitu menyambar hati kecil gue. Zayyan, saudara kembar gue yang punya sifat berlawanan dengan gue. Nggak pernah gue dengar dia bicara kasar. Mulutnya selalu tersenyum dan mengeluarkan celoteh yang kadang bikin gue gemes sendiri. Dia selalu menatap gue dengan pandangan beribu energi yang bikin hari gue sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Tapi sekarang? Gue seperti melihat diri gue di dalam manik Zayyan. Jadi ini yang dirasakan Zayyan selama ini? Kenapa sakit banget? Kenapa Zayyan bisa tahan dengan sifa gue yang seperti ini?

Mereka lalu meninggalkan gue yang mematung. Kalimat Zayyan masih teriang. Gue kembali teringat dengan pesan yang beberapa menit lalu gue kirimkan ke Zayyan. Go to hell, gue bilang gitu. Ya, maksud gue emang ... Tapi bukan itu yang gue mau!

Rasanya sangat sesak. Kerah kaus gue sampai kusut karena diremas kuat. Gue jahat, gue bener-bener jahat. Lo nggak punya hati, Ran! Lo brengsek!

Di tengah penyesalan itu, terdengar pekikan mbak Siti di luar rumah. Gue langsung berlari menghampiri. Di sana gue lihat Zayyan yang sudah tersungkur ke lantai. Dia pingsan. Jantung gue seperti meledak. Ini kedua kalinya Zayyan jatuh di hadapan gue. Tapi gue nggak pernah berhasil menangkap dia.

Dengan derai air mata yang entah sejak kapan membasahi pipi, gue langsung gendong Zayyan menuju mobil. Nggak, lo nggak boleh mati, Yan. Lo nggak boleh ninggalin gue sendirian.


Kami sampai di rumah sakit. Zayyan masih tidak sadarkan diri. Jujur, gue nggak bisa berhenti menangis. Zayyan udah lemes banget. Beberapa kali gue memastikan jantung dia masih berdetak dan nggak tau kenapa rasanya makin melemah. Napasnya pendek disertai suara yang begitu menyesakkan. Zayyan, gue nggak mau kehilangan lo.

Dia udah masuk ke UGD. Gue udah nggak ada tenaga buat berdiri. Di samping pintu, gue bersimpuh menyesali apa yang udah gue perbuat pada Zayyan selama ini. Gue takut, gue bener-bener takut kehilangan lo, Yan. Tolong, bertahan buat gue.

“Zafran!”

Suara yang familier. Gue lantas mendongak dan menemukan Bunda yang berjalan tergesa menghampiri gue. Bunda ikut bersimpuh, mengangkat kepala gue dan memeluknya. Tangis gue semakin pecah.

“Zayyan, Bun. Ada darah yang keluar dari mulutnya. Trus dia pingsan. Pas aku pegang dadanya, detak jantung Zayyan lemah banget. Aku takut, Bun.”

Bunda mengusap punggung berkali-kali. “Tenang, ya. Zayyan nggak kenapa-kenapa kok. Pasti dia sembuh. Sudah, jangan menangis ya.”

Gue yakin saat itu bunda menahan tangisnya mati-matian. Suaranya bergetar. Harusnya gue yang menenangkan bunda. Tapi kenapa gue malah jadi kaya gini?

“Aku gagal jagain Zayyan, Bun.”

“Sshh, engga kok enggak. Zafran nggak gagal.”

Bunda semakin mengeratkan pelukan. Dari kejauhan, gue lihat ayah yang berjalan cepat ke arah kami. Gue yakin, gue bakal kena omel. Dan gue siap buat menerimanya.

“Bun,” panggil Ayah membuat Bunda menoleh. Beliau lantas membimbing gue untuk duduk di kursi seraya mengelap air mata gue.

“Zayyan masih di dalam, Yah. Lagi ditangani dokter,” ujar Bunda pada Ayah.

“Kenapa bisa jadi seperti ini? Gimana ceritanya?”

Gue nggak mampu buat sekadar menatap ayah. Namun bisa gue dengar Mbak Siti menjawab pertanyaan Ayah. Melihat gue menunduk, Bunda lantas menarik kepala gue ke bahunya.

“Zayyan nggak kenapa-kenapa kok. Kita doakan saja ya.”

“Zayyan sakit apa sih, Bun? Kenapa dia selalu kaya gini?”

Hingga kini, pertanyaan itu nggak pernah menemukan jawabannya dan gue bertekad untuk menemukannya sendiri.