Bertemu Keluarga Arsa

Alana nggak bisa nolak permintaan Arsa. Gimanapun cowok itu udah banyak bantu dia. Mulai dari masalahnya sama Dean, sama Shofi, ngasih dia barang-barang mahal, dan yang terakhir comfort words yang Arsa kasih pas mood Alana lagi nggak baik.

Lagipula nggak ada salahnya nyoba kenalan sama keluarga Gautama. Siapa tahu bisa kecipratan tajirnya kan hehe

Sebenernya desas-desus kekayaan keluarga Gautama udah sering jadi bahan pembicaraan. Namun orang-orang masih sering ragu karena ya gaya hidup mereka terbilang biasa aja, nggak terlalu menunjukkan berapa rupiah yang mereka miliki. Makanya pada nganggep Arsa definisi orang kaya, tapi bukan kaya yang WOW gitu.

Alana juga sempet berpikiran kaya gitu. Tapi pas dia dateng ke acara keluarga Arsa, semuanya terpatahkan. Ini orang bukan sekedar tajir, tapi SUPER TAJIR. Nggak ada tuh yang namanya mobil Avanza atau Daihatsu Ayla yang nangkring di parkiran. Yang ada Fortuner, Ferrari, Tesla, atau BMW. Sumpah, Alana insecure banget.

Kadang dia mikir, kok bisa orang setajir Arsa jadi teman sekelasnya? Maksudnya kenapa dia nggak milih kampus yang lebih bergengsi dari kampus mereka saat ini? Alana yakin Arsa mampu daftar kuliah di kampus ternama. Dia juga nggak bego-bego amat kok. Kalo emang bego, ada duit yang bisa bantu dia masuk ke sana.

Ya, namanya juga orang kaya. Kadang pola pikirnya sulit buat dimengerti. Apalagi sama kalangan menengah kaya Alana.

Tadi pagi, Arsa kirim baju buat dresscode acara sore ini. Alana udah nebak bajunya bakal lain dari biasanya, DAN BENER. Dia dikasih gaun. Alana mau nangis aja rasanya.

Gaun yang dikasih oma Arsa bukan gaun pesta yang heboh, glamour, atau lebar kaya kurungan ayam. Gaun berwarna merah maroon itu jatuh, mengikuti lekuk tubuh Alana sampai batas lutut. Bagian atasnya terlihat anggun dengan menunjukkan tulang selangka Alana yang cantik. Lengannya tidak terlalu panjang maupun pendek. Alana sangat bersyukur gaun ini nggak nunjukkin keteknya.

“Udah siap?”

Alana tersentak dari lamunan. Dia langsung noleh ke Arsa yang lagi nyengir ngeliatin dia. Wajah Alana sontak memerah. Bukan karena malu diliatin, tapi karena Arsa yang gantengnya nggak sopan banget.

Senada dengan Alana, Arsa pake kemeja merah maroon dengan bawahan jeans yang nggak terlalu ketat. Lengan kemeja yang pendek membuat otot bisep Arsa terpampang jelas. Rambutnya ditata ke atas, menunjukkan jidatnya yang bersinar seperti masa depan.

Dan yang paling menarik perhatian Alana adalah wangi parfum cowok itu. Alana sangat menyukai cowok yang wangi. Bahkan dia sempet berpikir nggak peduli cowok itu mau nggak ganteng atau nggak kaya kalo dia wangi, Alana bakal suka.

“Malah ngalamun.”

Alana tersentak lagi. “Eh iya apa, Sa?”

Arsa menggeleng tanpa melepas pandang dari Alana. Sebenernya dia lagi terpesona sama cewek di depannya ini. Cih, dua orang yang saling terpesona tapi nggak mau saling muji.

“Turun, yok!” ajak Arsa lantas melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Alana menyusul setelahnya.

Memasuki pelataran rumah, Alana dibuat takjub sama dekorasi yang elegan ala wedding party outdoor. Nggak terlalu ramai emang, tapi ini udah kelewat bagus cuman buat ngerayain tumbuhnya sebiji buah stroberi. Orang yang nggak tau pasti ngeliatnya kaya ada acara lamaran atau bahkan nikahan.

Tamu yang datang juga nggak sedikit. Alana liatnya lucu aja karena semua orang pakai dresscode yang sama. Dia baru sadar warna maroon sama kaya warna buah yang jadi perayaan makan besar sore ini.

Arsa membawanya masuk ke rumah. Sepanjang jalan mereka udah disapa banyak orang. Keliatannya Arsa cukup terkenal di keluarganya. Meskipun sibuk menyapa sanak saudara, Arsa tidak pernah lupa untuk mengenalkan Alana juga. Hal itu cukup membuat Alana merasa dihargai.

“Kita ketemu oma sama nyokap gue dulu ya? Baru gue kenalin ke saudara yang lain?”

Mendengarnya, ritme degup jantung Alana meningkat drastis. “Serius, Sa? Gue takut sumpah!”

“Sante aja. Anggep mereka nyokap sama oma lo sendiri.”

Arsa dan Alana masuk semakin dalam. Terlihat sekumpulan orang di meja makan yang sibuk bersenda gurau. Alana yakin di antara mereka ada ibu dan nenek Arsa.

“Eh, Arsa!”

Baru saja Arsa mau menyapa, Oma nya sudah menyapa duluan. Melihat cucu kesayangannya datang, membuat perempuan lanjut usia itu beranjak menghampiri dan memberikan pelukan hangat.

“Oma sudah tunggu kamu dari tadi, lho!”

Arsa meringis. “Maaf, Oma. Tadi harus jemput Alana dulu jadi lebih jauh jaraknya.”

Yang disebut namanya diam-diam terkejut. Sang Oma lantas melirik ke sebelah Arsa.

“Ini pacar kamu?!” tanya Oma terlihat antusias.

Arsa menggaruk tengkuknya sambil mengangguk.

“Ya Gusti, cantiknya!”

Wajah Alana merebus seketika. Ia berusaha keras tidak salah tingkah. Alana cepat-cepat membungkuk untuk meminta salam. Sang Oma menjulurkan tangan yang langsung dicium Alana.

“Selama sore, Oma. Maaf karena saya, Arsa jadi datang terlambat.”

Demi apa, Alana bingung banget mau ngomong apa.

“Nggak apa-apa. Duh, gaunnya pas sekali buat kamu ya. Padahal Oma kasihnya cuman mengandalkan naluri. Alhamdulillah ukurannya pas!”

Alana terkekeh. “Iya, Oma, makasih. Gaunnya bagus banget.”

“Sama-sama, Cantik. Ayo duduk! Kita makan bareng!”

Sang Oma dengan akrabnya langsung merangkul lengan Alana. Cewek itu agak panik hingga beberapa kali menoleh ke Arsa mencari bantuan. Namun cowok itu hanya tersenyum dan menyuruh Alana menuruti kemauan Oma.

“Arsa, kamu makannya di tempat laki-laki dong! Ini meja khusus perempuan!” tegur salah seorang tante Arsa yang duduk di sana.

“Mentang-mentang bawa pacar jadi mau nempel terus ya!” timpal Tante Arsa yang lain.

Arsa yang lagi menyalami ibunya jadi tertawa. “Iya, ini mau salim aja sama mamih kok, Tan.”

“Sa!” bisik Alana yang udah duduk di ujung sebelah Oma. Arsa yang hendak melenggang langsung balik arah menghampiri Alana.

“Kenapa?”

“Gue ditinggalin di sini sendiri?”

“Iya, gapapa. Liat sendiri kan Oma suka sama lo.”

“Eh, tapi gue takut! Lo di sini aja dong!”

“Nggak usah takut. Nggak bakal ditanya macem-macem. Cuman basic information aja paling. Gue duduk deket sini kok. Masih keliatan.”

Alana cemberut. Arsa gemas lantas menepuk pucuk kepala Alana.

“Nanti kalo udah nggak nyaman atau cape, chat gue aja,” ujarnya sembari mengusap rambut Alana lantas melenggang pergi.