Cari Tau Tentang Helen

Aksel POV

“Lo yakin ini rumah dia?”

“Yakin, gue udah tanya alamat rumahnya ke Fany. Dia punya data pribadi anak klub.”

Gue dan Reza tengah bersembunyi dibalik pohon yang berseberangan dengan sebuah rumah. Rumah bercat putih dengan halaman hijau di depannya dan dikelilingi oleh pagar berwarna putih. Rumah itu diyakini Reza milik Helen, maksudnya punya orang tuanya. Kami memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam tentang Helen. Setelah semua kejadian yang gue alami, Reza yakin Helen ini bukan manusia biasa.

“Ada yang keluar! Ada yang keluar!” bisik Reza sambil menepuk-nepuk pundak gue.

“Itu Helen 'kan? Iya, itu Helen!”

Seorang gadis keluar dari rumah itu sambil menenteng sebuah easel dan meletakannya di halaman. Dia kembali ke teras dan mengambil sebuah kursi. Lalu dia memasang sebuah kertas ke easel dan duduk di kursi. Sepertinya dia akan melukis.

“Hobi banget ngelukis ya dia. Apa jangan-jangan kuasnya itu ajaib? Oh, atau kuas itu tongkat sihir dia?” ucap Reza membuka sesi perjulidan.

“Ja, plis deh. Helen itu murni manusia biasa. Kalo dia bukan manusia seutuhnya, dia bukan setengah penyihir. Tapi manusia setengah bidadari!”

Reza menjitak kepala gue keras. “Bisa nggak sekali aja nggak bucin? Kita ini sedang melakukan penelitian. Objektif dong!”

“Ya daripada lo, nganggep dia penyihir. Lebih nggak objektif siapa coba?”

“Setidaknya gue ada bukti sihir dia, itu lo. Lo udah disihir sama dia sampe jadi begini.”

“Gue juga ada bukti. Dia cantik, baik, tidak sombong, rajin menabung. Sempurna banget buat jadi bidadari kan?”

“Sssttt!!! Berisik! Liat tuh ada yang datengin dia!”

Gue dan Reza serentak diam dan mengamati seseorang yang menghampiri Helen. Gue menyipit berusaha mengenali wajah orang itu. Namun tidak berhasil karena orang itu membelakangi gue dan menutup kepalanya dengan tudung Hoodie yang dipakainya.

Helen menoleh pada orang itu. Sepertinya orang itu memanggilnya. Lalu Helen meletakan kuas di tangannya di meja dan berjalan menghampiri orang itu.

Mereka bercakap-cakap. Helen terlihat mengerutkan dahinya dan menggeleng dengan mengucapkan beberapa kata yang nggak bisa di dengar kami.

“Mereka ngomongin apa si serius amat.” Gue berusaha menajamkan pendengaran namun gagal. Jarak kami terlalu jauh buat nguping.

“Eh ehh, kok orangnya nunjuk-nunjuk Helen?” Reza menepuk bahu gue cepat dengan panik. Gue langsung membuka mata dan terbelalak kala orang itu terlihat memojokkan Helen sampai Helen melangkah mundur sedikit demi sedikit.

“Ja, kayaknya orang itu lagi ngancem Helen. Kita harus selametin Helen, Ja!” ucap gue buru-buru berlari menghampiri Helen.

“Eh, Sel! Woy! Argh! Tu bocah nggak bisa sabar dikit apa?!” gerutu Reza tapi bisa gue dengar dia ikut berlari mengejar gue.

“Ada apa ini?” Gue berdiri di tengah-tengah mereka. Di depan Helen, berusaha melindunginya. Astaga, gue terkejut. Ternyata orang itu perempuan.

“Aksel? Kok kamu bisa ada disini?” tanya Helen dari balik tubuh gue. Gue hanya menolehkan kepala sedikit tanpa menjawab Helen.

“Woy, tunggu guee. Hah~ hah~ gila cape banget padahal cuman lari segitu doang,” eluh Reza saat tiba diantara kami. Dia menunduk dengan menumpukan kedua tangan di lututnya.

“Loh Reza?” Helen kayaknya bingung melihat Reza juga ada disini. Ahelah ni bocah ngerusak suasana kepahlawanan gua aja.

“Hey, siapa lo? Kenapa gangguin Helen? Mau apa lo sama dia?” Tanpa menghiraukan helaan napas Reza yang terdengar nyaring, gue kembali fokus pada perempuan misterius di depan gue.

“K-kak Aksel? K-kakak di-sini ju-ga?” ucap perempuan itu terbata-bata.

“Lo kok tau nama gue?” tanya gue heran.

“Aku tau semua hal tentang kakak,” jawab gadis itu.

“Hah?” Gue makin heran.

“A-aku emm.. a-aku su-suka sama k-kakak,” ucap gadis itu ragu sambil menunduk takut.

“Hahh???” Gue sekarang kaget.

Gadis itu mengangkat kepalanya. “Kakak tau? Semua kegiatan yang kakak lakuin aku tau. Apapun yang berhubungan sama kakak, aku tau. Hal sekecil apapun yang kakak lakuin akan berpengaruh besar di kehidupanku. Bahkan hanya sepatah kata di Twitter kakak itu udah bisa bikin aku bahagia banget.”

Gue, Reza, dan Helen tertegun mendengar pengakuan dari gadis yang belum diketahui namanya. Gue nggak menyangka, selama ini ada seseorang yang mengamati segala gerak-gerik yang gue lakuin. Jadi selama ini, gue diawasin seseorang?

“Tapi kebahagiaan itu berubah saat kakak mulai cerita tentang seseorang di Twitter-mu.” Gadis itu melirik Valery tajam. Gue meneguk ludah kasar.

“Dia sama sekali nggak pantas untuk kakak. Dia tidak tau apa-apa tentang kakak. Dia hanya perempuan yang seenaknya membuat kakak sakit lalu datang meminta belas kasihan kakak. Dan yang membuatku kaget, kakak maafin dia. Padahal dia udah bikin kakak sakit.”

Bahkan masalah itu pun dia tahu. Dia benar-benar penguntit.

“Orang yang harusnya berlindung di belakangmu itu aku, Kak. Aku! Kenapa kakak lebih memilih dia? Aku selalu mengikuti kakak ke manapun. Tapi kenapa kakak malah ninggalin aku?” ucap gadis itu yang mulai meninggikan suara. Setetes air mata turun membasahi pipinya. Oke, gue rasa gadis ini mulai tidak waras. Gelagatnya sudah menunjukkan tanda-tanda yang tidak baik. Gue harus menghentikan gadis ini sebelum dia mengatakan hal-hal aneh lainnya.

“Tunggu sebentar. Sepertinya ada yang salah disini. Maaf aku sama sekali nggak kenal kamu. Bahkan kayaknya kita nggak pernah ketemu. Kamu nggak bisa seenaknya ngomong kaya gini. Dan lagi perilakumu tadi termasuk tindakan menguntit. Aku bisa tuntut kamu atas hal itu.”

“T-tapi kak, aku udah kenal kakak dari dulu. Kita emang nggak pernah ketemu karena aku malu deketin kakak. Aku cuman ingin kakak jadi milikku. Plis, kak. Jauhin cewe itu.”

“Dengerin aku, kamu itu masih muda. Jangan buang-buang waktu buat ngelakuin hal nggak bermanfaat kaya gini. Apalagi kamu berani melabrak seniormu. Apa kamu nggak malu? Aku bisa jadi kakak buat kamu. Tapi maaf, kita nggak bisa bersama. Aku udah punya pilihan sendiri,” ucap gue dengan lembut agar tidak menyakiti perasaan gadis itu. Ah, hati gue terlalu lemah buat kasar sama gadis kecil kaya dia yang gue tebak dia masih umuran SMA. atau paling enggak baru semester satu.

“Nggak, aku nggak mau jadi adik kakak. Aku mau jadi—,”

“Sssttt ... denger, segala sesuatu yang ada di dunia ini nggak selalu sesuai sama keinginan kita. Kita harus belajar menerima. Kamu mungkin ngga bisa dapetin aku. Tapi aku yakin, Tuhan sedang mempersiapkan seseorang yang lebih pantas buat kamu daripada aku. Apa kamu mau aku jadi pacarmu karena terpaksa? Itu malah lebih nyakitin kamu nantinya dan aku nggak mau ngelakuin itu.”

Gadis itu hanya diam memandang gue sambil terisak. Air mata terus mengalir di pipinya. Apa ini benar-benar menyakitkan buat dia ya? Tapi gue harus gimana? Gue nggak mungkin menyetujui ajakan dia sedangkan hati gue udah buat Helen. Gue jadi serba salah.

“Are you okay? Apa kamu bisa menerima keputusanku?” tanya gue saat suasana hening beberapa saat. Helen hanya terdiam di balik punggung gue dan Reza berdiri bersandar pada pagar sambil menyimak kami tanpa memberi komentar.

“Baiklah, aku terima keputusan kakak. Sebagai seseorang yang menyukai kakak, aku selalu ingin melihat kakak bahagia. Walaupun bukan denganku. Aku akan berusaha menerima semua ini. Terimakasih untuk kenangannya, kak. Aku senang pernah mengagumi kakak sampai detik ini. Semoga kakak selalu bahagia,” ucap gadis itu dengan tersenyum paksa dan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. Kemudian dia berlari pergi sambil mengusap kasar pipinya.

Gue ingin mencegat gadis itu. Gue hanya ingin memberi sedikit hadiah perpisahan untuknya. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya akan menyulitkan gadis itu untuk melupakan gue. Ya, gue cuman ingin memeluk gadis itu sebentar. Tapi sepertinya tidak perlu.

Gue berbalik menghadap dua orang di belakang. Mereka langsung menatap gue bersamaan. Gue menghela nafas panjang.

“Hahh~~ ya gini lah resikonya jadi orang ganteng.”

Saat itu juga, gue lihat Reza yang pengin mengeluarkan semua isi perutnya di wajah gue.