Closer

Ada rasa janggal yang bercokol di hati Stella kala melihat sepasang flatshoes di depan pintu rumahnya. Stella paham betul siapa pemilik sepatu tersebut dan itu bukan pertanda yang baik untuknya.

Pandangannya berbalik ke gerbang rumah. Di mana lelaki yang baru saja mengantarnya masih setia menunggu di sana sampai ia masuk. Kevin tampak melambai. Lelaki itu sudah beberapa minggu ini selalu mengantarnya pulang. Diminta ataupun tanpa diminta, seperti sudah menjadi kebiasaan mereka untuk pulang bersama.

Stella bukan gadis yang bodoh. Ia tahu apa yang diinginkan lelaki itu. Bahkan dari hari pertama Kevin mengajaknya berkenalan. Ah, entah dia yang terlalu peka atau Kevin yang terlalu terang-terangan. Namun sejauh ini, Stella tidak merasa terganggu dengan sikap Kevin yang tengah mendekatinya.

Stella juga sama seperti gadis pada umumnya. Yang kadang terbawa perasaan jika terus-terusan diberi perhatian, apalagi oleh seorang Kvin. Lelaki yang kalau dilihat-lihat punya banyak fans juga. Siapa gadis yang tidak akan terpikat oleh lelaki manis dan hangat seperti Kevin? Mungkin dulu Stella akan dengan lantang menjawab kalau gadis itu adalah dirinya. Namun sekarang?

Ia mengakui, ada sepercik kembang api atau segerombol kupu-kupu yang akan beterbangan setiap kali Kevin di dekatnya. Ada hentakan kecil di relung jiwa kala mendengar Kevin memanggil. Ada rona panas yang merambat di wajah saat Kevin memberikan perhatian kecil. Entah sejak kapan perasaan itu muncul. Namun Stella masih enggan untuk mengakuinya.

Tak terasa sudah terlalu lama ia menatap lelaki itu. Stella bergegas menekan knop pintu rumahnya dan masuk. Terdengar suara lelaki itu meninggalkan pelataran rumahnya pelan. Senyum kecil terbit di bibir Stella.

“Anak kamu mana? Belum pulang?”

Senyum itu luntur. Stella mengendap dan mengintip dari balik tirai yang memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga. Dugaannya benar. Si pemilik sepatu hitam di depan rumah tadi adalah Tante Mayang, kakak dari sang ibu yang hobi mencampuri urusan keluarga Stella. Perlu kalian tahu, wanita itu tidak pernah menerima kehadiran Stella dan Bella di keluarganya.

“Mbak barusan dikasih tau sama Fahri. Katanya Stella bikin ulah lagi di sekolah. Lihat nih! Foto anak kamu dipajang di sosmed sekolah. Komentarnya buruk semua. Anak kamu bukannya diem malah ngelawan. Lihat! Kasar banget omongan anak kamu,” ujar Mayang terlihat menunjukkan ponselnya pada Risa, ibu Stella.

Gadis itu meremas tirai sampai kusut. Sial si Fahri, dia pasti disuruh ibunya untuk mencari keburukan Stella. Sudah bagus ia bisa menutupi semuanya dengan apik. Wanita itu memang licik.

“Ini akibatnya kamu nggak nurutin kata Mbak. Dari dulu Mbak bilang, nggak ada untungnya kamu merawat dua anak itu. Bisanya bikin masalah terus. Dari sebelum lahir malah. Kalo kamu nurut sama Mbak buat gugurin kandungan kamu waktu itu, kamu nggak akan punya anak bandel kaya gini!”

Kelopak mata Stella tak dapat berkedip. Genangan panas timbul di pelupuk matanya. Lagi-lagi Mayang membahas perihal itu. Sesuatu yang setiap hari membebani pikiran Stella. Sesuatu yang mati-matian ditutupi oleh keluarga Stella. Perihal terburuk yang pernah terjadi dalam hidup Stella dan sampai sekarang masih terus menghantuinya.

Kenyataan bahwa ia dan Bella lahir tanpa seorang ayah. Itu adalah aib terburuk yang dimiliki keluarganya. Bukan, ayahnya tidak meninggal. Ayahnya tidak juga pergi merantau dan tak pernah pulang. Stella dan Bella memang tidak punya ayah secara hukum. Sebab mereka lahir dari hasil hubungan di luar nikah.

Rongga dadanya menghimpit. Rasanya sangat sesak. Ia tahu, kehadirannya dan Bella bagai bangkai yang lama kelamaan akan tercium busuknya. Suatu saat orang-orang akan menanyakan di mana ayahnya? Di mana suami ibunya? Mengapa tidak pernah terlihat? Apakah dia pergi merantau? Apakah dia sudah tiada?

Mengapa harus ditanyakan? Stella sendiri bahkan tidak tahu bagaimana wujud sang ayah. Bahkan sekadar namanya saja ia tidak tahu. Sang ibu sama sekali tidak pernah mengenalkannya pada sang ayah. Stella pun tak punya keinginan sedikitpun untuk mengenal seorang pria yang tak punya tanggung jawab itu.

Mungkin jika orang lain yang bertanya, keluarga Stella bisa berkilah kalau pria yang seharusnya menyandang sebagai kepala keluarga itu sudah mati. Namun jika dari pihak keluarga yang bertanya? Bagaimana cara Risa, ibu Stella, berkilah? Mereka jelas tahu apa yang terjadi padanya. Pertanyaan itu bertujuan hanya untuk mengolok-olok. Apalagi Mayang terus-terusan mengungkit kesalahan Risa yang memilih untuk mempertahankan hasil dari hubungan haram itu.

Keluarga yang seharusnya berperan sebagai pengobat luka justru berbalik menjadi penoreh luka terbesar di hati keluarga Stella. Apa susahnya menerima kenyataan? Bahkan kejadian itu sudah berlalu hampir enam belas tahun lamanya. Mengapa mereka masih saja tidak mau mengakui kehadiran Stella dan Bella? Haruskan mereka pergi dari keluarga ini?

Stella kadang berpikir, memang seharusnya ia tidak hadir di keluarga ini. Mungkin jika ia tidak ada, kehidupan ibunya tidak akan seburuk ini. Ibunya akan menjadi wanita yang bahagia. Menikah dengan orang yang ia cintai dan menghasilkan anak-anak dari hubungan yang suci. Dia pun tidak perlu menelan pil pahit dari ucapan sanak saudara yang menyayangkan keputusannya di masa lalu.

Haruskah? Haruskah Stella pergi dari sini? Haruskah ia kembali pada Tuhan seperti yang seharusnya sang ibu lakukan sebelum ia lahir?

Tak sengaja Stella terisak begitu keras. Sang ibu dan kakaknya menoleh bersamaan. Menatap Stella yang berdiri di ambang pintu dengan berlinang air mata.

“Stella?” gumam sang ibu tampak terkejut. Ia sontak bangkit dari kursi. Melihat itu, Stella bergegas keluar dari rumah. “Stella!” panggil sang ibu makin keras. Stella mengabaikan panggilan itu. Ia berlari secepat mungkin dengan tangis yang makin deras. Sesak, rasanya sangat sesak.

“KEVIN!” teriak Stella melihat punggung pemuda itu masih tersisa di tepi gang. Kevin tidak menoleh, suara Stella teredam oleh helm yang membungkus kepalanya. “KEVIN!” Teriakan Stella makin keras disertai tangisan di akhir.

Yang dipanggil tampak tersentak. Ia menoleh cepat, melihat gadis yang baru saja ia antar berlari ke arahnya. Alisnya menyatu heran. Mengapa Stella menangis? Itu pertanyaan yang terbesit di benak Kevin.

“La? Hei, kenapa lo nangis? Ada apa?” tanya Kevin panik saat Stella sudah dekat. Ia hendak melepas helmnya namun dicegah oleh Stella.

“Bawa gue pergi, Kev! Please! Bawa gue pergi dari sini!” ujar Stella dengan isakan yang begitu menyayat perasaan Kevin. Maka tanpa ragu, Kevin langsung memasangkan helm pada Stella dan memintanya untuk naik. Motor sport berwarna merah itu lantas melesat ke jalanan. Mengabaikan panggilan ibu Stella yang menggema di belakang.

***

Kevin melirik ke bawah. Pinggangnya tampak dipeluk erat oleh tangan ramping gadis yang kini menyandarkan kepala di punggungnya. Terasa dingin di sana. Air mata Stella yang menciptakan rasa dingin itu. Gadis itu tak berhenti menangis.

Ia bingung. Ke mana ia harus membawa Stella? Semua ini terlalu tiba-tiba. Sebenarnya Kevin masih syok dengan kejadian tadi. Bayangan wajah Stella yang begitu kacau dengan pandangan memohon membuatnya sesak. Apa yang sebenarnya terjadi pada Stella?

Jam tangan yang melingkar di pergelangan ia lirik. Sudah hampir petang, pukul empat sore. Masih ada waktu makan untuk Stella. Namun ia tidak mungkin membawa Stella ke tempat umum dalam keadaan seperti ini. Kevin benar-benar bingung apa yang harus dia lakukan.

Terlihat mini market di persimpangan jalan. Mungkin Stella butuh beberapa teguk air untuk menenangkan diri. Kevin lantas membawa motornya menepi.

Motor sport itu berhenti di parkiran. Kevin bingung sebab Stella tak melepas pelukan di pinggangnya. Ia lantas menepuk pelan tangan gadis itu. “La, beli minum dulu, yuk? Pasti haus kan?” ujar Kevin lembut.

Stella menarik kepalanya dari punggung Kevin. Pelukan di pinggang lelaki itu perlahan terlepas. Kevin lantas turun dari motornya sambil menahan Stella agar tetap duduk di motornya.

“Mau nunggu di sini atau ikut ke dalem?” tanya Kevin dengan sedikit membungkuk agar berhadapan dengan wajah Stella yang menunduk.

“Ikut,” jawan Stella parau. Kevin mengangguk pelan. Lelaki itu lalu melepaskan helm Stella yang sibuk menghapus jejak air matanya. “Baju lo basah,” lirih Stella sambil menunjuk punggung Kevin.

Kevin melongok ke punggungnya lalu terkekeh ringan. “Nggak apa-apa. Nanti juga kering sendiri.”

Lelaki itu mengulurkan tangan. Stella meraihnya dan digenggam erat. Mereka lalu masuk ke mini market.

***

“Maaf.”

Kevin menolehkan kepalanya pelan. Tatapan gadis itu menerawang ke depan. Menatap deburan ombak yang menenangkan. Angin sepoi menerbangkan anak rambutnya. Kedua mata yang sembab itu menyipit mengkhayati sejuknya angin sore.

“Maaf karena tiba-tiba nyuruh lo bawa gue pergi. Maaf lo harus liat gue berantakan kaya gini. Maaf lo jadi harus nenangin gue padahal semua ini bukan salah lo.”

Lelaki itu menunduk. Menatap kakinya yang menapak tanah dan kaki Stella yang menggantung. Botol di genggamannya sedikit diremat. Sekadar informasi, Kevin itu orang yang sensitif. Nggak bisa lihat orang lain susah, apalagi orang terdekatnya. Kedua matanya pun ikut sensitif. Gampang nangis. Makanya dia dari tadi diam karena nggak mau nangis di depan Stella.

“Nggak apa-apa. Gue seneng bisa jadi orang yang lo percaya buat bawa lo pergi. Jadi orang yang ngeliat lo berantakan. Jadi orang yang bisa nenangin lo walaupun ini bukan salah gue.”

Stella menoleh. Lelaki itu tampak menatap ke arah lain. Yang dia dengar tadi benar bukan sih? Suara Kevin terdengar sedikit bergetar.

Hening beberapa saat. Suara napas Stella yang berair terdengar mendominasi. Kevin ingin menanyakan penyebab gadis itu menangis. Namun sepertinya kurang pantas. Bertanya soal permasalahan pada seseorang yang sedang terpuruk hanya akan menambah beban orang itu. Mereka seharusnya sudah lupa. Namun karena pertanyaan kita, mereka jadi harus mengingatnya lagi. Bukankah itu menyakitkan?

Berbeda dengan apa yang dirasakan Stella. Sebenarnya ia ingin berbagi masalahnya dengan Kevin. Namun ia merasa, gue siapanya Kevin sampe berani cerita tentang masalah keluarga? Bukannya itu terlalu privasi? Takutnya Kevin jadi tidak nyaman.

“Lo suka dengerin lagu apa, La?” tanya Kevin tiba-tiba membuat Stella sontak menoleh.

“Bebas, sih. Gue seringnya muter lagu di playlist yang disediain Spotify. Kaya lagu yang populer di Indo atau daily mix gitu.”

Kevin mengangguk paham. Ia lantas menyodorkan salah satu airpods-nya pada Stella. Gadis itu menerima dan memasangnya di telinga.

“Ada playlist yang namanya Comfort Zone. Kayaknya menarik. Mau coba dengerin?” tawar Kevin yang diangguki Stella.

“Ini bagus. Judulnya apa, Kev?”

Fallin’ All in You, lagunya Shawn Mendes. Suka?”

Stella mengangguk. “Bagus.”

Ibu jari Kevin bergerak menyentuh ikon berbentuk hati sehingga lagu tersebut tersimpan di daftar lagu yang ia sukai.

“Ini juga bagus.”

Heather, Conan Gray,” sahut Kevin tanpa ditanya. Ia kembali menyentuh ikon hati di lagu itu. Begitu seterusnya sampai matahari tenggelam di tengah lautan.