Dalam Keheningan Subuh
Zayyan POV
Kelopak mata gue membuka cepat. Oksigen mendadak tak mampu memasuki pernapasan. Berkali-kali gue berusaha menarik napas namun tak ada udara yang masuk. Ratusan ujung jarum terasa menusuk dada dari dalam. Degup jantung gue meningkat drastis.
Gue berusaha tenang. Ini sudah biasa. Gue pasti bisa melewatinya. Sekarang yang perlu gue lakukan adalah mencari alat bantu pernapasan yang biasanya tersimpan di nakas dekat tempat tidur. Tangan kanan gue meraba-raba asal hingga beberapa barang berjatuhan.
Tidak ada. Alat itu tidak ada di sana.
Masih berusaha mengais oksigen, gue bangkit dari kasur. Berjalan terbungkuk sambil memegangi dada gue yang makin menghimpit. Kedua kelopak mata gue bahkan belum terbuka sempurna. Namun keringat dingin sudah mengucur deras di seluruh tubuh gue.
Ternyata alat itu ada di meja satunya. Dengan sisa tenaga yang ada, tangan gue menyambar alat itu dan langsung gue hirup oksigen yang ada di sana seraya tersungkur di lantai. Sakit, rasanya sakit sekali. Air mata mulai berjatuhan. Ini benar-benar melelahkan.
Perlahan oksigen sudah bisa kembali terhirup. Napas gue begitu terengah. Perlu beberapa menit untuk bisa bangkit dari posisi meringkuk yang kalau dilihat-lihat seperti orang sedang bersujud. Bedanya kedua tangan gue bukan di lantai, tapi memegangi dada dan sungkup yang ditempel di wajah.
Kepala gue bersandar di dinding. Membiarkan puluhan tetes keringat mengalir di dahi dengan mata terpejam. Gue baru saja melarikan diri dari gerbang kematian. Hebat, good job, Zayyan.
Berat rasanya hanya untuk membuka mata. Gue lihat jam dinding menunjukkan waktu pukul empat dini hari. Sayup-sayup adzan berkumandang. Rupanya Tuhan tengah berupaya memanggil gue untuk beribadah. Cara yang bagus, Tuhan. Sekarang hamba-Mu tidak akan bisa tertidur lagi.
Sambil menyeka keringat yang membasahi dahi, gue bangkit menuju kotak obat dan menenggak beberapa pil yang ada di sana. Jantung gue masih berdegup kencang. Mungkin duduk sejenak bisa mengembalikan ritme normalnya.
Panggilan beribadah telah berakhir. Gue lantas melangkah gontai ke kamar mandi untuk menyucikan diri. Sepertinya gue habis melakukan kesalahan besar sampai Tuhan menegur gue dengan cara yang seperti tadi.
Selesai beribadah, gue melangkah keluar kamar. Denting perabot rumah tangga terdengar dari arah dapur. Itu suara bunda yang sedang menyiapkan sarapan.
“Yan,” sapa Bunda melihat gue masuk ke area dapur. “Sudah solat subuh?”
Gue mengangguk lantas duduk di meja makan. Tubuh gue menyandar lemas. Bunda yang mungkin sadar gue tidak bersemangat seperti biasa lantas menghampiri.
“Ada apa? Masih pagi kok sudah murung?”
“Zayyan cape, Bun.”
Bunda menarik kursi untuk duduk di samping gue. “Cerita sama Bunda. Ada apa?”
“Kapan semua ini akan berakhir, Bun? Aku cape setiap kali harus bangun pagi cuman buat cari oksigen.”
Raut wajah bunda tampak menegang. “Kamu habis sesak napas ya? Sudah minum obatnya?”
“Setiap hari aku sesak napas. Setiap hari aku minum obat. Bunda nggak perlu tanya lagi karena jawabannya pasti iya.”
Bunda meraih tangan kanan gue. “Bunda yakin semua ini akan segera berakhir. Tetap di sini ya? Bunda akan selalu temani Zayyan.”
“Aku pengen semuanya berakhir hari ini aja, Bun.”
“Sshh, nggak boleh bicara seperti itu, sayang,” ujar Bunda sambil mengelus punggung gue. “Bunda ambilkan air minum hangat dulu ya biar kamu lega.”
Merepotkan sekali. Pagi-pagi udah bikin Bunda panik. Siapa lagi kalo bukan gue. Sekarang yang bisa gue lakuin cuman duduk dengan air mata yang tertahan melihat bunda membawakan segelas air dengan uap ringan. Bunda membantu gue minum dan benar, rasanya memang lebih tenang. Rongga dada gue jadi menghangat.
“Aku mau balik ke kamar, Bun.”
“Mau Bunda antar?”
Gue menggeleng. “Aku bisa sendiri kok, Bun.”
“Ya, sudah. Nanti Bunda bangunkan kalo sarapan sudah siap ya.”
Gue lantas berdiri dan menjauh dari sana. Gue rasa bunda tak melepas pandang dari punggung gue. Bagus, Zayyan. Sekarang lo udah nambah satu beban pikiran buat Bunda di waktu yang sepagi ini. Beban, lo benar-benar beban keluarga, Yan.