Di Sepertiga Malam
Zayyan POV
Dini hari, gue kembali terbangun. Menatap langit-langit rumah sakit yang menyala temaram. Berbeda dengan kejadian tempo hari, napas gue masih ada. Semua ini berkat alat bantu pernapasan yang melekat di wajah gue. Seinget gue sebelum tidur, alat ini udah gue lepas. Kok tiba-tiba bisa terpasang lagi?
Kepala gue tertoleh ke samping dan menemukan Zafran tengah terlelap di sofa. Apa mungkin Zafran yang udah masang alat ini?
Pikiran gue melayang. Mengingat semua yang udah gue lewatin selama beberapa bulan ini. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tahun lalu. Hidup gue benar-benar berubah. Gue jadi takut dengan apa yang akan terjadi di tahun depan. Apakah akan berubah dengan drastis juga? Apakah gue masih ada di sana?
Tanpa sadar, gue menangis tanpa suara. Berkeluh kesah pada Tuhan tentang apa yang Dia berikan di tahun ini. Berbisik kepada-Nya tentang segala rasa sakit yang tak pernah bisa tersuarakan. Hanya di keheningan subuh, gue menyerah atas takdir yang tengah berputar dalam hidup.
Seringkali gue menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpa gue. Apa kesalahan yang telah gue perbuat sampai Tuhan memberikan hukuman seberat ini? Sebesar apa dosa yang gue punya sampai Tuhan harus kasih gue penyakit separah ini untuk menghapus dosa itu? Apa kesalahan yang sudah gue perbuat di kehidupan sebelumnya?
Namun sekeras apapun gue berteriak, Tuhan tetap memilih mendengar doa di setiap sujud gue. Maka di setiap sujud, gue selalu berharap,
Ya Tuhan, jika memang aku harus kembali ke pangkuan-Mu, aku hanya ingin penyambutan yang indah. Aku akan protes jika Engkau tidak menyambutku di atas sana setelah segala penderitaan yang telah Kau berikan dalam kehidupan duniaku. Aku selalu ikhlas menerima segala suka duka yang Kau berikan dalam garis kehidupanku. Itu sudah cukup bukan untuk membayar surga-Mu?
Tuhan, jika aku boleh meminta, aku ingin hidup sebentar lagi. Aku belum melakukan apapun untuk ayah dan bunda. Aku belum membayar lunas semua hutangku pada mereka. Biarkan aku membalas segalanya dengan setimpal. Aku sudah banyak memberikan beban pada mereka. Biarkan aku membalas semuanya di sisa hidupku.
Tuhan, aku mohon lapangkanlah hati keluargaku jika nantinya Engkau lebih mengharap kepulanganku. Kuatkanlah jiwa ayah. Ikhlaskanlah hati bunda. Limpahkanlah banyak kebahagiaan untuk Zafran. Aku tidak ingin mereka berkabung dalam kesedihan terlalu lama.
Tuhan, jangan biarkan Zafran berlarut dalam rasa bersalah jika aku pergi nanti. Dia akan menyalahkan diri atas kepergianku. Dia tidak pernah bersalah. Dia peduli denganku meskipun dia tidak pernah mau menunjukkannya. Dia takut kehilanganku meski dia tak mau mengakuinya. Mudahkanlah Zafran untuk mengikhlaskan kepergianku nantinya.
Air mata gue mengalir deras tak terbendung. Betapa sakitnya setiap kalimat yang keluar dari batin gue. Betapa sesaknya hanya untuk bisa meraup satu tarikan napas. Gue tidak ingin pergi. Namun gue yakin itu akan terjadi tak lama lagi.
“Zayyan?”
Gue tersentak. Tanpa gue sadari, Zafran sudah terduduk di sofa sedari tadi sambil menatap gue. Dengan cekatan, gue menghapus setiap jejak air mata di pipi. Namun semuanya sia-sia. Zafran sudah melihatnya. Kini, dia beranjak mendekati gue.
“Lo kenapa nangis? Sakit? Mau gue panggilin dokter?” tanya dia terlihat berusaha meredam panik.
Gue menggeleng. “Gue mau lo di sini aja,” ujar gue lirih di tengah isakan.
Maka dengan cepat, Zafran menarik kursi dekat gue. Dia memegangi lengan gue untuk memberikan pijatan ringan. Tangan yang satu ia gunakan untuk mengambil tisu dan mengelap air mata gue.
“Kenapa? Coba cerita sama gue,” ujarnya begitu lembut.
“Sakit, Ran.”
Untuk pertama kalinya, gue mengakui perasaan gue di depan Zafran. Rasanya begitu sesak, melebihi sesak dari penyakit gue.
Mata Zafran terlihat memerah. Dia menggenggam tangan gue begitu erat. Tangan Zafran terasa sangat dingin.
“Gue yakin lo bisa mengalahkan rasa sakit itu, Yan. Lo harus semangat. Gue selalu dukung lo di sini. Gue akan selalu ada buat lo.”
“Gue pengen bisa bernapas kaya dulu, Ran. Nggak perlu pakai alat kaya gini.”
“Iya, sebentar lagi. Gue yakin sebentar lagi lo bisa bernapas kaya dulu. Sabar ya. Bertahan sedikit lagi. Gue yakin lo bisa sembuh. Pasti sembuh.”
Kini air mata kami berdua sama-sama mengalir deras. Zafran tak melepas genggamannya, malah semakin mengerat. Begitu juga yang gue lakukan. Gue nggak mau berpisah dengan Zafran. Gue mau terus sama dia sampai akhir.
Tuhan, jangan biarkan Zafran terlalu bersedih saat aku pergi nanti.