Duka yang Tergali

Lorong itu tampak lengang. Presensi lima anak adam di sana tak cukup untuk menghidupkan suasana. Mereka tenggelam dalam pikiran kalut masing-masing. Melayang memikirkan banyak hal yang sejatinya berinti satu.

Tak ada yang bisa dibagi. Mereka sibuk mengontrol diri sendiri.

Hingga isakan wanita yang tengah duduk di kursi besi dingin itu menginterupsi. Sang suami yang duduk di sampingnya lantas menarik istrinya untuk bersandar di bahu. Sebuah usapan lembut ia sapukan di punggung istrinya. Berusaha menyalurkan kekuatan yang sebenarnya sama hancurnya.

Ketiga anak lelaki di sana memandang dengan tatapan memanas. Tubuh kokoh yang tadinya mampu berdiri tegap kini menyandar di dinding. Bahkan lelaki bernama Kevin itu meluruh ke lantai dan menumpahkan segala sesak yang tertahan. Jayden yang berdiri di sebelahnya lantas berjongkok untuk memeluknya. Danny dari seberang pun mendekat turut memberi kekuatan yang sebenarnya ia butuhkan juga.

“Kenapa jadi kayak gini? Dia bakal baik-baik aja, kan?” ujar Kevin di tengah isakannya. Hanya setetes air mata yang meluncur di kedua belah pipi Danny dan Jayden yang mampu menjawab.

Justin tengah menjalani hipnoterapi. Terapi tersebut biasa memakan waktu sekitar satu, dua, atau mungkin lebih sesuai kebutuhan. Satu jam digunakan untuk wawancara mendalam dengan pasien agar terapis bisa mengetahui gambaran jelas mengenai segala permasalahan pasien, dari mulai asal muasalnya sampai siapa saja yang terlibat dari terciptanya rasa trauma tersebut. Setelah wawancara selesai, baru dilanjutkan ke sesi terapi.

Dua jam sudah berlalu, tapi dokter yang menangani Justin belum juga menampakkan diri. Apalagi mereka tidak bisa mendengar apa yang terjadi di dalam sana. Tak ayal, berbagai macam pikiran buruk mulai menghantui.

Derit pintu yang sedari tadi ditunggu akhirnya terdengar. Mereka yang berdiri di luar sontak berdiri. Dokter yang telah menduga akan terjadi keributan langsung menyuruh mereka tenang.

“Sesi terapi berjalan lancar. Pasien masih memerlukan beberapa waktu untuk kembali ke kondisi sadar normal. Sebaiknya jangan ditemui terlebih dahulu. Biarkan dia menenangkan diri,” ujar sang dokter dengan tenang.

“Anak saya baik-baik saja kan, Dok? Apa saya ndak bisa menemuinya sebentar saja?” ujar ibu Justin.

“Satu orang saja, ya.” Ucapan sang dokter langsung diangguki. Ibu justin meminta ijin ke suaminya sebelum masuk. Setelah mendapat anggukan dari sang suami, ia segera masuk ke ruangan tersebut.

“Bagaimana hasil terapinya, Dok? Apa anak saya bisa sembuh?” tanya ayah Justin.

“Bisa, hanya saja butuh beberapa tahap sampai benar-benar pulih. Untuk lebih jelasnya, mari bicarakan di ruangan saya. Apa Bapak ada waktu?”

Ayah Justin mengangguk tanpa ragu. “Dan, Om tinggal dulu. Nanti bilang ke Tante Wina, Om lagi bicara sama dokter.” Danny mengangguk paham. Setelah melambai ke Kevin dan Jayden, ayah Justin pergi bersama si dokter.

Kevin terduduk lemas di kursi. Perasaanya sudah lebih lega mendengar Justin bisa melewati sesi terapinya. Namun rasanya belum puas kalau belum melihat Justin secara langsung.

“Setidaknya dia baik-baik aja sekarang,” ujar Danny mencoba menghilangkan kegelisahan teman-temannya.

Sedangkan di dalam ruangan, Justin masih terbaring di ranjang dengan mata terpejam dan napas tersengal. Ia tidak mengingat apa yang terjadi barusan. Hanya saja saat terbangun, matanya sudah membengkak dan rasanya lelah sekali. Namun ada rasa lega yang terasa sejuk di rongga dadanya. Beban berat yang selama ini terpendam perlahan memudar.

Lengan kanannya ia letakkan di dahi. Pusing. Terapi tadi membuatnya kembali mengingat kejadian traumatis di masa lalu. Namun Justin sudah bersyukur ia bisa melewati semuanya. Ya, mungkin dokter tadi butuh tenaga ekstra untuk menenangkannya.

“Justin.” Suara sang ibu membuat Justin membuka matanya. Ia menoleh dan mendapati sang ibu berdiri di sampingnya disertai tangis haru.

“Bu,” lirih Justin.

“Ada yang sakit?”

Justin menggeleng lemah. “Cuman sedikit pusing, Bu.”

Ibu Justin mengusap dahi anaknya dengan halus. “Ndak apa-apa, nanti pusingnya pasti hilang.” Justin mengangguk dan kembali memejam merasakan usapan lembut sang ibu.

“Sehat terus, yo, anak kesayangan ibuk.”