Epilog
Sabtu sore yang cerah. Seorang gadis duduk di pojok kafe dengan sebuah novel berjudul “Hujan” karangan Tere Liye dan secangkir kopi yang mengepul. Sesekali ia menyesap minumannya dengan kening yang berkerut oleh kisah yang cukup menguras otaknya. Sebuah kisah tentang melupakan. Freya jadi membayangkan, apakah alat penghilang ingatan akan benar-benar ada di masa depan nanti? Kalau iya, mungkin Freya harus mencobanya.
Lonceng berdenting tanda seseorang masuk ke kafe. Freya refleks melirik dan hampir tersedak mendapati gerombolan lelaki yang dikenalnya memasuki kafe. Ia lantas mengubah posisi duduk agar mereka tidak menyadari keberadaannya. Untung saja mereka mengambil tempat duduk cukup jauh darinya.
Lelaki berjaket hitam dengan dalaman kaos putih itu mencuri perhatiannya. Ia tampak merogoh saku lalu memantik sepuntung rokok. Ia tersenyum miring seraya mengembus asap yang dihirupnya. Irama detak kehidupan di rongga dadanya meningkat. Ini tidak bisa dibiarkan. Freya harus pergi dari sini.
Gadis itu segera mengemasi barangnya. Novel tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia melangkah mengendap menuju pintu keluar. Hampir saja ia lega berhasil mencapai gagang pintu, tiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Freya?”
Freya mengenal sekali suara itu. Suara Justin Mahendra. Ia lantas berbalik berusaha mengatur eskpresi wajahnya jadi setenang mungkin.
“Oh, bener ternyata. Sendirian?” tanya Justin. Teman-temannya hanya melirik sekali lantas kembali sibuk sendiri, kecuali Danny yang ikut menatap keduanya.
“Ya, kaya yang lo liat sekarang,” jawab Freya tak acuh.
“Mau gabung sama kita?” tawar Justin membuat yang lain menatapnya bersamaan.
“Nggak usah, gue mau pulang kok.” Setelah melempar senyum tipis, Freya kembali berbalik. Namun lagi-lagi ia tertahan oleh panggilan Justin.
“Gue boleh ngobrol sebentar sama lo?”
“Sejak kapan lo kenal Noir?”
Justin dan Freya mengambil tempat duduk terpisah dari ketiga teman Justin. Mereka duduk berhadapan dengan Freya yang bersandar di kursi dan Justin yang menaruh kedua tangannya di meja.
“Udah lumayan lama. Sebelum kita kenal. Lebih tepatnya waktu pertama kali kita ketemu, di jalan Kenanga.” Jawaban Freya berhasil membungkam Justin. “Dia yang nyelametin gue malam itu. Pas lo ninggalin gue.”
Justin menegakkan tubuhnya. Raut kebencian itu kembali tumbuh di wajah Freya. Ia tahu, Freya takkan semudah itu untuk memaafkannya. Bahkan di malam ketika mereka bertemu kembali setelah dua tahun berpisah, Freya lebih memilih pulang bersama Noir. Lalu esoknya, ada sebuah pesan masuk ke ponsel Justin dari Freya yang menyuruhnya untuk melupakan kejadian semalam.
Pahit. Mana mungkin Justin bisa melupakan sebuah pelukan hangat yang lama ia idamkan?
“Gue cuman tanya kapan, Freya.”
“Biar lebih jelas.”
“Lo bisa jauhin dia?”
“Kenapa?”
Justin menyesap minumannya sebelum menjawab pertanyaan Freya. “Dia bukan cowok yang baik buat lo.”
“Terus cowok yang baik buat gue siapa? Lo?”
Justin hampir tersedak air liurnya sendiri. “Kalo menurut lo begitu, ya udah,” ujarnya dengan senyuman menggoda.
Freya merotasikan bola matanya. “Nggak juga sih.”
Justin kembali mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Freya. “Tapi gue serius, Noir bukan cowo baik-baik. Lo harus hindari dia.”
Gadis itu menghela napas kasar. “Lo nyegah gue balik cuman buatan bicarain ini?” Ia mengemasi barangnya. “Nggak penting banget sih.” Freya lantas beranjak pergi..
“Ayo buat kesepakatan!” teriak Justin membuat langkah Freya terhenti.
Kemudian Justin berjalan menghampiri Freya. Ia berhenti tepat di sebelah gadis itu. Justin mendekatkan mulutnya di telinga Freya lalu berbisik. “Gue nggak akan ganggu lo lagi kalo lo dateng ke Sentul malam ini, jam sembilan.”
Tubuh Freya membeku bersamaan dengan bisikan menggelitik di telinganya. Ia menatap kepergian Justin yang kembali bergabung dengan temannya. Setelahnya ia baru bisa memgembus napasnya. Apa-apaan lelaki itu. Gila.
“Lo yakin bakal balapan lagi sama Justin, Fre?”
Freya berdiri setelah selesai mengecek mesin motornya. Ia berbalik menghadap sahabatnya, Stella, yang memandangnya khawatir. Freya mengangguk mantap. “Ini salah satu cara biar gue bisa ngelupain dia secepatnya.”
“Tapi lo nggak tau Justin kaya apa! Dia bahkan pernah ngalahin Noir, Fre. Lo nggak takut apa?”
Freya terkekeh. “Gue juga pernah ngalahin Justin kali.”
Gadis itu mengangkat helmnya lalu menggantungnya di pergelangan tangan. Seseorang yang ia tunggu kedatangannya menghampiri untuk memberikan sapaan singkat.
“Jadi apa kesepakatannya?” Tanpa basa-basi Freya kembali mengulang penawaran Justin saat di kafe tadi.
Justin tampak sedikit terkejut. Terlihat dari sorot matanya. “Jadi lo beneran berani lawan gue?”
Pertanyaan Justin membuat salah satu sudut bibir Freya terangkat. “Kenapa gue harus takut? Lo pernah kalah dari gue, kalo lo lupa,” jawab Freya dengan tatapan yang menghujam, menembus sepasang obsidian pemuda di hadapannya. Tatapan itu sukses memicu debaran aneh pada sang adam. Justin berusaha menyembunyikan debaran tersebut.
Kehadiran Freya masih menjadi kekuatan terbesar untuk menghancurkan dunianya. Balutan pakaian serba hitam yang melekat di tubuh gadis cantik itu semakin menarik Justin untuk semakin dalam menyelami pesona Freya.
“Kalo gue menang, lo beneran berhenti muncul di kehidupan gue kan?”
Pilihan yang menyakitkan. Justin jadi menyesali kalimat itu. Mana bisa ia menjauh dari Freya disaat gadis itu adalah dunianya?
“Tapi kalo gue menang, lo harus jauhin Noir.” Freya tak mampu untuk menyembunyikan keterkejutannya. Sepertinya Justin sangat berambisi untuk menjauhkan hubungannya dengan Travis.
“Deal.” Kata itu terucap seiring tautan tangan yang terayun. Justin bersorak. Malam ini akan jadi saksi bagaimana ia memenangkan balapan dan membebaskan Freya dari laki-laki yang salah.
Dua pembalap itu sudah siap di garis start. Mata lentik sang gadis menyiratkan sebuah ambisi untuk menenangkan pertandingan. Sedangkan pemuda di sebelahan tengah mati-matian menahan senyum.
Bendera start telah dikibarkan. Keduanya melaju dengan menarik habis gas motor masing-masing. Sorak sorai penonton menggelegar saat mereka sudah melesat jauh dari garis permulaan.
Justin membiarkan gadisnya memimpin balapan. Saat ia lengah, Justin akan menarik habis gasnya sampai menyejajarkan motornya dengan milik Freya. Justin lalu membuka kaca helmnya.
“Siapin diri lo buat kalah malam ini!” teriak Jusitn membuat Freya menoleh. Lelaki itu tertawa. Setelahnya, ia memacu motornya kencang melewati Freya begitu saja.
“Nggak bisa dibiarin!” Freya menaikkan kecepatan. Namun percuma sebab Justin sudah berhasil memutus pita kemenangan. Sorakan penonton menggelegar keras.
Motor Freya akhirnya sampai. Pemuda yang sudah melepas helmnya itu tersenyum puas dan menghampirinya. Freya kesal melihat senyuman yang seakan mengejeknya. Ia lalu melepas helm-nya dan membiarkan rambut panjangnya terbang bersama angin malam.
Justin dibuat tak berkedip melihatnya. Aura Freya tak pernah gagal membuatnya terpesona.
“Gue yang menang. Jadi mulai malam ini, lo harus jauhin Noir.”
Justin menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan Freya. Meminta sebuah ikatan perjanjian yang telah disetujui. Justin menatap gadis di hadapannya penuh harap. Demi langit gelap dan gemerlap lintang, ia sangat berharap Freya mau menuruti keinginannya.
Freya menimbang sejenak. Apa dia bisa menjauh dari Travis di saat lelaki itu tahu segala hal yang ia lakukan? Di manapun Freya berada, Travis akan selalu menemukannya. Lelaki itu seperti mengintainya setiap saat.
Senyum tipis terukir di bibir Freya. Dua kelingking itu saling bertaut. Bagaimanapun, Freya harus kooperatif. Lagipun, Travis akan kembali ke Jepang. Pastinya mereka akan berjauhan.
Justin mendelik sempurna, tak percaya dengan Freya yang menyetujui permintaannya. Freya tertawa kecil melihat ekspresi Justin yang begitu berlebihan.
Dari kejauhan, seorang pemuda menatap mereka tajam dengan tangan yang mengepal kuat. Anjing.