Escape

Sudah lewat tiga jam sejak Evan melihat instastory Vale, tapi lelaki itu tak kunjung datang seperti yang Vale harapkan. Vale sudah lelah. Tidak terhitung berapa kali ia menoleh ke pintu masuk setiap ada pengunjung baru yang datang tapi tetap saja dia tidak menemukan kehadiran Evan. Vale sedih. Apakah hanya dia yang merindukan Evan? Apakah Evan benar-benar tidak mau menemuinya lagi?

Air mata Vale mulai berjatuhan. Bodoh sekali dia berpikir Evan akan datang. Jelas-jelas lelaki itu mengatakan kalau berpisah adalah keputusan yang terbaik untuk mereka. Sudah pasti Evan tidak akan menemuinya lagi.

Vale lantas menyeka air matanya lalu bersiap pergi. Tidak ada lagi yang perlu ia perjuangkan. Hubungan ini memang harus diakhiri. Buat apa dia buang-buang waktu untuk seorang lelaki yang tidak menginginkannya lagi?

Pandangan Vale berpendar ke sekitar kafe saat ia keluar. Masih saja mencari keberadaan Evan namun hasilnya tetap nihil. Evan tidak datang. Evan tidak menemuinya. Evan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Evan tidak lagi memperjuangkannya. Evan sudah menyerah. Mereka benar-benar sudah berakhir.

Langkah Vale tegas dan cepat menghampiri mobilnya. Achmad, supir Vale, tampak membukakan pintu untuk Vale lalu kembali ke kursi pengemudi. Melihat majikannya menangis membuat dia agak panik. Bosnya tidak akan suka dengan ini.

Mobil Vale meninggalkan area kafe. Vale tampak melamun sambil menatap jalanan dari balik jendela. Terlalu banyak hal mengejutkan yang datang ke hidupnya akhir-akhir ini. Dari mulai Evan sakit, Evan berpikir tidak bisa menyelamatkan mereka, Evan menciumnya, Evan menjauh, sampai Evan mengakhiri hubungan mereka. Vale baru sadar, terlalu banyak nama Evan di hidupnya. Hampir semua bagian hidupnya memiliki nama Evan di sana.

“Lagi mikirin apa, Non? Kok murung gitu mukanya?”

Vale menghembuskan napas pelan. “Sedih aja, Pak. Orang yang mau aku temuin tadi nggak dateng.”

“Loh, padahal non udah nunggu lama banget. Keterlaluan tuh temennya non.”

Vale tersenyum tipis sambil melirik kaca spion di atas kepala supirnya. Tadinya ia ingin membalas tatapan pak Achmad, tapi dia malah menemukan sesuatu yang ganjil di sana.

Kepala Vale spontan berputar penuh ke belakang. Matanya memicing. Tepat beberapa meter di belakang mobilnya, ada seorang pengendara motor yang seperti tengah mengikuti mobilnya. Vale tidak asing dengan pengendara motor itu. Bukankah dia ... Evan?

Iya! Itu Evan! Vale masih mengingat plat nomor motor lelaki itu. Evan datang. Evan datang menemuinya!

“Pak Achmad! Berhenti, Pak!” teriak Vale sambil menepuk-nepuk sandaran kursi supirnya.

“Eh, kenapa, Non?!”

“Itu di belakang ada Evan! Evan mau ketemu sama aku, Pak! Aku harus temuin dia!”

“Maaf, non. Tapi ayahnya non Vale sudah titip pesan kalo non nggak boleh ketemu mas Evan. Maaf ya non. Pak Achmad nggak bisa turutin kemauan non.”

“Sebentar aja, Pak! Aku janji!” mohon Vale sampai hampir menangis.

“Maafin saya, Non. Saya nggak berani melawan perintah ayahnya non.”

“Pak Achmad aku mohon. Aku cuman pengen ketemu Evan sebentar aja. Hati aku sakit banget sekarang. Cuman Evan yang bisa sembuhin. Tolong aku, Pak. Tolongin, Vale.”

Mendengar Vale menangis, hati pak Achmad jadi tersentuh. Ia sudah menjadi supir Vale sejak perempuan itu masih kecil. Sudah terbentuk rasa kasih sayang layaknya seorang ayah kepada anak perempuannya di antara mereka. Mendengar anak yang ia rawat sejak kecil memohon seperti ini, tidak mungkin dia bisa mengabaikannya.

“Sebentar aja ya, Non,” peringat pak Achmad sambil menepikan mobil.

Vale bergegas keluar dari mobil. Menemukan Evan yang ikut berhenti tak jauh dari sana. Vale langsung berlari menghampiri lelaki itu. “EVAN!” teriaknya.

Evan melepaskan helm yang ia pakai. Raut wajahnya tegang melihat Vale tergesa-gesa menghampirinya. Ia lantas menurunkan standar, hendak turun dari motornya tapi Vale mencegah.

“STOP!” pekik Vale. Ia menubruk Evan dan menggenggam lengan lelaki itu dengan kencang. “Pergi! Kita harus pergi sekarang!”

“Hah! Pergi gimana?!”

“Please, Evan! Bawa gue pergi!”

Rahang Evan mengeras. Menatap wajah Vale yang berderai air mata. “Naik,” ujarnya lantas kembali memakai helm. Standar motornya telah kembali ke tempat. Ia membantu Vale menaiki motornya dan memastikan perempuan itu duduk dengan nyaman. Setelah itu, Evan kembali menghidupkan motornya lalu melesat ke jalanan, meninggalkan supir Vale yang berteriak memanggil mereka.