Evaluasi

Rissa sebenarnya nggak mau nyalahin Jarvis buat semua yang udah terjadi di lika-liku kehidupan kepanitiaan yang dia ikutin. Tapi mau ditahan gimanapun, tetep aja semua ini emang asalnya dari Jarvis. Kalau aja dari awal Jarvis mau jadi kapten, Rissa nggak akan kenal sedekat ini sama cowok itu. Nggak akan juga dimusuhin sama hampir semua panitia karena ulah Jarvis yang nggak ada habisnya.

Di puncak acara, Rissa nggak dikasih kepercayaan apapun buat ngurusin acara. Dia cuman luntang-lantung ke sana kemarin nggak ada tujuan. Setiap tanya sama panitia lain selalu dijawab kalau nggak ada yang perlu dikerjain cewek itu. Nggak, bukan ini yang Rissa mau. Dia pengen dapet kepercayaan banyak orang. Tapi ini? Dia kaya nggak dianggap banget.

Rissa cape. Bukan cape karena banyak kerjaan, tapi karena nggak ada kerjaan. Dan itu lebih banyak ngabisin energi. Apalagi dia nggak dapet apa-apa dari rasa cape itu.

Kalau Rissa nggak tahan setengah mati, pasti dia udah nangis dari tadi. Tapi Rissa nggak mau keliatan lemah di hadapan panitia lain. Dia mau dipercaya. Dia mau diandelin. Dia harus keliatan kuat buat dapet semua itu. Dia berusaha nutupin semuanya. Bertingkah seakan nggak ada hal yang terjadi. Rissa yakin, semua ini pasti akan segera berakhir.

Buat menuju akhir atau ending dalam sebuah cerita, harus ada klimaks atau puncak konflik yang selanjutnya turun pada penyelesaian masalah. Di titik itulah Rissa berada. Sekarang dia dan panitia lain sedang berkumpul di suatu ruangan untuk melaksanakan evaluasi. Perasaan dia udah nggak enak. Kayaknya dia bakal diserang.

Satu persatu divisi dievaluasi bersama. Mulai dari divisi yang nggak terlalu banyak mendapat masalah sampai divisi yang paling banyak bikin masalah. Divisi apalagi kalau bukan divisi acara. Divisi yang emang menduduki puncak piramida tertinggi dari divisi lain dan bisa dibilang yang mempengaruhi keberhasilan suatu acara.

“Gue denger anak acara sama Jarvis sempet ada crash sebelum tanding ya? Sampe pertandingan harus diundur beberapa menit,” ujar salah satu panitia di sana.

“Iya, ada masalah. Tapi nggak terlalu berarti,” jawab Arjuna selaku coordinator divisi acara.

“Masalah apa kalau boleh tau?” sahut panitia lain.

Saat pertanyaan itu terlontar, semua anak acara langsung ngelirik Rissa. Yang dilirik langsung gelagapan.

“Anu ….” Rissa hendak bicara tapi langsung diserobot sama Arjuna.

“Cuman salah paham dikit. Ya kalian udah tau lah si Jarvis gimana. Dari awal seleksi juga udah bikin masalah.”

“Terbuka dong masalahnya apa. Kan tujuan eval kaya gitu.” Semakin ditutupi, panitia lain malah jadi semakin penasaran.

Arjuna mendengus. “Pas hari H, Jarvis tiba-tiba ilang nggak ada kabar. Semua anak basket mencar nyariin dia. Makanya sempet amburadul. Trus pas Jarvis ketemu, ya udah balik ke pertandingan.”

“Seinget gue, semua anak acara sempet ngilang serentak. Katanya dipanggil sama Jarvis buat ngobrol. Kalian ngobrolin apa?”

Pertanyaan yang detail sekali. Rissa benar-benar takut sama suasana kaya gini.

“Jelasin, Ris! Pertanyaan ini baiknya lo aja yang jawab karena lo yang paling tau gimana kronologinya,” pinta Arjuna tiba-tiba membuat Rissa kaget bukan main.

Tangan Rissa mendadak gemetar dan dingin. Suhu tubuhnya meningkat, begitu pula degup jantungnya. Berpuluh pasang mata menatapnya. Rissa seperti akan dikuliti hidup-hidup.

“Cerita yang detail ya, Ris. Biar nggak ada salah paham,” ucap Prayoga tepat saat Rissa baru membuka mulut. Rissa mengangguk dengan menanggung tekanan yang lebih berat.

“Ijin menjelaskan, jadi kemarin pas kak Jarvis nggak ada, aku langsung inisiatif nyari karena ternyata aku PJ atlet basket putra harapan. Mohon maaf sebelumnya kak, dari awal emang nggak ada pembagian PJ jadi aku baru tau. Mungkin udah ada pembagiannya, tapi aku yang kurang memperhatikan. Sekali lagi maaf.”

Rissa tahu betul tidak ada pembagian PJ seperti itu. Dia nggak pernah ngelewatin satu pesan pun yang dikirim grup panitia. Tapi daripada dia makin kena masalah, mending ngaku salah duluan.

“Aku ketemu kak Jarvis di minimarket deket sekolah. Katanya ban motornya bocor jadi telat dating. Dia nggak bisa dihubungin karena hapenya ketinggalan. Akhirnya aku sama kak Jarvis nyari bengkel bareng trus ke rumah kak Jarvis buat ambil hp.

Di situ aku ditanyain sama kak Jarvis, kenapa sendirian? Aku jawab karena ini emang tugasku jadi aku yang harus nyari. Tapi mungkin cara aku menjelaskan yang salah jadi kak Jarvis ngiranya cuman aku yang kerja. Trus kak Jarvis minta ketemu sama panitia yang lain. Udah kak, gitu aja kalo dari aku. Makasih banyak atas perhatiannya.”

“Lo bilang cuman lo yang nyari, Ris? Panitia yang lain juga ikut nyari kan bukan lo doang? Anak basket juga ikut nyari,” timpal Arjuna.

“Iya, kak, maksud aku ….”

“Kemarin kan tugasnya udah dibagi-bagi, Ris. Jadi bukan cuman kamu aja yang harus nyari kok. Semuanya ikut nyari,” potong Prayoga.

“Maksud aku, kemarin pas ketemu kak Jarvis kan posisinya aku sendirian. Jadi kak Jarvis mikirnya cuman aku yang nyari.”

“Kenapa lo nggak bilang kalo panitia lain ikut nyari?”

“Udah, Kak.”

“Kalo udah, nggak mungkin Jarvis sampe manggil semua anak acara buat diroasting. Dia bilangnya kita cuman nyuruh lo aja. Nggak ikut kerja.” Arjuna semakin memojokkan Rissa.

Suasana semakin tegang. Tidak ada yang berani menyela.

“Kamu dikasih tugas kaya gitu aja ngeluh sampe ngadu ke Jarvis. Jangan mentang-mentang deket sama dia, kamu jadi cari aman sendiri,” ujar Nana yang terpancing emosi.

“Aku nggak ngadu, Kak. Aku bahkan nggak tau kak Jarvis bakal kaya gitu,” bela Rissa.

“Ada apa nih? Kok nama gue disebut?” ujar seseorang tiba-tiba dari ambang pintu, Jarvis.

Semua panitia terkejut dengan kedatangan Jarvis, terutama Rissa.

“Ini urusan panitia, Jar. Tolong kesopanannya lah. Lo nggak ada hak buat ikut campur.”

“Lah? Nama gue yang jadi bahan perdebatan masa gue nggak boleh ikut campur?”

Jarvis melangkah ke dalam ruangan. Ia mengambil sebuah kursi lalu duduk. “Ijin masuk forum, gue ngaku salah karena udah menghambat pertandingan tadi. Gue nggak bermaksud mencap anak acara yang kerja cuman Rissa. Tapi ya dipikir lah, ini anak nyariin gue sendirian. Nggak ada kendaraan. Kalau dia pingsan di jalan, sapa yang bakal repot? Lo semua juga kan?”

Seperti biasa, kalau Jarvis ngomong nggak akan ada yang berani menyela.

“Maksud gue, kalo lo pada nyuruh Rissa nyari gue, ya minimal ditemenin lah. Bawa kendaraan. Kalau kaya tadi, kesannya kalian ngelepas Rissa gitu aja. Wajar dong gue ngira lo pada nggak bertanggung jawab sama tugas dan cuman ngandelin Rissa?”

“Kan, udah gue jelasin tadi, Jar! Tugas anak acara itu banyak. Semua anak kebagian tugasnya masing-masing. Nggak mungkin semua anak acara cuman ngurusin lo doang kan?”

“Iya, tapi ….”

“Kak Jarvis.” Mendadak Rissa bersuara. Semua pandang langsung tertuju padanya. “Walaupun nama kakak terlibat dalam forum evaluasi ini, tapi gue pikir lo nggak ada hak buat ikut campur, Kak. Daripada suasana makin rumit, gue minta maaf banget, jangan ikut campur ya, Kak? Gue udah ngaku salah kok, dan emang gue salah. Jadi nggak perlu dibelain, Kak.”

Baru kali ini, Jarvis merasa harga dirinya merosot begitu tajam.