Fakta Baru Tentang Helen

Aksel POV

Semburat jingga menyergap membawa kehangatan. Dari balik jendela, burung-burung terlihat berkejaran sambil berdecit. Angin lembut membelai pepohonan yang rindang.

Helen kembali dengan sebuah kotak di tangannya. Gue menoleh lalu mengernyit. Kotak apa itu? Helen menyeret sebuah kursi ke depan gue dan duduk disana.

“Kotak apaan itu?”

Tanpa menjawab, Helen membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat berbagai cat warna dengan warna yang bermacam-macam. Gue emang nggak bisa liat warna cat itu. Label warna yang tertempel di wadah itu membantu gue mengenali warna-warni cat itu.

“Cat warna?”

“Eum, dengan cat warna ini, aku jadi lebih mudah buat ngenalin kamu berbagai warna,” jawab Helen ramah.

Gue tersenyum tipis. “Tapi Len, aku nggak bisa liat warna cat it—loh?”

Gue tercekat. Nggak, gue nggak mungkin salah liat tadi. Tadi bener-bener jelas kalo...

“Apa?” tanya Helen bingung dengan masih menggenggam cat warna tadi.

“Ta-tadi cat itu nggak berwarna. Tapi pas kamu pegang, tiba-tiba keluar warnanya,” ucap gue gemetar.

Helen sontak melepaskan cat warna di tangannya. Cat itu jatuh ke dalam kotak dan otomatis warnanya menghilang. Helen tertegun, sama kaya gue. Kita bener-bener syok. Gue serius. Tadi cat warna itu jelas muncul warnanya pas Helen pegang.

“Aksel jangan bercanda gitu dong. Aku jadi takut tau,” ucap Helen agak panik.

“Se-serius, Len. Aku benar-benar liat kaya gitu tadi. Maaf, aku nggak bermaksud bikin kamu takut.”

Gue nggak boleh bikin Helen panik. Dia udah berusaha bantu gue. Gue nggak boleh bikin dia takut kaya gini. Tapi ... Astaga ... Gue bener-bener speechless sama Helen. Dia, dia siapa si sebenarnya?

Helen menarik nafas lalu membuangnya pelan. “Oke, malah kebetulan kan? Aku jadi lebih gampang ngenalin warna ke kamu. Tinggal pegang aja terus muncul deh warnanya. Wih, aku jadi ngerasa kaya pesulap sekarang.”

Gue bisa lihat usaha Helen untuk menenangkan suasana. Meskipun gue tahu, pasti dalam benaknya lebih syok dari gue. Lubuk hati gue tersentuh. Oh shit! Helen berhasil membawa gue jatuh lebih dalam lagi.

“Hei! Jangan ngelamun. Katanya mau belajar warna.” Tanpa sadar, Helen dari tadi melambai-lambaikan tangannya di hadapan gue. Gue gelagapan dan memaksakan sebuah senyum terukir di bibir.

“Ah, maaf aku jadi nggak fokus. Ayo, kita mulai.”

Helen berdeham dan memulai kelas warnanya. Satu persatu cat warna ditunjukkan ke gue. Tangannya agak gemetar. Apa dia masih takut sama kejadian tadi ya? Ya jelas masih lah. Gue aja masih deg-degan liat cat warna itu satu persatu muncul warnanya pas Helen pegang.

Tapi di sisi lain, gue juga seneng. Lihat satu persatu wujud warna yang ternyata benar indah. Sampai-sampai gue nggak rela cuman buat kedip sekalipun. Amazing. Hidup gue jadi lebih terasa ramai, nggak sunyi kayak biasanya. Andaikan aja gue bisa liat warna-warni itu selamanya. Pasti hidup gue lebih terasa.

“Nah gimana? Udah ada gambaran gimana warna-warna itu?” tanya Helen yang telah menyelesaikan kelas (dadakan) warnanya.

“Udah. Bener kata kamu, warna itu indah ternyata. Tapi menurutku nggak lebih indah dari kamu tuh,” jawab gue mulai gombalin dia lagi.

“Gombal terus gombal. Hahaha. Ya kamu kan baru liat dari cat warna doang. Kalo kamu udah liat senja, langit cerah, dan warna alam semesta ini, kamu pasti bakal narik kata-katamu tadi.”

“Gitu? Tapi sayangnya aku nggak bisa lihat semua itu. Jadi aku nggak bisa narik kata-kataku tadi. Tetap kamu yang terindah.”

Helen tersenyum lalu memukul bahu gue. “Jangan menyerah gitu dong. Aku kan udah janji bikin kamu bisa liat semua itu. Walaupun jujur, aku nggak tau gimana caranya. Tapi aku yakin, kamu pasti bisa sembuh. Dan saat kamu sembuh nanti, kamu bisa tarik omongan kamu tadi.”

Untuk kesekian kalinya, gue bertanya dalam hati. Helen, mau sedalam apa lagi kau membawaku? Kumohon, jangan lebih dalam lagi. Nanti aku susah keluarnya.

“Makasih, Len. Makasih buat semuanya. Aku nggak tau harus membalasnya dengan apa.”

“Dengan yakin bahwa penyakitmu akan sembuh. Tidak menyerah. Itu udah cukup untuk membalasku,” ucap Helen tulus.

Oh, pliss. Gue bener-bener nggak bisa berkata-kata apa lagi. Mungkin gue akan melebur dengan tanah sekarang.

“Oke, aku akan lakukan semua itu.”

Gue dan Helen saling berpandangan dengan senyum manis di bibir kami. Matahari mulai terbenam. Memancarkan warna oranye menembus jendela menyinari wajah Helen. Lalu meredup dan gelap.


“Habis kencan?”

Suara Reza langsung menyambut saat gue membuka pintu kontrakan. Tidak habis pikir, kenapa si Reza suka banget ngadem di rumah? Padahal kan dia punya pacar. Hangout kek atau gimana. Berasa pacar cuman jadi status doang.

“Kepo lu. Ngapa si di kosan mulu. Nggak bosen apa? Jalan kek sama Fany. Kasihan dia, masa punya pacar nggak pernah ngajak jalan?”

“Hah~ mau jalan gimana? Dia sibuk, gue juga sibuk. Lagian pacaran nggak mesti harus jalan-jalan terus kan? Emangnya lo, belum jadian udah ngajak ketemuan mulu.”

“Dia yang ngajak ketemuan kali bukan gue.”

“Gimana ketemuan sama Helen tadi? Ada hal menarik yang lo temuin dari Helen lagi?” tanya Reza yang duduk di kursi sambil memandangi gue yang lagi mengganti pakaian.

Gue berhenti lalu menoleh cepat ke belakang. “Ada! Lo tau kaga? Barang yang dipegang sama Helen bisa munculin warna juga!”

Reza menarik kursinya mendekat. “Ah, yang bener aja lo! Gimana ceritanya bisa kaya gitu?”

Gue ikut menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan Reza. “Jadi tadi dia mau ngajarin warna ke gue. Pake cat warna gitu. Nah sebelumnya gue liat cat warna itu nggak berwarna, tapi pas si Helen pegang tiba-tiba muncul warnanya. Gila, gue kaya liat sihir secara nyata.”

Raut wajah Reza tampak tak percaya. “Gue jadi penasaran sama Helen. Gimana kalau besok kita selidikin dia?”