Fakta yang Disembunyikan

Zafran berjalan cepat sembari sesekali melirik ponselnya yang menampilkan letak ruangan ayahnya dirawat. Tadi pagi sang ayah masih baik-baik saja. Memang sempat mengeluh tidak enak badan karena perjalanan luar kota. Namun Zafran tidak menyangka ayahnya sampai dirawat di rumah sakit.

Sang ayah memang tengah rutin minum obat. Rokok yang ia hisap sejak masih muda membuatnya sering batuk, sesak napas, bahkan asam lambung naik. Namun keberuntungan masih sedikit berpihak padanya karena kanker tidak turut menggerogoti tubuhnya.

Sesampainya di ruangan yang dicari, Zafran tidak langsung masuk. Ia mengintip dari balik kaca pintu dan menemukan keluarganya ada di sana. Zafran tidak mau terlihat khawatir. Sebisa mungkin ia mengatur ekspresi menjadi datar seakan tak terjadi apa-apa.

“Sudah pulang, Ran?” sambut sang Bunda melihat anaknya masuk.

“Udah, Bun,” jawab Zafran sembari melempar tasnya ke sofa yang tengah diduduki Zayyan lantas ikut duduk di sana.

“Ayah cuman kelelahan saja. Sepertinya besok juga sudah boleh pulang,” jelas sang bunda yang tahu Zafran gengsi menanyakan kondisi ayahnya.

Sang anak hanya mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. Diam-diam sang ayah memperhatikan. Ada sedikit rasa penyesalan atas tembok penyekat yang terbangun di antara mereka. Zafran memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Mereka lebih sering berdebat. Banyaknya tuntutan sang ayah membuat Zafran enggan banyak berinteraksi dengan si kepala keluarga itu.

Masih teringat di pikiran Ayah perihal pesan dari Zafran yang begitu menampar. Ia sadar sudah keliru dalam hal mendidik anaknya. Ia tidak menyadari banyaknya tekanan yang telah diberikan pada Zafran. Anak itu sudah banyak bekerja keras. Namun yang dia lakukan hanya memberikan tuntutan yang lebih besar alih-alih mengapresiasi apa yang sudah dicapai Zafran.

“Zafran,” panggil sang ayah yang sukses mengentakkan jantung Zafran begitu keras. Ini pertama kalinya sang ayah memanggil dengan lembut. Hm, bukan pertama kali, namun sudah lama ia tidak mendengar suara lembut ayahnya.

“Iya?” sahut Zafran.

“Duduk di sini. Ayah mau bicara,” pinta sang Ayah sambil menunjuk kursi yang ada di dekat ranjangnya.

Zafran menurut. Sebelum beranjak, ia melemparkan tatapan tanya pada Zayyan namun hanya dibalas gelengan.

Anak lelaki itu sudah duduk di sana. Mereka berdua saling bertatapan.

“Ayah minta maaf sudah banyak menuntut kamu selama ini.”

Jantung Zafran berdegup tak karuan. Sial, dia benci perasaan ini!

“Ayah sadar, seharusnya ayah tidak terlalu menekan kamu untuk bisa selalu jaga Zayyan. Ayah minta maaf ya, Ran.”

Zafran hanya bisa menunduk. Menghalau air matanya yang memberontak keluar.

“Kamu sudah berhasil jadi sosok kakak yang baik, Ran. Sudah bisa jaga Zayyan dan Bunda saat ayah tidak di rumah. Terima kasih ya.”

Ia sudah tidak dapat menahan air matanya. Terlalu sakit. Beban-beban itu terasa kembali menghantam Zafran. Menyadari betapa lelahnya saat ia dituntut sebagai seorang kakak yang bisa menggantikan figur seorang ayah.

“Ayah sudah banyak merepotkan kamu. Seharusnya Ayah yang menjaga Zayyan dan Bunda, bukan kamu. Tapi Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan. Ayah minta maaf.

“Sekarang Ayah sakit seperti ini. Kemungkinan kamu juga yang akan menjaga Ayah. Beban kamu jadi lebih banyak ya Ran? Ayah janji nggak akan sakit lagi biar bisa bantu kamu jaga keluarga kita.”

Zafran sudah menangis tersedu. Bunda dan Zayyan yang turut menyimak percakapan itu pun ikut berderai air mata.

“Kamu masih merokok?”

Zafran menggeleng. Walaupun belum berhenti sepenuhnya, Zafran sudah sedikit mengurangi banyaknya batang rokok yang ia hisap.

“Pertahankan. Jangan menunggu sakit dulu seperti Ayah. Ayah tidak mau hal yang terjadi di keluarga kita sekarang terulang lagi di keluarga kamu nantinya. Nggak mau kan kamu terbaring sakit seperti ayah sekarang dan anak kamu kena kanker seperti Zayyan?”

Ucapan sang Ayah membuat Zafran teringat chat yang ia kirim tempo hari. Saat itu, Zafran menyalahkan ayahnya sebagai penyebab Zayyan terkena kanker. Dan entah kenapa dia jadi menyesal sekarang.

“Zayyan, sini duduk di sebelah Zafran,” ajak sang ayah membuat Zayyan beranjak duduk di tepi ranjang ayahnya.

“Maafkan ayah yang sudah bikin kamu seperti ini.”

Zayyan menggeleng. “Ini bukan salah ayah.”

“Salah Ayah. Dari dulu Ayah sering merokok di sekitar kalian. Ayah membuat kalian tinggal di lingkungan yang tidak sehat.”

“Jangan bilang kaya gitu, Yah. Aku nggak apa-apa kok,” sahut Zayyan tegar, walaupun matanya sudah sangat merah.

“Kamu pasti sembuh, Yan. Ayah akan mengusahakan segala cara untuk membuat kamu sembuh. Kamu jangan pernah berpikir untuk menyerah ya?”

Zayyan mengangguk dengan satu bulir air mata yang terjatuh.

“Kita berjuang bersama-sama ya. Bunda yakin keluarga kita bisa utuh terus sampai akhir,” timpal sang bunda seraya merangkul kedua anaknya.

“Pasti, Bun. Aku yakin Zayyan bakal sembuh. Baru stadium awal kan? Berarti satu? Paling juga bentar lagi sembuh,” ujar Zafran membuat ketiga orang di sana menegang.

Lagi-lagi, Zafran yang paling terakhir tahu soal keluarganya. Lagi-lagi dia yang terasingkan. Tertinggal sendirian dengan fakta yang dipalsukan.

Ayah, Bunda, dan Zayyan saling melempar pandangan. Mereka lalu tersenyum canggung guna menyembunyikan hal yang belum diketahui Zafran.

Bahwa penyakit kanker yang diderita Zayyan sudah memasuki stadium ketiga dan besok dia sudah harus menjalani kemoterapi.