Hanya Mereka yang Tahu

Semua orang yang berada di markas Black Rose terkejut oleh suara benda berjatuhan. Saat mereka mendatangi sumber suara, mereka menemukan Travis telah terjerembab di antara tumpukan kardus. Lelaki itu meringkuk sambil memegangi kepala. Raut wajahnya mengernyit dan memerah. Mereka sontak lari menghampiri.

“Bos, kenapa, Bos?!”

Travis hanya memberontak tanpa menjawab. Kakinya menendangi orang-orang yang berusaha menarik tangannya. Gemuruh itu tak boleh terdengar. Petir itu tak boleh terlihat. Travis panik luar biasa dan dia tidak tahu cara untuk mengontrolnya.

Seorang anak lelaki meringkuk di sudut kamar sambil meraung-raung. Wajahnya telah basah oleh air mata dan keringat dingin. Jendela kamarnya mengepak seperti sayap burung, seiring kencangnya angin bertiup. Air hujan membasahi lantai bawah jendela tersebut. Anak itu terlambat menutupnya. Serangan panik menyerang ketika kilat petir tertangkap penglihatannya.

“BUNDAAAAA!!!!”

Tangis anak lelaki itu semakin kencang. Sampai ia tidak mendengar seseorang dari tadi menggedor-gedor pintu kamarnya yang terkunci. Jeritannya sampai ke telinga orang tersebut. Pintu kamarnya terdengar didobrak berkali-kali yang justru membuat anak lelaki itu makin panik akan suaranya.

“KAZUO! INI BIBI, NAK! BUKA PINTUNYA!”

“BUNDAAAA! BUNDAAAA!”

“JANGAN TAKUT, NAK! BIBI DI SINI!”

“BUNDA MANAAAA!”

“KAZUO TENANG YAAA!!!”

Tenang? Bagaimana bisa dia tenang? Tidak ada orang yang menemaninya di sini. Dia sendiri. Dipaksa menghadapi ketakutannya, dituntut bertahan di rumah yang hampir koyak. Tak ada pelukan nyaman sang ibu. Tak ada kata penenang sang ayah. Ia ditinggalkan tanpa bekal untuk bertahan atau tempat baru untuk hunian.

Pintu kamarnya berhasil didobrak, disusul seorang pria yang dikenal sebagai supir pribadi anak lelaki itu terjatuh ke lantai. Seorang wanita paruh baya menyusul setelahnya dan langsung berlari menghampiri. Ia menarik tubuh anak lelaki itu ke pelukan, sedangkan si pria langsung menutup jendela yang tirainya sudah basah kuyup.

“Kazuo, bibi di sini. Tenang, ya, tenang. Kazuo nggak sendirian lagi. Maafin bibi, sayang.”

“Bunda, bunda, bunda.”

“VIS! TRAVIS! SADAR, VIS! TRAVIS!”

Travis spontan membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah seorang gadis tengah menangkup wajahnya. Gadis itu basah kuyup. Raut wajahnya panik. Desir hangat mengalir di tubuh Travis membuat air matanya kembali menggenang. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukan dan menangis sejadi-jadinya di sana.

Satu persatu orang di ruangan itu keluar dengan perasaan lega. Mereka membiarkan keduanya saling menenangkan karena memang hanya mereka berdua yang bisa saling memberikan.