Hard to Face Reality
Mungkin kalian bertanya-tanya alasan terbesar gue membenci Angga. Okelah kita panggil dia “Pak” biar kedengeran agak sopan. Dari cerita yang udah terlewat, udah terlihat jelas gimana bencinya gue ke beliau dan kalian memvalidasi perasaan gue. Beberapa alasan di baliknya udah gue jelasin secara singkat. Di mana setahun lalu tangan gue patah akibat Porseni tapi nggak ada bentuk pertanggungjawaban sedikitpun dari pihak sekolah, terutama Pak Angga sebagai pelatih gue.
Marah? Enggak. Gue benci. Pak Angga udah gue anggap sebagai ayah sendiri. Tapi dia nggak ada rasa simpati sedikitpun saat gue jatuh. Bukannya mendukung gue untuk sembuh, Pak Angga malah menghilang. Dan saat gue kembali ke Putra Harapan, gue dapet kabar kalo posisi gue udah diganti orang lain tanpa persetujuan dari gue sendiri. Kecewa? Kagak. Dari waktu Pak Angga dan bawahannya yang nggak pernah nengokin gue di rumah sakit, gue udah nggak menaruh harapan atau rasa hormat sedikitpun sama mereka. Saat itu juga, gue mundur dari tim basket dan menaruh kebencian ke segala hal yang berhubungan dengan basket.
Melawan kebencian sama orang yang dulu gue kagumi rasanya susah banget. Pak Angga adalah orang yang paling gue percaya dan paling gue banggain di Putra Harapan. Sampai sekarang, gue masih nggak nyangka sosok panutan hidup gue itu bisa dengan enteng membuang gue gitu aja hanya karena tangan gue patah. Apa dia merasa kalau gue udah nggak berguna lagi setelah itu? Apa dia cuman manfaatin kemampuan yang gue punya?
Sebesar apapun rasa benci gue ke Pak Angga, gue masih mencari kebenaran dari kejadian pahit yang gue alamin. Masa iya Pak Angga mendadak pergi begitu aja? Masih terdengar jelas di telinga gue gimana teriakan dia pas minta ambulans buat bawa gue ke rumah sakit. Bayangan raut wajah tegang disertai mata memerah yang gue lihat selalu jadi hal yang bikin gue ragu kalau Pak Angga melakukan hal setega itu ke gue, seperti apa yang selama ini gue dengar dari abang dan mamah. Apa mungkin keluarga gue berbohong?
Rumah bernuansa pastel kembali menyapa pandangan. Udah lama gue nggak berkunjung ke sini. Satu set kursi dan meja di teras menjadi ruang favorit buat gue, almarhum ayah, dan Pak Angga untuk berbincang santai. Ah, ngomong-ngomong tentang ayah ... iya, ayah gue udah nggak ada. Belum lama ini, kira-kira setahun atau dua tahun sebelum kejadian porseni. Gue nggak inget jelas kapan waktunya. Nggak ingin mengingat juga, sih. Paling kalau mamah ngajak ziarah, itu baru gue inget.
Baru ngeliat terasnya aja gue udah inget ayah. Ini yang bikin gue nggak mau ke rumah Pak Angga. Terlalu banyak jejak kenangan yang gue usahain mati-matian buat dilupain. Kalau sampai itu bapak-bapak kagak ada di rumah, gue nggak akan mau nemuin dia sampai kapanpun. Bakal gue cut-off dari kehidupan gue. [canda cut-off]
“Nggak nyasar, kan, Jar?”
Buset, gue langsung jingkrak denger suara dia. Itu orang ternyata dari tadi lagi nyiram tanaman di samping gue. Pantesan nggak keliatan. Pohon mangga yang dulu sering gue maling buahnya ngalangin pandangan.
“Kaget, ya?” ujarnya sambil ngetawain gue. “Tadi Bapak liat kamu di depan gerbang terus, nggak masuk-masuk. Kirain lagi liat apa. Ternyata ngalamun.”
Pak Angga naruh selang yang dia pake buat nyiram tanaman lalu berjalan ke arah gue buat bukain gerbang. Gue melempar senyum canggung kemudian masuk. Ini adalah suasana tercanggung yang pernah gue rasain. Harus ngomong apaan ini? Gue kesambet apa sih sampe mau nurutin dia? Mau balik, tapi itu pager udah dikunci lagi. Ya, udah, lah. Dia kan yang minta gue dateng. Ngapain juga gue repot-repot mikir mau ngomong apaan.
“Sudah makan siang atau belum, Jar?” tanya Pak Angga saat Kami melangkah beriringan ke teras rumah.
“Udah, Pak.” Gue berusaha ketus tapi kagak bisa. Pas berhadapan langsung sama beliau, gue jadi nggak berani macem-macem. BAHKAN GUE TADI REFLEKS CIUM TANGAN DIA.
“Bu! Bikinin teh manis anget ini buat Jarvis!” teriak Pak Angga dari luar rumah kepada istrinya. Oh, dia masih inget minuman favorit gue ternyata.
Fyi, gue belum nemu teh manis yang lebih enak dari buatan istrinya Pak Angga. Dan itu adalah alasan paling berat buat gue nolak tawaran pak Angga kalo diajak ke rumah.
“Mau duduk di sini apa di dalam?” tawar Pak Angga.
“Di sini aja, Pak.”
Kami berdua lantas duduk di dua kursi yang dipisahkan oleh meja. Pak Angga memantik rokoknya. Ah, ini om-om mesti mau ndongeng. Nggak bakal bisa balik cepet gue.
“Bapak kira kamu bercanda pas nolak dateng ke pelepasan Bapak tadi pagi. Ternyata dicari-cari beneran nggak datang.”
Setelah perbincangan panjang yang basi banget buat gue ceritain, akhirnya pembahasan yang gue tunggu dimulai.
“Buat apa saya dateng, Pak? Saya bukan anak basket lagi.”
“Memang ada aturan yang boleh dateng ke acara pelepasan Bapak cuman anak basket saja? Kalau begitu, kepala sekolah dan guru-guru seharusnya nggak dateng, ya? Mereka bukan anak basket. Betul, Jarvis?”
Dari dulu Pak Angga emang paling bisa balikin omongan gue. Dari beliau juga gue belajar cara menanggapi orang yang nggak sesuai sama jalan pikiran sendiri.
Pak Angga mengela napas. Kayaknya pembahasan yang lebih serius bakal dimulai.
“Ada beberapa hal yang ingin Bapak ceritakan ke kamu. Mungkin akan sulit dipercaya. Tapi Bapak juga nggak akan memaksa kamu untuk percaya.”
Perhatian gue udah sepenuhnya buat Pak Angga. Jujur, sekarang gue jadi gugup.
“Bapak nggak pernah membuang kamu, Jar. Bapak nggak mungkin membiarkan anak didik Bapak tergeletak di rumah sakit tanpa bantuan satupun.”
Gue memalingkan wajah. “Tapi nyatanya itu yang Bapak lakukan.”
“Baik dari pihak sekolah maupun Bapak sendiri sudah berusaha untuk bertanggung jawab. Tapi keluargamu menolak bantuan Kami. Bapak diminta untuk tidak ikut campur urusan kamu lagi. Dan keluargamu juga yang meminta Bapak untuk mengeluarkan kamu dari tim basket Putra Harapan.”
Gue menoleh cepat. Nggak terima dengan apa yang dibilang Pak Angga. “Bapak jangan asal bicara. Mamah dan kakak saya masih mendukung saya untuk kembali ke basket setelah keluar dari rumah sakit. Tapi saat saya kembali, ternyata posisi saya udah diganti sama orang lain dan nama saya dicoret dari anggota tim.”
Pak Angga tampak gelisah. “Bapak nggak meminta kamu untuk percaya sepenuhnya. Tapi demi Allah, bapak nggak bohong soal masalah ini.”
Sampai bawa nama Tuhan? Pak Angga beneran nggak bohong?
“Ibumu menyuruh Bapak untuk mengeluarkanmu dari tim dan bertingkah seolah Kami dan sekolah tidak bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa kamu bukan lain karena ibumu ingin kamu lepas dari basket. Ibu dan kakakmu nggak suka kamu jadi atlet basket, Jar.”
Kerutan di dahi gue bertambah tegang. “Dengan alasan?”
“Mereka tidak ingin kamu mengalami hal yang sama dengan ayahmu.”
Gue cuman bisa diam. Nggak tau mau ngerespon kaya gimana. Ini bercanda, kan?
“Sejak kematian ayahmu di pertandingan kala itu, ibu dan kakakmu selalu merayu Bapak untuk membuat kamu benci dengan basket. Karena mereka tahu, tidak akan mudah menyuruh kamu berhenti dari sesuatu yang sudah mendarah daging dalam tubuhmu. Tapi Bapak tolak dengan jaminan Bapak akan menjaga kamu agar tidak mengalami hal yang sama seperti ayahmu.
Namun Bapak gagal. Kamu celaka setahun setelahnya. Keluargamu semakin takut kehilangan kamu. Akhirnya Bapak memilih mundur. Walaupun Bapak tahu, sulit untuk kamu lepas dari basket. Benar, kan, Jarvis?”
Gue udah nggak sanggup jawab. Dua mata gue udah perih banget.
“Setahun ke belakang adalah tahun yang berat untuk Bapak. Kehilangan anak didik terbaik dengan luka kebencian yang terlihat di kedua matamu membuat Bapak merasa sudah gagal menjadi pelatih. Maka dari itu, di kesempatan terakhir bertemu dengan kamu ini, Bapak ingin lihat kamu kembali ke lapangan. Menjadi bagian dari tim Bapak lagi. Setidaknya Bapak jadi punya kenangan indah bersama anak didik terbaik sebelum Bapak pindah tugas ke tempat yang jauh nanti.”
Sial, gue udah nggak bisa nahan air mata lagi. Tapi buru-buru gue hapus. Gue nggak mau keliatan lemah di depan Pak Angga.
“Oh, ya, nanti kalau sekolah tiba-tiba kasih kabar uang porseni turun, kamu terima saja, ya!”
Gue sontak mendongak. “Kan, udah turun, Pak?”
Pak Angga tersenyum sebelum menjawab. “Belum, uangnya belum turun.”
“Lah, yang kemarin?”
“Itu hal lain yang mau Bapak ceritakan ke kamu.” Pak Angga meminum kopinya. “Kemarin pas Bisma ngejar Bapak itu sebenernya uang porseni belum turun sama sekali. Nggak tau dari mana dia kekeh bilang Bapak sudah terima uangnya. Bapak yang lagi sibuk ngurusin pindah tugas jadi nggak sempat menanggapi. Bukan berarti Bapak lari dari tanggung jawab. Tapi suatu hari tiba-tiba DUAARRRR!”
Pak Angga mendadak meninggikan suara membuat gue terlonjak kaget.
“Anak didik terbaik Bapak menghubungi. Bapak itu merasa ... hmm, kalau bahasa anak jaman sekarang itu Jarvis menghubungi duluan berarti dunia sedang tidak baik-baik saja.”
Gue refleks ketawa. Pak Angga tampak puas bikin gue ketawa. Nggak tau kenapa suasananya berubah jadi lebih hangat.
“Ternyata Jarvis sampai turun tangan dengan masalah ini. Ya, sudah, tanpa pikir panjang Bapak kirim uangnya. Gaji terakhir Bapak sebagai guru di Putra Harapan itu. Tapi nggak apa-apa, Bapak nggak ingin mengecewakan anak didik Bapak lagi. Itung-itung sedekah, kan?”
“Bapak nggak ada pesangon buat pindah berarti, ya?” Gue menanggapi dengan sedikit ledekan.
“Lah, itu gampang. Jual kambing di belakang rumah satu aja udah cukup. Apalagi sebentar lagi idul adha. Pasti laku itu si Cecep apa si Ucup.”
Gue terbahak. Pak Angga emang selalu punya jawaban yang lebih menggelitik.
“Nanti kalo uangnya turun, kamu terima aja dan dibagi sama yang lain buat uang jajan. Nggak usah bilang sudah dapet uang dari Pak Angga. Oke?”
Kepala gue mengangguk ragu. “Makasih, Pak.”
“Hmm,” jawab beliau mengiyakan sambil mengisap rokok. “Soal tadi, coba diskusikan dengan keluargamu. Bapak nggak ingin bakat yang kamu punya jadi sia-sia karena keegosisan keluargamu. Terus main basket, ya. Banggakan ayahmu di sana.”
Sebuah kalimat penutup yang sukses bikin gue overthinking seharian.