Hukuman Untuk Yudha

Tidak pernah terpikirkan oleh Raja mimpi buruk yang selama ini ia tangkis berbalik menyerangnya. Tidak pernah ia duga sesuatu yang selama ini ia anggap mustahil terjadi benar-benar terjadi di hadapannya. Tidak pernah ia sangka orang yang selama ini ia percayai benar-benar mengkhianatinya. Entah pikiran dari mana, kini Raja merasa bodoh.

Yudha termasuk anggota yang jarang membuat masalah selain telat datang latihan. Dia anak yang rajin. Banyak pemain yang mengandalkannya, bahkan Yudha sudah jadi kesayangan pelatih karena kemampuan menangkis serangan lawan yang baik. Kalian memang belum pernah melihat Yudha bermain langsung, tapi apa yang dipikirkan Raja memang benar adanya.

Raja tidak habis pikir. Dari sekian masalah yang bisa hadir di Dewandaru, mengapa Yudha harus memilih pengkhianatan? Mengapa dia tidak ribut dengan tim lain seperti Sultan, mudah sakit seperti Bian, atau mungkin memendam sifat egois seperti Barra? Mengapa harus berkhianat?

Harga dirinya sebagai kapten terasa hancur. Ia bahkan memukul Yudha. Sebagai kapten, tidak sepantasnya dia melakukan itu. Namun ia tetap melakukannya, bahkan di hadapan banyak orang, terutama ayahnya. Raja tidak tahu apa yang akan terjadi saat ia pulang nanti.

Ponselnya beberapa kali berdering oleh pesan singkat dari teman-temannya, terutama Barra. Lelaki itu sudah menelponnya berkali-kali. Benar kata Barra, sebagai kapten dia harus bertanggung jawab. Ya, benar, itulah kapten. Semuanya harus bisa di-handle. Bahkan ketika diri sendiri tengah hancur, ia tetap harus memikirkan orang lain, terutama anggotanya. Urusan pribadi sama sekali tidak penting untuk seorang kapten.

Tungkainya melangkah menuju aula. Di tengah perjalanan, ia bertemu Barra yang sedang tergesa-gesa berlari ke arahnya. Lelaki itu berhenti dengan napas kasar yang mengembus.

“Lo ke mana aja sih?! Gue cape nyariin lo!” tegur Barra dengan napas yang tersengal.

“Abis ke toilet. Udah mulai rapatnya?” bohong Raja lantas kembali melangkah dengan Barra di sampingnya.

“Baru mau. Lo oke kan?”

“Bohong kalo gue jawab iya. Dewandaru makin berantakan sejak gue jadi kaptennya.”

“Ini bukan salah lo. Berhenti buat nyalahin diri lo sendiri, Ja!”

“Udahlah, Bar. Berhenti hibur gue. Ini emang tanggung jawab gue sebagai kapten. Mau salah gue atau bukan, tetep aja gue yang tanggung jawab.”

Barra mendecak. “Trus lo mau apain si Yudha?”

“Gue serahin semua keputusan sama Pak Yoga.” Mereka tiba di depan pintu aula. Sebelum masuk, Raja kembali memandang Barra. “Tapi gue nggak akan setuju kalo Yudha sampe dikeluarin dari Dewandaru.”


Atmosfer menghening kala Raja dan Barra memasuki aula. Semua anggota Dewandaru, termasuk pemain cadangan, duduk di kursi yang disusun berderet. Raja, Yudha, Yoga dan Tegar mengambil tempat duduk menghadap mereka, seperti suasana sidang.

Yudha mengakui semua kesalahannya. Dari mulai dia menerima ajakan Haidar Galasena karena iming-iming uang sampai tentang keluarganya yang kekurangan. Semua jelas kecewa. Mereka sama-sama menyayangkan keputusan Yudha yang memilih menutupi daripada meminta bantuan kepada mereka. Dari semua orang yang kecewa, Barra lah yang paling dibuat sesak.

Barra tahu Yudha kesulitan. Barra tahu semua rahasia yang selama ini Yudha pendam. Namun mengapa dia tidak ada saat Yudha membutuhkan bantuannya? Mengapa dia tidak jadi orang yang Yudha cari untuk bersandar? Barra merasa tidak ada gunanya ia tahu semua permasalahan Yudha namun ia tidak bisa memberikan banyak bantuan.

“Sekarang bapak buka sesi diskusi hukuman apa yang pantas diberikan pada Yudha. Silakan angkat tangan kallian jika ingin berpendapat,” ujar Yoga.

Sultan mengangkat tangannya cepat. “Keluar dari tim,” ujarnya tanpa ragu.

Suasana menjadi bising. Mereka terkejut dengan pendapat Sultan yang cukup berat. Yudha dikeluarkan dari tim? Popda bahkan belum dimulai. Bagaimana mereka bisa mengeluarkan salah satu pemain terbaik mereka?

“Bapak tampung pendapat dari Sultan. Ada yang lain?”

Juna mengangkat tangan. “Tidak diijinkan ikut latihan sampai Popda, Pak.”

Yoga mengangguk. “Ada lagi?”

Azhar mengangkat tangan. “Menggantikan jadwal piket semua anggota, Pak.”

Yoga kembali mengangguk. “Yang lain?” Tidak ada yang mengangkat tangan. Mungkin pendapat mereka sudah diwakili oleh ketiga temannya tadi. “Oke, dari tiga jawaban tadi kita akan melakukan voting. Yang setuju dengan hukuman dari Sultan angkat tangan!”

Voting berjalan lancar. Tak disangka, hukuman dari Sultan yang jadi pemenangnya. Kesalahan Yudha terbukti sangat menyakiti perasaan anggota Dewandaru hingga mereka tega untuk mengusir pemain yang termasuk andalan itu.

“Pak Yoga, saya boleh masuk?” ujar Barra yang tiba-tiba mengangkat tangan.

“Silakan.”

“Menurut saya, hukuman dikeluarkan dari tim terlalu berat untuk Yudha. Dia belum bermain sebagai libero di Galasena. Dia hanya berdiri di sana dan kita tidak tahu tujuan mereka apakah akan memasukan Yudha jadi pemain inti atau hanya jadi cadangan untuk mengadu domba Dewandaru dan Galasena.”

“Belum main apaan?! Dia udah beberapa kali latihan sama Galasena!” potong Sultan.

“Pak!” Yudha tiba-tiba mengangkat tangan. “Saya tidak pernah bermain bersama Galasena. Tadi itu pertama kalinya saya mau main jadi libero di sana.”

“Nggak usah bohong lo! Gue liat lo masuk gor dragon! Ngapain lo di sana kalo nggak latihan?!”

“Gue emang diminta main sama mereka tapi gue nolak!”

“Alah munafik lo!”

“Cukup!” lerai Yoga. “Tidak usah saling menyalahkan. Semua yang hadir di sini salah! Seharusnya kalian sadar! Ada anggota yang jarang latihan, sering mangkir, itu ditanya kenapa! Diajakin untuk rajin latihan atau apa. Tapi kalian semua abai!” gertak Yoga membuat seisi ruangan kembali menghening.

“Kalian sadar tidak?! Secara tidak langsung, Yudha tidak percaya sama kalian semua. Dari sepuluh pemain yang hadir di sini, nggak ada satupun yang tahu masalah Yudha. Nggak ada yang tahu dia kekurangan uang sampai harus cari pinjaman ke orang lain, bukan ke temennya. Bahkan harus mengkhianati timnya sendiri. Kalian mikir sampai situ nggak?!”

Tidak ada yang berani menjawab. Mulut mereka terkatup rapat. Semuanya terasa ditampar oleh Yoga. Dari semua orang di sana, Raja lah yang paling merasakan sakitnya tamparan itu.

“Ijin menyela, Pak. Bukan salah mereka saya cari uang ke orang lain. Tapi saya—” sahut Yudha tiba-tiba namun kembali dipotong oleh Yoga.

“Kamu diam! Saya tidak sedang membela kamu. Saya juga marah karena kamu lebih percaya dengan orang lain daripada teman kamu sendiri. Bahkan sampai mengkhianati tim!”

Atmosfer semakin tegang. Raja sebagai kapten tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Barra yang duduk di hadapannya tak bisa berhenti menatap Raja yang tampak gelisah.

Tegar yang sedari tadi duduk bersandar sambil melipat tangan di dada bereaksi. “Masuk.” Punggungnya ditarik dari sandaran, lalu meletakkan kedua tangannya di meja. “Saya merasa Dewandaru semakin tidak kompak. Saya tahu kalian sering dapat masalah, terutama Sultan.”

Semua tatapan langsung beralih pada Sultan. Lelaki itu lantas meneguk ludahnya.

“Kalau begini terus, bagaimana kalian bisa menang di popda, hm?” tanya Tegar dingin. “Saya dari tadi nggak dengar suara kapten kalian. Mana orangnya?”

Jantung Raja mengentak keras. Ia sontak menegakkan badan dan mengangkat tangan. “Saya, Pak!”

“Gimana ini anggota kamu, hm? Nggak kompak mereka. Yakin bisa bawa pulang piala kalo pemainnya kaya gini?” Pertanyaan Tegar begitu menusuk perasaan Raja hingga lelaki itu tak mampu menjawab.

Selanjutnya, Yoga dan Tegar berdiskusi mengenai hukuman yang pantas diberikan untuk Yudha dari berbagai pertimbangan yang sudah tertampung. Semuanya saling berbisik kecuali Raja dan Yudha yang hanya menunduk diam.

Raja sedikit menoleh. “Yud,” panggil Raja lirih namun masih bisa didengar oleh Yudha. Lelaki itu menoleh. “Maafin gue,” tambah Raja.

Yudha termenung. Ia lantas menunduk tanpa menjawab ucapan Raja. Tak terasa air matanya mulai menggenang.

Yoga dan Tegar kembali ke forum diskusi. “Bapak dengan pak Tegar sudah mendiskusikan hukuman untuk Yudha. Dilihat dari kesalahan Yudha memang cukup fatal namun tidak sampai harus dikeluarkan dari tim.”

Terdengar decakan keras dari Sultan.

“Hukuman untuk Yudha adalah,” jeda Yoga untuk melirik Raja dan Yudha.

“Tidak diperbolehkan mengikuti Popda, baik sebagai pemain inti maupun cadangan.”

©haruquinza