Just Like The Rain

Justin dan Freya berdiri di emperan kelas. Menatap langit mendung yang tengah menangis deras. Bahu mereka merosot bersamaan. Mereka terjebak hujan.

Bel penanda pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Namun sepasang anak adam yang terikat dalam hubungan pacaran itu belum bisa kembali ke rumah karena Justin hanya membawa satu pasang jas hujan.

“Kalau hujannya sampe sore banget gimana, Tin?” eluh Freya yang tampak khawatir dengan debit hujan yang terus bertambah. Justin menatap Freya sejenak lalu beralih ke halaman sekolah yang penuh genangan air.

“Duduk di dalem kelas dulu, yuk? Di sini dingin.” Alih-alih menjawab pertanyaan Freya, Justin merangkul bahu gadis itu dan membawanya ke dalam kelas. Mereka mengambil kursi yang paling depan.

Justin menyadari Freya yang tampak gelisah sembari menatap jam yang melingkar di tangannya. Gadis itu harus berangkat les kurang lebih setengah jam lagi. Otaknya bekerja keras mencari solusi agar Freya dapat datang tepat waktu.

DUAARR!!

“ANJENG!” pekik Justin terkejut oleh suara petir yang tiba-tiba menyambar. Freya berjengit kaget. Bukan karena suara petir, tapi karena teriakan Justin tepat di telinganya.

Satu pukulan keras mendarat di punggung Justin. “Justin ih! Kuping gue sakit!”

“Kaget, Fre,” lirih Justin tampak malu dan merasa bersalah. Namun keduanya terkekeh setelahnya.

Kilatan putih kembali datang. “Anjir, Fre! Cepet tutupin kupingnya!” teriak Justin heboh seraya meringkuk ketakutan ke bahu Freya.

“Jangan ditutup! Nanti petirnya tambah gede!” balas Freya lantas menarik kedua tangan Justin dari telinganya.

“Mana ada rumus gitu—WAAAAA!!!” Ucapan Justin terpotong oleh suara petir yang begitu keras. Ia berlindung di balik bahu Freya.

Tawa Freya menggema di ruang yang hanya berisi mereka berdua. “Lo takut petir?”

“Suaranya serem,” jawab Justin diiringi helaan napas panjang. Melihat Freya terbahak, ia jadi ikut terkekeh. Padahal pikirannya sedang berkelana ke bunyi benturan keras pada kejadian setahun yang lalu.

“Kayaknya hujannya awet deh,” gumam Freya sambil memandang rintik-rintik yang masih deras. Merasa tidak mendapat jawaban, Freya melirik ke lelaki di sebelahnya yang sibuk mengatur napas sambil memegangi dadanya. “Tin? Lo nggak apa-apa?”

Yang ditanya tampak terkejut. Ia segera menghapus raut wajah tegangnya. “Oh, nggak kok,” ujarnya dengan kekehan canggung.

Dahi Freya mengernyit. Ia lantas memegang punggung tangan Justin. “Tangan lo dingin banget!” Sekarang giliran Freya yang memandang Justin khawatir. Ia lantas membuka telapak tangannya. “Hold my hand,” pintanya kemudian.

Pandangan Justin tampak melebar. Namun ia tidak menolak tawaran Freya. Telapak kekarnya lantas mencari kehangatan di telapak lembut milik Freya. Gadis itu menggenggam tangannya erat.

“Takut banget sama petir?” tanya Freya namun tak menuai jawaban dari Justin. “It's okay! Petir nggak akan nyambar lo kalo lo berlindung di tempat yang tepat. Sebentar lagi hujannya berhenti kok. Nggak akan ada petir lagi.”

Hati lelaki itu menghangat. Sehangat genggaman Freya yang begitu erat. Bahkan ibu jari gadis itu tampak mengelus punggung tangannya seakan meyakinkan Justin kalau semuanya akan baik-baik saja.

“Makasih sayang,” sahut Justin sukses membuat wajah Freya memanas. Semburat merah menyembul di kedua belah pipinya. Freya yang tadinya tak melepas pandang dari Justin kini tanpa pikir panjang langsung memalingkan wajah dari lelaki itu.

“Sama-sama,” lirih Freya yang masih tak berani menatap Justin.

“Sama-samanya buat siapa?” tanya lelaki itu sembari menarik tangan Freya agar Freya menghadapnya.

“Minggir ah! Nggak mau!” Freya lantas menarik tangannya sendiri dan menghentakkan kaki ke luar kelas. Justin tertawa kecil melihat Freya yang jelas sekali salah tingkah. Ia lalu menyambar tasnya dan melangkah ke luar kelas menyusul Freya.

“Kok nggak berhenti-henti sih?! Mana kurang dua puluh menit lagi,” gerutu Freya terlihat sangat gelisah. Ia menengok ke Justin yang mendekat. “Apa gue minta jemput aja ya, Tin?”

“Katanya sopir lo lagi pergi sama bokap. Apa mau minta dijemput sama nyokap lo?”

Freya menepuk dahi baru teringat dengan hal itu. “Mana mau mamah jemput gue. Apalagi jam segini mamah pasti masih di kantor.”

“Naik Go-car mau?” tawar Justin.

“Nggak mau, takut diculik!”

Justin tertawa renyah. “Ya udah ayo, sama gue aja.”

“Katanya cuman bawa jas hujan satu.”

“Pakai lo aja. Gue pake jaket.”

“Nanti lo sakit gimana?”

“Sakit ya tinggal minum obat.”

“Justin ih serius!” rengek Freya seraya menggenggam lengan Justin yang sedang tertawa.

“Tempat lesnya nggak jauh dari sini kan? Nggak papa kalo nggak pake jas hujan.”

“Tetep aja basah!”

“Basah ya tinggal dikeringin,” ledek Justin lagi.

“Justin!”

“Dalem sayang.”

“Nggak suka ih!” Freya merajuk namun tampak menggemaskan untuk Justin hingga lelaki itu tak bisa menahan tangannya untuk mengelus ubun-ubun Freya.

“Ya udah gue kasih pilihan. Pertama, kita nunggu di sini sampe ujan reda dengan resiko lo terlambat berangkat les. Kedua, kita jalan sekarang, tapi lo yang pake jas hujan gue. Yang ketiga, naik Go-car.”

“Gue takut naik kendaraan online gitu, serius.”

“Oke, berarti tinggal dua pilihan.”

Freya mendengus. “Jas hujannya pake lo aja please,” ujar Freya seraya melengkungkan bibirnya ke bawah.

Justin menggeleng tegas. “Nggak ada pilihan itu. Nggak usah khawatir, Fre. Gue udah biasa ujan-ujanan kok.”

Freya menilik jam tangannya. “Ya, udah, pilihan kedua. Tapi janji nanti sampe rumah langsung mandi ya!”

Justin tersenyum puas. “Iyaa. Tunggu di sini. Gue ambil motor dulu.”


Dah abis. Scene ujan-ujanannya besok lagi😘

©haruquinza