Kembali Bertaut
Setelah menerima kabar dari Freya, Justin langsung memberitahu orang tuanya. Mereka turut bahagia dan bergegas menentukkan tanggal untuk bertemu. Mereka sepenuhnya menyerahkan keputusan pada keluarga Freya. Dan itu terjadi hari ini, tepat sehari setelah keluarga Freya menyetujui.
Freya begitu gugup. Ia tak berhenti menatap pantulan wajahnya di kaca. Hari ini bukanlah pertemuan biasa, bukan hanya ada dia dan Justin. Namun kedua orang tua mereka juga ikut. Bukankah ini terlihat seperti dua keluarga yang akan mengikat hubungan satu sama lain? Ah, imajinasi Freya terlalu tinggi.
Keluarga Freya siap berangkat menuju sebuah restoran yang sudah dipesan khusus oleh Hendra. Kemungkinan keluarga Justin sudah tiba terlebih dahulu. Tadi lelaki itu memberi kabar pada Freya kalau ia dan keluarga sudah dalam perjalanan.
“Kamu ndak apa-apa, kan, kalau bertemu keluarga Freya?”
Ibu Justin mendadak khawatir melihat raut wajah Justin yang begitu tegang. Sejak tadi, Justin tak berhenti menghela napas dan menggosok-gosokkan tangannya yang mungkin sudah sangat dingin. Anak lelakinya itu akan kembali dihadapkan pada sesuatu yang membuatnya trauma di masa lalu. Ia hanya takut Justin tidak kuat.
“Iya, bu. Ndak apa-apa. Cuman grogi aja,” jawab Justin dengan senyum yang dipaksakan. Sang ibu tersenyum lalu mengusap punggungnya.
“Sepertinya itu keluarga pak Hendra,” ujar ayah Justin hampir membuat jantung Justin keluar dari sarangnya. Ia menoleh ke arah pintu masuk. Seorang gadis berpakaian merah mencuri perhatiannya. Ia tampak berjalan malu-malu di belakang ibunya. Justin tersenyum lantas menegakkan posisi duduknya.
“Gimana kabar kamu, Justin? Sehat?” tanya papa Freya setelah beberapa menit hanya bercakap dengan ayah Justin.
“Sehat, Om,” jawab Justin gugup sebab terkejut tiba-tiba ditanya seperti itu.
“Sehat-sehat, ya. Jangan pikirkan hal yang harusnya nggak perlu kamu pikirkan. Om dan keluarga sudah memaafkan apa yang dulu pernah terjadi. Kamu nggak perlu khawatir lagi.”
“Iya, betul, Justin. Tante juga minta maaf atas sikap Tante dulu yang selalu menyalahkan kamu. Untuk kejadian di rumah sakit tempo hari lalu, tante juga minta maaf. Tante nggak tau ternyata kamu yang menyelamatkan Freya. Tante minta maaf banget ya, Justin,” sambung Alena meneruskan ucapan suaminya.
“Oh, nggak apa-apa, Om, Tante. Nggak perlu minta maaf. Seharusnya saya yang minta maaf.”
“Sudah, sudah, jangan dibahas lagi. Yang terpenting sekarang kamu fokus sama kesehatan kamu saja ya. Masalah ini sudah selesai, nggak perlu kamu ingat lagi,” potong Hendra.
Justin termenung sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk ragu. Ada sebuah kelegaan yang ia rasakan. Beban yang menggantung di jiwanya perlahan terlepas. Tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan. Semuanya sudah berlalu, sudah usai. Sudah saatnya ia membuka lembaran kehidupan yang baru.
Maniknya yang runcing seperti serigala melirik ke gadis di depannya. Mereka saling melempar senyum, semyum penuh kelegaan.
“Oh, iya, bu Alena dan pak Hendra, ini kami ada beberapa bingkisan untuk keluarga. Mohon diterima,” ujar ibu Justin sambil menaruh satu persatu bawaanya di atas meja dan menyerahkannya pada ibu Freya.
“Wah, apa ini, Bu? Banyak sekali,” balas ibu Freya lantas menerima satu persatu bingkisan tersebut.
“Cuman kue sama beberapa oleh-oleh dari Solo, Bu. Kebetulan kemarin ayahnya Justin baru pulang dari Solo.”
“Waduh, kok jadi kaya lamaran, ya?” ledek ibu Freya yang menuai tawa dari orang tua Justin dan suaminya. “Justin, kamu mau melamar Freya apa gimana? Kok bawa seserahan gini?” tambahnya lagi tak puas meledek pemuda yang wajahnya sudah memerah seluruhnya itu.
“Belum, Tante. Nanti kalo udah waktunya, saya bawa lagi,” jawab Justin membuat kedua pasang orang tua itu makin terbahak. Berbeda dengan Freya yang langsung terbelalak. Tak bisa dipungkiri, ritme jantungnya sudah meningkat drastis. Mudah sekali lelaki itu mengucapkan kalimat yang membuat perasaannya berantakan.
“Freya, kamu pulangnya sama Justin saja, ya? Kalian di sini aja dulu. Jangan langsung pulang. Nanti ibu sama om naik taksi online aja,” tawar ibu Justin. Ayah Justin lantas merogoh sakunya untuk memberikan kunci mobil pada Justin.
“Nggak usah, Yah. Ayah sama ibu bawa mobilnya aja,” ujar Justin lalu menatap Freya. “Aku sama Freya mau pulang naik busway.”
“Panas, ya?” tanya Justin melihat Freya mengibas-ibaskan tangannya di wajah. Ia dan Freya kini tengah berada di halte busway terdekat dari restoran. Saat itu entah mengapa tiba-tiba Justin teringat ucapan Freya yang ingin menaiki busway. Untung saja gadis itu juga mau.
Freya mengangguk. Sebenarnya bukan panas, tapi gerah. Pakaiannya tak cocok untuk suasana seperti ini. Namun semua itu tak menyurutkan semangatnya mencoba menaiki busway untuk pertama kalinya, bersama Justin.
“Nanti di dalem dingin kok, ada AC-nya. Kalo lo nggak nyaman, gue bisa pesen taksi online aja sekarang. Mau gimana, hm?”
Freya menggeleng cepat. “Gue pengen naik busway aja. Gue nggak apa-apa kok,” jawabnya yang menuai senyum tipis dari Justin.
Terdengar bunyi klakson busway yang baru datang. Justin lantas mengajak Freya untuk segera berdiri. Penumpang yang hendak menaiki busway cukup ramai karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Kalau menunggu antrian terakhir, mereka tidak akan kebagian tempat duduk.
Justin lantas menggengam lengan Freya. Mengaitkan jari-jarinya dengan jemari Freya lalu merapatkan genggaman. Bola mata Freya membulat melihat telapaknya bertaut dengan milik Justin. Gadis itu lantas mendongak memandang Justin yang sedikit lebih tinggi darinya.
Lelaki itu tak membalas tatapannya. Ia tampak fokus membelah kerumunan agar mereka bisa dapat tempat duduk. Namun dapat Freya rasakan tangan Justin yang agak dingin. Apa lelaki itu sedang menahan gugupnya?
Play the music!
Freya duduk di tepi jendela, sedangkan Justin di sampingnya. Senyum penuh takjub tak luntur dari bibir gadis itu. Ia tampak sangat senang menatap jalanan senja yang sedikit basah karena sempat hujan. Pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Jalanan tampak berbeda jika dilihat dari dalam busway.
Justin diam-diam terkekeh melihat Freya yang seperti anak kecil baru diajak jalan-jalan. Tak mau mengganggu kesenangan gadis itu, Justin merogoh sakunya untuk mengeluarkan airpods dan mendengarkan lagu dari playlist terbarunya. Bibir tipisnya bergerak ikut bernyanyi namun tanpa mengeluarkan suara.
I swear I’ll never leave again~ lirih Justin mengikuti nyanyian yang mengalun di telinganya. Ia menatap para penumpang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Paha Justin ditepuk halus. Ia lantas melepaskan salah satu airpods-nya dan menoleh pada Freya yang ternyata memanggilnya sejak tadi. Lelaki itu tersenyum. “Kenapa?”
Freya menunjuk telinganya. “Lagi dengerin apa?”
“I swear I’ll never leave again punya Keshi. Mau ikut denger?” tanya Justin lantas mengulurkan salah satu airpods-nya.
Freya menerima airpods itu lalu memasangnya di telinga kanan. Alunan gitar dan nyanyian halus mengayun di telinganya. Bibirnya refleks mengukir senyum. “Enak lagunya,” komentar Freya.
I don’t deserve this All in your arms All your forgiveness I don’t belong I swear~ I swear I’ll never leave again
Freya termenung saat tiba-tiba Justin menyanyikan lagu tersebut. Tak usah ditanya bagaimana keadaan hatinya sekarang. Darahnya mendesir lebih cepat. Kupu-kupu seakan berterbangan di dalam sana. Kelopak matanya tak berkedip saat Justin tersenyum dan menatapnya teduh.
Bola mata Justin bergulir ke bawah, menatap tangan Freya yang saling bertaut. Ia sempat berpikir sejenak. Iya atau tidak? Ah, dia tidak perlu ragu lagi. Ia lantas mengambil tangan kiri Freya dan menggenggamnya.
So this is love Just hold me close I’ll never leave I won’t let go Oh, I swear I’ll never leave again~