Kenangan Abadi

Sayang, aku tunggu di kantin kampus yaa.

Itu adalah isi pesan singkat yang baru saja Zafran kirim ke kekasihnya. Ia menoleh ke sana kemari. Menatap ramainya mahasiswa yang saling berdesakan untuk mendapat makanan. Berbagai percakapan dan tawa saling bersahutan. Mereka tampak bahagia, Zafran berharap bisa merasakan kebahagiaan itu juga.

Gadis yang ditunggu tak kunjung datang. Ah, seharusnya ia jemput saja tadi. Jadi tidak banyak waktu yang terbuang.

Aroma familier yang lama Zafran hindari tiba-tiba tercium. Kepalanya menengok mencari sumber aroma tersebut. Tepat di sebelahnya, ada sekumpulan mahasiswa tengah terbahak dengan kepulan asap pekat di sekitar mereka dari vape yang digenggam. Zafran mendecak keras. Ia lantas mencari tempat duduk lain yang jauh dari mereka.

Aku duduk di sini.

Zafran kembali mengirim pesan dan sebuah foto ke kekasihnya.

Bentar sayanggg, macet banget 😭 udah deket kok iniiii. Tunggu bentar yaaa huhuuu.

Zafran tersenyum kecil membaca balasan dari sang pacar yang diimbuhi foto ekspresi kesal gadisnya itu.

Ibu jarinya bergulir ke galeri. Niatnya hendak melihat koleksi foto gadisnya di sana. Namun sebuah folder yang terselip dalam kolom arsip menarik perhatiannya. Ia lantas membuka folder tersebut lalu tersenyum tipis.

Sebuah foto yang menarik perhatiannya dibuka. Zafran menatapnya cukup lama dengan sesekali tersenyum. Matanya tak berkedip sehingga mulai berair.

“Narsis banget senyum-senyum sambil liatin foto sendiri.”

Zafran seketika menoleh dan menemukan gadis yang sedari tadi ia tunggu telah datang. Senyumnya merekah. “Hei, udah lama?”

“Baru aja sampe. Aduh haus banget. Minta minum!”

Zafran segera menggeser minumannya untuk sang pacar.

“Kenapa sih liatin foto sendiri mulu? Ngeri banget lagi senyumannya,” ledek sang pacar membuat Zafran terkekeh.

“Ini bukan fotoku. Tapi adik kembarku.”

“Hah? Kamu punya kembaran?” sergah sang pacar tampak sangat terkejut setelah mendengar pernyataan dari Zafran.

“Punya. Emang aku nggak pernah cerita?”

“Nggak pernah tau! Kok bisa sih?”

Zafran termenung sejenak. Sekeras itu ya usahanya untuk ikhlas? Sudah berapa lama Zafran menganggapnya tidak ada? Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyebut nama kembarannya.

Ia bangga pada dirinya yang kini bisa melawan ketakutan yang sudah bertahun lamanya mengendap dalam kenangan. Zafran sadar, tidak seharusnya ia terpuruk pada titik yang sama selama bertahun-tahun. Ia harus bangkit. Tak ada yang perlu disesali. Semua sudah jadi takdir Tuhan yang harus ia terima.

Perlahan, ia kembali membawa sosok itu sebagai salah satu orang yang pernah mengisi hari-harinya. Menganggapnya ada sebagai adik kembar yang paling ia sayang. Meskipun raganya tak bisa lagi dipeluk, namun jiwanya akan tetap abadi dalam kenang.

“Aku juga nggak pernah liat deh. Dia kuliah di mana sekarang? Eh, udah kuliah kan? Ya, udah lah ya, kan seumuran sama kamu,” ucap pacar Zafran yang malah jadi sibuk sendiri mengoreksi ucapannya.

Hari ini akan jadi hari pertama Zafran untuk menyebut kembali nama kembarannya itu. Bibirnya bergetar. Kedua bola matanya perlahan berair. Ia menatap gadisnya dengan senyum raput.

“Namanya Zayyan Gibson Alfath. Panggilannya Zayyan.

I'm 20 now. But he's still 18.

—Finish.