Kenyataan Pahit

Freya tidak menyangka kalau ia benar-benar akan menginjakkan kakinya di sini. Namun ia merasa lega sebab bangunan di hadapannya tak sama persis dengan apa yang ada di mimpinya. Menyebalkan. Bisa-bisanya ia memimpikan lelaki itu. Apa jangan-jangan Justin juga tengah mengharap kedatangannya?

Selama ini Freya selalu menahan rasa yang memberontak dalam jiwa. Lisannya mungkin dapat berbohong, tapi tidak dengan hatinya. Namun Freya selalu menyangkal. Tak mungkin ia masih mencintai seseorang yang telah menghancurkan hidupnya. Apalagi pertemuan mereka yang terbilang singkat.

Singkat, namun sangat mengikat.

Freya bersama Kevin dan Stella memasuki gedung itu. Intensitas debaran jantung Freya mulai naik. Ia akan kembali bertemu dengan Justin, lelaki yang mati-matian ia lupakan. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia memulai obrolan? Bagaimana ia menyapanya?

Ia jadi teringat saat Justin berlutut di hadapannya sembari memohon pengampunan. Peristiwa yang selalu berhasil memicu perih di hati. Semakin dipikir, semakin ia merasa bersalah sudah memaki Justin dengan begitu kasar. Padahal mungkin saat itu Justin tengah ada dalam tekanan yang begitu besar.

Namun bagaimanapun Freya takkan pernah salah. Siapapun yang berada di posisi itu pasti akan memberikan respons yang sama. Kau hanya akan tahu rasanya jika kau yang mengalaminya. Ya, mungkin masing-masing orang memiliki cara berbeda untuk menghadapinya. Semua itu kembali pada diri masing-masing.

Kevin yang sudah beberapa kali mengunjungi Justin terlihat familier dengan penjaga di sana. Dari cara lelaki itu bertindak, Freya tahu kalau Stella adalah gadis yang beruntung telah mendapatkan Kevin. Lelaki yang penuh perhatian dan lembut. Sangat royal pada temannya, terutama Justin. Terlihat saat ia berusaha untuk mempertemukan Freya dengan Justin.

“Justin lagi dipanggil. Lo nanti masuk ke ruangan itu, Fre,” ujar Kevin sembari menunjuk ruangan berdinding kaca yang berisikan sebuah meja dan dua buah kursi yang berhadapan. “Karna ruangannya cuman boleh dimasukin dua orang, gue sama Stella tunggu di luar aja ya?”

Freya menoleh cepat. Tidak! Mana mungkin ia bisa bertahan seruangan berdua dengan Justin setelah semua ini? Lalu untuk apa pasangan bucin itu menemani kalau pada akhirnya ia hanya akan berdua dengan Justin?

“Masa gue sendirian sih? Temenin masuk dong,” eluh Freya yang hampir menangis. Serius, tangannya bahkan mulai mendingin. Ia belum sanggup untuk mengobrol empat mata dengan Justin.

“Freya, gue yakin lo pasti bisa. Lo mau kan masalah lo sama Justin cepet selesai?” ujar Stella menenangkan.

“Tapi kan—”

“Eh, itu Justin udah dateng!” seru Kevin membuat Freya sontak memutar kepalanya. Saking cepatnya mungkin tulang lehernya bisa retak.

Tiba-tiba jantungnya jadi hilang kendali. Aliran darah yang mengalir deras membuat tubuhnya jadi panas. Ia terpaku menatap presensi lelaki yang hampir setahun tak ia jumpai. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Semuanya terlalu berantakan.

Lelaki itu. Lelaki yang ia lihat telah terbujur pucat dengan darah mengalir di pergelangan tangannya dalam mimpinya kini hadir nyata di wajahnya. Ia berdiri di sana dengan memakai pakaian khas tahanan. Menatapnya tanpa kedip dengan rahang yang mengeras.

“Kita tinggal dulu ya. Semoga masalah kalian cepet selesai,” pamit Stella seraya memeluk Freya sekilas lalu menarik kekasihnya pergi dari sana. Freya kelabakan menatap kepergian mereka. Ia kembali menatap Justin yang menunduk lalu masuk ke ruangan tempat mereka akan bertemu. Dengan membenahi rambutnya, Freya berjalan menyusul Justin.


“Apa kabar?” Freya terlonjak kaget. Untung saja ia bisa langsung mengontrol diri. Suara berat itu, suara yang seringkali menyapa pendengarannya dengan hangat. Suara yang seringkali membahasakan kalimat yang selalu berhasil menggelitik hatinya. Suara yang ia rindukan.

“Baik.” Tak ada kata lain yang mampu terucap lagi. Lidahnya seakan kelu untuk sekadar menanyakan kabarnya juga. Freya mengembus pelan. Pertemuan ini adalah keinginannya. Ia tak bisa menunggu Justin untuk memulai percakapan.

“Ada apa?” Baru saja ia akan memulai, Justin kembali menunjukkan eksistensinya. Just information, Freya bahkan tak sanggup untuk menatap wajah lelaki itu. Pandangannya tertuju di meja, sesekali melirik sepasang tangan yang bertaut di hadapannya.

“Nothing, cuman pengen nengokin lo.” Kini Freya hanya bisa merutuki mulutnya. Sangat tidak masuk akal ia datang hanya untuk menengok Justin. Dugaan itu dipertegas dengan kekehan pemuda di depannya.

“Gue seneng lo masih punya keinginan buat nengokin gue.” Meledak sudah jantung Freya. Untung saja kursi yang ia duduki memiliki sandaran. Kalau tidak, mungkin tubuhnya sudah terhuyung lemas.

“Sebenarnya ada yang mau gue omongin.”

“Gue tau.”

Freya memberanikan untuk mengangkat kepalanya. Dua pandang dari arah berlawanan itu saling bertubrukan. Menciptakan desiran panas yang merambat ke seluruh tubuh. Tak terelakkan, kini sesuatu di dalam dada mereka sama-sama tengah meronta-ronta ingin keluar.

Justin menahan napas. Kehadiran gadis yang sampai saat ini masih mengisi relung kosong di hatinya tak mungkin bisa membuat ia duduk dengan tenang. Bahkan tangannya yang terjulur di meja perlahan mulai mendingin. Tak tahu persis apa yang akan dibicarakan Freya. Namun yang pasti takkan jauh dari masalah di antara keduanya.

“Gue pengen lo cerita tentang kecelakaan itu.” Tebakan Justin benar. Namun mengapa Freya kembali mengungkit kejadian itu? Bukankah semuanya sudah berakhir saat Justin mendapat hukuman?

“Cerita gimana?”

“Kejadian sebenarnya. Kejadian yang nggak gue tau.”

Justin tampak merenung. Rasanya tak sanggup untuk mengingatnya lagi. Peristiwa itu telah melebur menjadi traumanya.

“Buat apa? Semuanya udah selesai kan? Gue udah ngaku dan dapet hukuman. Apapun kejadian di balik itu nggak akan mengubah apa yang udah terjadi sekarang.”

Jawaban yang sama sekali tidak Freya duga. Kenapa Justin malah jadi seperti ini? Ia seakan ingin melupakan semuanya di saat Freya malah makin tak bisa melupakannya.

“Ya, gue cuman pengen ngerti. Siapa tau selama ini gue udah salah paham.”

Justin menggeleng. “Enggak, lo nggak pernah salah paham. Gue emang pelakunya.”

“Tapi kata Kevin lo nggak sengaja nabrak gue karna lo khawatir sama keadaan ibu lo. Terus lo selama ini merasa bersalah karena udah bersembunyi di balik semua kesalahan yang udah lo perbuat. Kenapa susah banget sih bilang itu ke gue?!” Freya mengakhiri kalimatnya dengan terengah. Matanya berair, menahan tangis yang akan jatuh. Tidak, ia tidak akan menangis lagi karena Justin.

“Percuma, Freya. Pada intinya, gue tetep salah. Dan gue udah mendapat hukumannya sekarang.”

“Tapi kalo lo bilang semua ini sebelumnya, gue mungkin nggak akan sebenci ini sama lo.” Freya menahan suaranya mati-matian agar tidak bergetar. Namun ia tak bisa menahan air mata yang mulai berjatuhan ke pipinya.

“Jangan nangis,” ujar Justin lirih. Saking lirihnya mungkin hanya bisa didengar oleh Justin sendiri. Namun ia salah, Freya bisa mendengarnya dengan jelas. Dan itu sukses menambah debit air mata yang mengalir.

“Hei, gue kan bilang jangan nangis. Kenapa lo malah makin kenceng nangisnya?” ledek Justin. Sebenarnya ia hanya berusaha mengalihkan perasaannya yang perih melihat gadis itu kembali menangis di depannya.

“Lo jahat banget ke gue,” ujar Freya yang tak lagi menahan suaranya.

“Iya maaf.”

“Lo harus bayar semua kesalahan lo ke gue.”

“Iya gue akan bayar lunas semuanya. Gue nggak akan pergi lagi.”

Tangis Freya mulai sesenggukan. Justin terkekeh lalu beranjak meminta tisu ke penjaga. Ia menyodorkan kotak tisu itu lalu kembali duduk. Menatap gadis di depannya yang menghapus air matanya sambil menarik cairan yang keluar dari hidungnya.

“Jangan pernah nangis lagi di depan gue, Fre.” Freya menghentikan tangannya lalu menatap Justin. “Gue tersiksa dengan kenyataan gue nggak bisa lagi kasih pelukan hangat buat nenangin lo. Jadi, jangan pernah nangis lagi di depan gue.”