Keributan di Bioskop
“Zafran sama Allisya belum keliatan ya?” tanya Zayyan ketika ia dan Zanna baru saja keluar dari studio bioskop.
“Kayaknya belum deh, Yan,” jawab Zanna sembari mengedarkan pandangan.
“Haus nggak? Beli minum dulu yuk!” ajak Zayyan yang diangguki oleh Zanna.
Mereka berdua lalu berjalan menuju kedai yang menjual makanan dan minuman ringan. Suasana bioskop begitu ramai. Zanna yang berjalan di belakang Zayyan kesulitan untuk mengimbangi langkah lelaki itu. Menyadari Zanna yang tertinggal, Zayyan lalu mempersilakan Zanna untuk bertukar tempat dengannya.
Tidak perlu ditanya lagi, sejak Zayyan yang ternyata satu mobil dengan Zafran dan Allisya itu menjemputnya, degup jantung Zanna sudah tidak karuan.
“Menurut lo gimana tadi filmnya?” tanya Zayyan sembari menunggu pesanan mereka selesai dibuat.
“Bagus banget! Sesuai sama ekspetasi gue. Tapi agak kaget sih pas ada adegan itunya ...,” balas Zanna dengan suara makin mengecil ketika menyebut topik sensitif dari film yang baru mereka tonton.
Zayyan terkekeh. “Gue juga kaget. Pantes sih ratingnya dewasa.”
“Iya, ya, nggak kepikiran. Sorry banget malah jadi nonton film kaya gitu.”
“Tenang aja, kan gue juga pengen nonton itu.”
Pesanan mereka sudah dalam genggaman. Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menunggu Zafran dan Allisya yang baru saja memberi kabar kalau mereka baru keluar dari studio.
“Suara lo beda banget ya, Yan,” ucap Zanna kembali membuka obrolan.
“Emang iya?”
“Iya, lebih berat sama serak aja gitu. Apa cuman perasaan gue?” timpal Zanna kembali disertai kekehan.
“Iya juga sih. Mungkin efek pubertas,” bohong Zayyan sambil tersenyum miring. Ia jelas tahu perubahan suaranya ini ulah dari penyakit yang sedang tertanam di paru-parunya.
Mereka yang masih mondar-mandir mencari tempat duduk mendadak berhenti saat Zanna tiba-tiba mematung. Pandangannya melebar dan lurus pada sebuah titik. Dahi Zayyan mengernyit.
“Kenapa, Zan?” tanya lelaki itu lantas mengikuti arah pandang Zanna yang berakhir pada seorang lelaki yang sedang menatao mereka juga.
Lelaki itu mendekat. Zanna lantas beringsut mundur bersembunyi di balik punggung Zayyan yang makin kebingungan. Namun untungnya otak Zayyan mampu merespons dengan cepat apa yang sedang terjadi sekarang. Yang jelas, lelaki ini tidak baik untuk Zanna.
“Zanna ya? Lama nggak ketemu,” ujar lelaki itu berusaha menatap Zanna yang masih bersembunyi di punggung Zayyan.
“Kenapa sembunyi deh? Nggak mau nyapa gue gitu?” lanjut lelaki itu.
“Ada perlu apa ya?” tanya Zayyan. Perhatian lelaki itu lantas beralih padanya.
“Cuman mau ketemu Zanna aja. Lo siapa? Pacarnya dia?”
“Bukan urusan lo.”
Zayyan lantas menggenggam tangan Zanna dan menariknya pergi. Namun lelaki itu malah meraih tangan Zanna yang lain. Zanna refleks meronta dan menghempas genggaman itu. Namun cengkramannya sangat kuat.
Mendengar rintihan Zanna, Zayyan menarik tangan Zanna dengan kuat hingga genggaman tersebut terlepas.
“Sakit nggak?” tanya Zayyan memastikan saat kelepasan menarik terlalu keras.
“Enggak, enggak,” balas Zanna dengan bibir bergetar menahan takut.
“Nggak usah kasar,” gertak Zayyan pada lelaki itu.
“Gue nggak ada urusan sama lo! Sekarang bawa Zanna ke hadapan gue. Ada yang mau gue bicarain sama dia.”
“Zanna nggak ada urusan sama lo. Nggak ada hal yang perlu dibicarain.”
“Nantangin,” gumam lelaki itu yang mendadak melayangkan pukulan pada Zayyan. Ia tersenyum puas melihat Zayyan terjatuh akibat pukulannya.
Semua pengunjung di sana memekik keras. Zanna yang melihat Zayyan tersungkur segera membantu lelaki itu berdiri. Rasa takut dan khawatir diaduk jadi satu. Zanna hanya ingin segera pergi dari sini dan menghindar dari lelaki itu.
Namun permintaannya tak diindahkan Zayyan. Buktinya, Zayyan kembali berdiri dan melayangkan pukulan. Oh, dia cukup hebat bela diri juga. Lelaki itu berhasil dibalas tersungkur. Zayyan tersenyum puas.
“Selain kasar sama cewek, lo jago mukul juga ya. Sakit neh bekas pukulan lo!”
Mohon maaf Zayyan, ngapain lo jadi ngadu ya? Itu urusan nanti oy. Lo ngadunya sama Zafran aja. Nanti ada yang gemes sama lo kan berabe kalo diculik.
“Bajingan brengsek!”
Mereka berdua saling memukul. Satpam bioskop langsung berdatangan melerai. Namun perkelahian mereka tak kunjung usai.
Zayyan mulai merasakan sesak di dadanya. Ini pasti karena kelelahan. Ia ingin semua ini segera berakhir. Namun ia tidak mau menyerah. Ah, tapi kalau seperti ini bisa-bisa hidupnya yang berakhir.
“ANJIR ZAYYAN!”
Terdengar pekikan dari kejauhan. Itu Zafran yang baru selesai menonton dengan Allisya. Ia langsung berlari menghampiri kerumunan itu. Allisya yang melihat Zanna menangis di ujung lalu berlari ke sana dan memeluk Zanna untuk menenangkan.
Zayyan berhasil ditarik mundur. Wajahnya sudah babak belur. Sambil memegangi dadanya, Zayyan berusaha mengambil banyak oksigen.
“UDAH GILA YA LO!” gentak Zafran tak menyangka bisa menyaksikan Zayyan berkelahi seganas itu di hadapannya.
“Pulang, Ran. Dada gue sakit banget. Gue nggak bisa napas,” ucap Zayyan dalam keadaan yang sudah sangat lemas.
“Hah! Bentar dulu, Yan! Ca! Ica! Cepet ke sini!”
Zafran tentu saja panik. Apalagi melihat keadaan Zayyan yang sudah sempoyongan. Satpam yang membantu melerai lantas ikut memapah Zayyan menuju mobil.
Zayyan ditaruh di kursi tengah bersama Zanna. Mereka bertiga begitu tergesa memasuki mobil akibat desakan Zafran yang menyuruh mereka untuk gerak cepat. Lelaki itu tampak begitu panik melihat Zayyan yang sudah kesulitan untuk membuka matanya.
“Zan! Tolong bantu Zayyan pakai ini!” pinta Zafran sambil memberikan alat bantu pernapasan pada Zanna.
Zanna sebenarnya kebingungan mengapa Zayyan sampai harus pakai alat seperti ini. Namun rasa penasaran itu ia telan kembali. Dengan cekatan, ia memasangkan alat tersebut ke hidung Zayyan lalu menekan tombol di sana agar oksigen masuk ke pernapasan Zayyan.
“Bisa kan, Zan?” tanya Zafran masih terlihat panik sambil membawa mobilnya cepat.
“Bisa, Ran!”
“Duh, rumah sakit mana sih yang deket dari sini?”
“Itu nanti perempatan depan belok kanan trus lurus terus. Ada rumah sakit kok,” timpal Allisya.
“Oh iya bener!”
Zafran kembali menekan pedal gasnya dalam dan melesat menembus senja.
©haruquinza