Ketidakadilan Untuk Zafran

BRAAAKKK!!!

Ayah membanting pintu kamar Zafran begitu keras. Ia lantas mengobrak-abrik isi kamar anak lelakinya dengan emosi yang memuncak. Beberapa bungkus rokok beserta rokok elektrik yang disembunyikan di sudut tak terjangkau berjatuhan ke lantai. Zafran hanya bisa memejam sembari meredam rasa takutnya.

Apa yang ia khawatirkan semalam benar terjadi. Wali kelas membeberkan semua kasusnya di sekolah, terutama saat ia ketahuan membawa sebungkus rokok dan vape. Si wali kelas juga mengatakan kalau sebenarnya ia hendak memanggil orang tua Zafran ke sekolah. Namun niat tersebut diurungkan sebab Zafran telah berjanji akan mengakui kesalahannya sendiri pada orang tua, tapi sayangnya janji itu tidak ditepati.

Sang ayah memunguti bungkus-bungkus rokok itu lalu melemparnya ke wajah Zafran. Anak lelaki itu memejam dengan tubuh yang gemetar. Raut wajah ayahnya merah padam. Tidak pernah Zafran lihat ayahnya semarah ini.

“Jadi ini kelakuan kamu selama ini? Merokok, hm? Kamu merasa jadi jagoan berani merokok di sekolah? Membohongi guru kamu, membohongi orang tua, hebat ya!” ujar sang ayah sarkas.

Zafran mengambil satu langkah mundur saat sang ayah mendekat. “Kamu bisa nggak, sekali saja bikin ayah bangga? Bisa nggak!” bentak sang ayah membuat Zafran memejam.

“Bisanya bikin malu, malu, dan MALU! Lihat ini, LIHAT! Nilai kamu jelek semua! Cuman nilai tugas kamu yang bagus dan ayah yakin ini bukan hasil pekerjaan kamu sendiri!”

Jari telunjuk sang ayah terangkat menuding. “Kamu menyuruh Zayyan untuk mengerjakan tugas kamu, kan? Ayah tau selama ini kalian berdua sering belajar bersama. Bangga, ayah sangat bangga saat tau kamu mau belajar! Tapi ini hasilnya? Kalo memang kamu serius, seharusnya nilai ulangan kamu juga bagus! Tapi kenapa hanya nilai tugasnya saja yang bagus?!”

“Tapi nilai seni budaya sama prakaryaku bagus kan, Yah? Nilaiku jadi yang paling tinggi, bukan dari sekelas tapi semua kelas sebelas punyaku yang tertinggi!”

“AYAH NGGAK PEDULI!”

Mulut Zafran sedikit terbuka dengan raut tak percaya saat sang ayah mendadak memotong kalimatnya.

“Ayah nggak peduli sama nilai seni budaya dan prakaryamu kalau nilai matematika dan bahasa inggris kamu cuman lima!”

“Trus gimana sama Zayyan?” sahut Zafran membalikkan omongan ayahnya. “Nilai seni budaya Zayyan cuman enam. Ayah nggak marahin dia?”

Sang ayah memberi jeda sejenak sebelum menjawab. “Tapi nilai matematika Zayyan sembilan.”

“AKU NGGAK PEDULI!” Zafran balas berteriak. “Mau dia dapet nilai MTK sembilan tapi nilai seni budaya Zayyan cuman dapet enam! Dan aku dapet sembilan. Apa ayah nggak bisa marahin Zayyan seperti apa yang ayah lalukan ke aku karena alasan itu?”

Sang ayah hanya diam. Baru kali ini Zafran berteriak sekeras ini di hadapannya. Dan itu cukup membuat hati sang ayah begitu tergores.

“Jadi orang tua yang becus dong, Yah. Jangan berat sebelah.”

“ZAFRAN!”

“AYAHH!!!”

Tangan sang ayah yang sudah terangkat tinggi hendak memukul Zafran terhenti oleh teriakan istrinya. Zafran yang sudah memejam siap menerima pukulan lantas membuka matanya. Sang bunda berlari menghampiri mereka dengan Zayyan yang mengekor di belakangnya.

“Ada apa ini ya Allah. Kenapa ribut-ribut seperti ini?” tanya sang bunda penuh raut khawatir. “Zafran, kamu tidak apa-apa, nak?” Sang bunda beralih pada Zafran sembari menangkup pipi anaknya itu.

“Anakmu merokok di sekolah,” ujar ayah membuat bunda sontak terbelalak. Ia menatap anak dan suaminya bergantian. Berusaha menolak kenyataan yang baru ia dengar tadi.

“Bohong kan, nak? Kamu nggak merokok kan? Kemarin kamu bilang belum pernah merokok. Kamu nggak mungkin bohongin bunda kan, sayang?” tanya bunda dengan suara bergetar akan menangis. Yang ditanya hanya bisa diam sambil memalingkan wajah.

“Ya Allah, astaghfirullah, Zafran.” Sang bunda terlihat sangat syok. Zayyan berusaha menenangkan.

“Lihat, nilainya anjlok semua! Udah nggak bener anak kamu, Bun. Sekarang sudah berani bentak-bentak orang tua. Harus dikasih pelajaran anak kamu ini!”

Mendengar itu, mereka serentak menatap ayah. Lengan Zafran ditarik ayahnya dengan kuat. Zafran yang tidak siap hampir terjatuh. Tubuhnya lantas didorong sang ayah ke dalam kamar yang langsung ditutup rapat.

Zafran panik. Ia bergegas menahan pintu kamarnya namun terlambat. Sang ayah sudah terlebih dahulu mengunci pintunya dari luar.

“AYAH! BUKA YAH! APA-APAAN INI BRENGSEK! NGGAK BECUS LO ANJENG! BUKA PINTUNYA!!!”

©haruquinza