Lama Tak Berjumpa

Libur panjang semester telah tiba. Hari yang ditunggu oleh para mahasiswa perantau. Tak terkecuali Freya yang langsung memutuskan pulang ke Bogor. Satu semester ini ia tidak sempat pulang dikarenakan padatnya jam kuliah. Ia sangat merindukan Bogor dan segala kenangan yang tertinggal di sana.

“Lo dari stasiun naik apa ke rumah?” tanya Adam, teman kuliahnya, yang duduk di sebelah. Dia adalah teman yang cukup dekat dengan Freya. Mungkin karena berasal dari kota yang sama mereka jadi mudah akrab. Sebagai seorang perantau, bertemu dengan orang dari kota yang sama dapat meruntuhkan satu beban yang terpikul di pundak.

“Gue dijemput, Dam. Lo gimana?”

“Naik Grab paling. Kirain lo nggak dijemput. Mau ngajak pulang bareng,” ujar Adam diselingi tawa.

“Kapan-kapan, ya! Gue udah terlanjur bilang soalnya.”

“Santai. Nggak ada yang ketinggalan kan?”

Freya dan Adam saling mengecek barang bawaan mereka. Semuanya sudah tergenggam aman. Adam memberi jalan pada Freya untuk turun dari kereta terlebih dahulu. Mereka mengela napas bersamaan. Akhirnya bisa mencium udara segar Bogor lagi.

Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari stasiun. Freya yang menangkap keberadaan Travis lantas mengangkat tangannya. Senyum Travis mengembang dan kembali meredup melihat seorang lelaki berjalan di sebelah Freya. Ia lalu melangkah menghampiri Freya.

“Travis, ini yang namanya Adam. Dam, kenalin ini Travis.” Wajah Adam terlihat menyambut. Ia meletakkan tasnya sejenak di lantai untuk bersalaman dengan Travis.

Sebelum menyambut uluran tangan Adam, Travis menelisik sosok di hadapnnya dari atas sampai bawah. Kemudian menyambut tangan Adam setengah hati. “Travis, pacar Freya,” ujarnya.

“Vis!” tegur Freya cepat yang hanya dibalas tatapan tanya dari Travis. Apa yang salah? Mungkin itu arti dari tatapan Travis.

“Hohoo pacar? Oke, salam kenal, Vis. Kalau gitu gue duluan ya,” pamit Adam sambil melambaikan tangannya kemudia menjauh.

Travis mengambil koper yang diseret Freya dan tas yang digendongnya. Freya merasa beban di tubuhnya kosong seketika. Ia tersenyum atas perlakukan Travis.

“Ayo!” ajak Travis sambil menekuk sikunya, mengisyaratkan Freya untuk berpegangan di sana. Tanpa ragu, Freya menenggerkan tangannya di sana. Sudah biasa.


“Katanya tadi buru-buru. Gue udah sampe lo nggak pergi-pergi,” sindir Anggie melihat Justin masih berdiri di ambang pintu belakang.

“Temen gue belum jemput,” jawab Justin dengan pandangan terpaku pada ponselnya.

Anggie yang sedang menemani Arabella bermain seluncuran hanya menggelengkan kepalanya. Terdengar bunyi krincing dari pintu depan tanda ada seseorang yang masuk. Justin dan Anggie serentak menatap ke depan.

“Udah dateng tuh. Gue balik ya. Temen gue udah dateng juga,” pamit Justin.

“Oke, ati-ati di jalan, Tin,” jawab Anggie seraya menggendong Arabella. Justin mengangguk lalu keluar melalui pintu belakang.

Travis dan Freya masuk bersama. Freya menatap sekeliling dengan pandangan berbinar. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat seperti ini. Tampak cerah dan menenangkan. Walaupun suasananya cukup ramai oleh anak-anak yang bermain.

“Itu Ara,” ucap Travis membuat Freya menoleh. Dilihatnya seorang gadis kecil dengan rambut kuncir dua dalam gendongan seorang perempuan. Ia tampak menggemaskan dengan senyum yang tertahan oleh dua pipinya yang tembam.

“Kak piss!” teriaknya saat ia turun dari gendongan dan langsung berlari menghampiri sang kakak. Travis memeluknya erat. Melepas rindu yang takkan pernah habis walau masih sering berjumpa. Pipi gembul adiknya dicium keduanya.

“Seneng mainnya?” tanya Travis ditengah serbuan ciuman yang ia berikan. Sang adik mengangguk. Mata bulat kecil itu bergulir ke atas, menatap seorang gadis yang berdiri di samping kakaknya. Travis yang menyadarinya ikut menengok. Ia lantas menggendong Ara dan menghadapkannya pada Freya.

“Ara, ini kak Freya. Temennya kak pis. Ayo, salim dulu.”

Mendengar itu, Freya langsung bersemangat melambaikan tangannya dan menjulurkan tangannya. Namun Ara malam beringsut ke pelukan Travis. “Kak Ola mana?”ujar Ara membuat Freya mengernyit.

Travis tampak gelagapan. Merasa tak mendapat jawaban , Ara menengok ke atas. Menatap wajah kakaknya. “Kak Ola ga ikut?” tanyanya kembali. Travis melirik Freya sejenak.

“Kak Ola lagi jauh. Sekarang Ara sama kak Freya ya?”

“Kak pis nda sama kak Ola?”

Freya makin bingung dengan situasi ini. Kak Ola? Siapa? Ia merasa tak pernah mendengar nama itu. Namun sepertinya orang bernama Ola ini cukup dekat dengan adik Travis. Ia terus menanyakan sosok itu. Dan lagi, adik Travis tampak tidak suka dengan kehadirannya.

“Ara mau beli es krim? Beli es krim yuk?” tawar Travis berusaha mengalihkan perhatian Ara dan berhasil. Ia lalu mengajak Freya keluar. Menyadari raut kebingungan Freya, Travis pun berbisik. “Nanti aku jelasin.” Mendengar itu, Freya hanya mengangguk.


Justin dan teman-temannya tiba di sebuah panti asuhan. Merek turun dengan menenteng kardus berisi berbagai bahan makanan. Sembako, camilan, atau kadang juga baju-baju bekas yang masih bagus hasil donasi dari orang-orang sekitar. Kegiatan ini rutin mereka lakukan setiap hari minggu. Semua bahan makanan sebagian besar dibeli menggunakan uang Justin, terutama dari uang gajinya bekerja di penitipan anak.

Tidak hanya satu atau dua panti asuhan, Justin berusaha untuk menjangkau semua panti asuhan yang ada di kotanya. Terkadang ia pun memberi untuk tunawisma yang ia temui di jalanan.

Sweet Escape sudah tak pernah datang ke Sentul. Mereka semua sudah berhenti dari kegiatan kotor itu. Semua ini mereka lakukan untuk menghargai Justin yang tak lagi mengendarai motor. Sebisa mungkin mereka menghindari hal-hal yang berbau masa lalu mereka. Kini mereka fokus berbuat baik dengan harapan bisa membersihkan mereka dari jiwa yang telah lama kotor.

“Mampir warung uncle Lim yok!” ajak Kevin setelah menyelesaikan urusan mereka di panti asuhan. Semuanya setuju dan bergegas pergi ke markas baru mereka.


“Asem banget mulut gue. LA mint ada kagak? Lupa beli gue,” ujar Justin.

“Adanya Marlboro, mau?” tawar Danny seraya melemparkan sebungkus rokok ke meja.

Justin mendecak. “Nggak enak. Uncle jual kagak ya?” Justin beranjak melongok etalase berisi deretan rokok tepat di depannya. Saat ia akan melangkah, tak sengaja ia menabrak seseorang. “Eh, bang David?”

“Lah, Tin? Lagi di sini juga lo?” Lelaki bernama David itu ikut menegur lalu menepuk bahu Justin.

“Iya bang, lagi ngumpul bareng yang lain. Apa kabar lo? Lama banget nggak keliatan.”

“Oy bang, ke mana aja lo?” sapa Kevin menimpali.

“Baik gue, hahahaa. Gue sekarang nyibuk di kafe jadi nggak pernah ke Sentul lagi.”

“Gue sama yang lain juga kagak bang,” timpal Jayden.

“Bagus lah, kagak usah ke sana lagi. Duluan ya, gue mau beli makan buat orang rumah.”

“Adik lo gimana bang?” tanya Danny.

“Di rumah. Kemarin baru jatoh. Maksain naik motor jadi gitu.”

“Semoga cepet sembung buat adik lo bang.”

“Salam buat adik lo.”

“Iya iya, gue duluan ya.”

Sepeninggal David, Kevin membuka obrolan. “Nggak main-main, bro. Nyampe sekarang masih berasa efeknya. Untung aja lo selamet waktu itu, Tin.”

Justin yang mendengar itu hanya menyunggingkan bibirnya.