Langit Yang Kembali Menuai Harapan

Disarankan sambil mendengarkan lagu When We Were Young-Adele

Author POV

Esoknya, Aksel kembali lagi ke jembatan itu. Entahlah, sepertinya dia merasa tenang disana. Mungkin ini akan jadi tempat pelarian barunya saat stress. Hmm, daripada datang ke klub seperti kebiasaannya dulu.

Udara malam menerpa rambut panjangnya. When we were young milik Adele sayup-sayup terdengar dari balik airpod yang bertengger di telinganya. Sesekali Aksel menggumamkan lirik yang sudah sangat dihapalnya. Sungguh paket lengkap yang cocok untuk suasana malam ini.

Aksel tersentak. Seseorang mengambil salah satu airpodnya. Ia sontak menoleh dan matanya membulat. Lagi-lagi warna itu. Warna yang akhir-akhir sangat mengganggu pikirannya. Warna yang sangat dia rindukan. Warna Helen.

“Ini lagu apa? Enak banget didenger,” tanya Helen tapi tak menatap Aksel. Pandangannya tertuju pada laut dibawah jembatan.

“When We Were Young, punya Adele,” jawab Aksel sambil memandang ke depan. Raut wajahnya tegang karena kehadiran Helen yang tiba-tiba. Dan lagi bagaimana Helen bisa ada di sini?

“Nyanyiin dong. Kamu pasti udah hapal lagunya kan?” pinta Helen. Tapi lagi-lagi tatapannya masih ke depan. Sama sekali tidak menghadap Aksel.

Aksel menoleh pada Helen. “Kan kamu lagi dengerin lagunya, dari penyanyi aslinya lagi.”

“Aku pengin denger yang versi kamu.”

Aksel tersenyum tipis. Dia mencondongkan tubuhnya dengan siku yang bertumpu pada pembatas jembatan. Telapak tangannya tertaut lalu menghadap ke depan.

Everybody loves the things you do From the way you talk To the way you move

Helen melepas airpod di telinganya dan menatap Aksel.

Everybody here is watching you 'Cause you feel like home You're like a dream come true But if by chance you're here alone Can I have a moment Before I go?

Aksel tersenyum tipis di sela-sela nyanyiannya. Dada Helen berdesir melihat senyuman itu. Senyum yang sangat tulus dan ringan. Aksel seperti sedang bercerita tentang isi hatinya. Apalagi saat menyanyikan lirik terakhir. Before I go? Kenapa terasa begitu nyata?

'Cause I've been by myself all night long Hoping you're someone I used to know

You look like a movie You sound like a song My God, this reminds me Of when we were young

Let me photograph you in this light In case it is the last time That we might be exactly like we were Before we realized We were sad of getting old It made us restless It was just like a movie It was just like a song

Aksel beralih menatap Helen yang tengah terdiam menatapnya dengan mata yang agak sembab. Tak sadar, setetes air menetes dari obsidian Helen. Dia merasa larut dalam lagu. Lagu yang dinyanyikan dengan tulus hingga menyentuh lubuk hatinya. Suara merdu Aksel seakan jadi candu yang ingin terus dia dengarkan. Suara yang membekap suara lain agar sang pendengar hanya fokus padanya.

“Kok nangis si? Emang aku nyubit kamu?” ledek Aksel lagi-lagi dengan senyum manisnya. Astaga, sepertinya dia ingin membunuh Helen sekarang.

“Suara kamu bagus banget tau. Aku jadi nangis dengernya,” jawab Helen sambil mengusap pipinya yang basah.

Aksel tertawa singkat. “Makasih buat pujiannya. Tapi jangan nangis terus. Nanti aku dikira ngapa-ngapain kamu lagi.”

Tawa itu, tawa paling lembut dan manis yang pernah Helen dengar. Segala hal tentang Aksel selalu penuh ketulusan. Bagaimana dia bisa jahat kepada sosok sebaik Aksel?

Helen begitu menyesali sikap sombongnya saat Reza meminta bantuan kepadanya. Aksel begitu terluka. Dan dia malah menyepelekan semua itu.

“Aksel?” panggil Helen lirih tapi masih dapat didengar oleh Aksel.

“Hm?” Aksel menoleh.

“Kamu liat warnaku?” ujar Helen sambil berbalik menghadap Aksel.

Aksel termenung. Ya, tentu saja. Dia melihatnya. Warna Helen masih dapat terlihat jelas. Warna yang begitu indah. Warna yang memberi kehidupan untuk tempat yang disinggahinya. Warna yang selalu Aksel harapkan bisa merengkuhnya setiap saat.

“Lihat,” jawab Aksel singkat. Ribuan pujian sebenarnya siap dia ucapkan namun kembali dia telan. Sia-sia saja jika Helen tidak peduli dengan semua itu.

“Apa warnanya indah?” tanya Helen kembali. Namun kali ini tak menghadap Aksel lagi.

“Hm, seperti biasanya,” jawab Aksel tenang. Padahal dadanya bergetar hebat.

“Kamu tahu? Warnaku belum seberapa dibanding warna sekitarmu. Dunia ini indah. Aku hanya sebagian kecil warna yang ada di dunia ini. Dibanding mereka, aku nggak menarik sama sekali,”

Aksel tersenyum tipis. “Oiya? Kalau begitu dunia ini indah banget ya? Warna seindah milikmu aja nggak menarik, bagaimana yang paling menarik? Bisa-bisa aku mati berdiri melihatnya.”

Helen menoleh cepat. Tidak, dia tidak tersipu dengan pujian tak langsung itu. Tapi hatinya malah teriris. Kata-kata indah Aksel terdengar begitu menyakitkan. Hal paling sederhana dalam hidupnya adalah hal yang paling diharapkan oleh Aksel. Dia hanya ingin melihat warna dunia, begitu sederhana bukan?

“Kamu nggak pengin melihatnya?” tanya Helen lagi.

“Aku nggak ingin mengharapkan sesuatu yang nggak akan pernah terjadi,” ujar Aksel sambil tersenyum lalu menunduk.

“Aku akan membuatnya terjadi,” ujar Helen tegas. Mata Aksel yang terpejam seketika membulat dan mendongak cepat. Gadis itu tengah menatapnya dalam dan penuh keyakinan. Mereka bertatapan cukup lama dengan suara kendaraan yang melintas mengisi keheningan.