Malam Penuh Kehilangan

image

Freya menyetujui usulan Danny yang ingin Stella dan Bella menginap di kosannya malam ini. Ia tahu, teman-temannya pasti mengkhawatirkan keadaannya. Semenjak ia tahu Justin takkan membalas pesan-pesannya lagi, jam tidurnya jadi berantakan. Matanya hanya akan memejam pada dini hari dan terbuka tiga jam kemudian.

Bayangan lelaki itu begitu melekat. Jejaknya hampir menguasai seluruh dunia Freya. Apapun yang ia lakukan selalu terhubung pada sosok berkulit coklat manis itu. Entah Justin yang memang sudah menguasai dunianya atau Freya yang menjadikan Justin sebagai dunianya. Rindu ini perlahan mulai menggerogoti kewarasannya.

Sebuah karpet bulu berwarna coklat dengan motif abstrak dijadikan alas untuk duduk Freya, Stella, dan Bella yang sedang menonton sitkom, ditemani beberapa bungkus snack ringan yang mereka beli di minimarket terdekat. Sesekali mereka tergelak oleh tingkah lucu para aktor di balik layar laptop Freya.

Stella mengamati kamar Freya yang penuh oleh hadiah dari mereka. Semua kado-kado itu ditata rapi di lantai. Namun ada satu kado yang Freya letakkan di nakas, kado dari Justin. Masih utuh tak tersentuh.

Ingin hati meminta Freya untuk membuka kado berwarna biru langit itu. Jayden menitip pesan untuk tidak membiarkan Freya membuka kado itu sendirian. Mungkin Justin hanya tidak ingin Freya menangis sendirian, meratapi dirinya yang hanya diberi kesempatan sekali dalam setahun untuk berkabar dengan Justin.

“Ada minum nggak, Fre? Gue haus,” celetuk Bella yang memeluk satu bungkus keripik kentang berukuran sedang.

“Air galon tapi, nggak apa-apa? Atau mau beli minuman di minimarket?”

“Iya, air galon aja nggak apa-apa.”

Freya lantas beranjak ke galon yang terletak di samping nakas. Ekor matanya menangkap kado dengan warna yang begitu mencolok. Entah kapan ia sanggup membuka kado itu. Namun sebenarnya ia penasaran apa yang disiapkan Justin untuknya.

“Mau buka kadonya bareng kita, Fre?” celetuk Stella membuat Freya terbangun dari lamunan. Ia lantas menoleh mendapati kedua temannya tengah menatap penuh harap.

Helaan napas halus berseloroh dari mulutnya. Freya melewati kotak biru itu untuk mengambil gelas. Ia mengisinya dengan air galon sampai penuh lalu diberikan pada Bella.

Stella dan Bella tampak sedikit memajukan bibir bawahnya sebagai bentuk kekecewaan. Freya benar-benar tidak berniat membuka kadonya malam ini. Padahal mereka berdua hanya ingin memberi Freya kekuatan jika nantinya kado itu membuatnya tumbang.

Dugaan mereka salah. Nyatanya Freya kembali ke nakas dan mengambil kado tersebut. Senyum Stella dan Bella merekah seketika. Mereka lalu memberi ruang untuk Freya duduk di tengah.

“Berat nggak, Fre?” tanya Bella.

“Lumayan,” jawab Freya lantas melepas pita yang mengikat kado itu.

Ritme detak jantung Freya meningkat. Berkali-kali ia menghembuskan napas yang mendadak terasa berat. Pita itu berhasil dilepas. Kini ia hanya perlu membuka penutup kotak kado itu.

Freya menatap kedua temannya bergantian. Mengais kekuatan untuk bisa membuka kado dari Justin. Anggukan mereka berdua membuat hatinya teguh. Ia lantas membuka kotak itu.

Kening Freya mengernyit. Sebuah pakaian berwarna biru muda dengan motif bintik putih mencuri perhatiannya. Tangannya beranjak mengelus kain itu. Halus dan terasa nyaman dipakai. Ia melirik Stella dan Bella yang tampak terpukau dengan pakaian itu, sama sepertinya.

Freya mengeluarkan pakaian itu dari dalam kotak. Ah ternyata dibaliknya masih ada beberapa barang lagi. Ia lantas membuka lipatan pakaian itu. Sebuah dress yang kira-kira bisa menutup sampai batas lututnya.

“Cantik banget, Fre!” puji Stella mengulas senyum manis di bibir Freya.

“Ukurannya pas buat lo deh. Pinter Justin belinya,” timpal Bella membuat hati Freya menghangat.

Hadiah lainnya ada jam tangan kecil berwarna hitam, dua buah lip cream yang, astaga, warnanya sangat cantik dan memang Freya sukai. Dari mana lelaki itu tau semua ini?

Sebentar, ada satu barang yang disembunyikan di balik sobekan kertas pengisi kotak kado itu. Freya menyingkirkan helaian kertas itu. Sebuah kaos hitam yang tak asing. Dadanya mendadak sesak. Jangan bilang … ini kaos Justin?

Tangannya bergerak ragu mengangkat kaos itu. Ia dekatkan ke hidung untuk menghirup aromanya. Seketika bola matanya memanas. Wangi Justin, kaos ini benar milik Justin.

Tangis Freya pecah seraya memeluk kaos hitam itu. Semua kenangan bersama Justin seketika berputar di otaknya. Hangatnya pelukan Justin, irama detak jantungnya, dan wangi maskulin lelaki itu kini menyiksanya bersamaan.

Mengapa? Mengapa Justin melakukan ini? Mengapa ia harus membawa kaos ini turut serta dalam kadonya? Apa lelaki itu sengaja agar Freya semakin tersiksa akan kerinduan? Atau apakah lelaki itu berpikir caranya bisa menghapus rasa rindu?

Jika iya, maka Justin salah besar. Nyatanya ia bagai menusukkan gelati ke ulu hati Freya. Luka yang tengah disembuhkan seakan dikorek habis. Meneteskan bercak merah penuh perih yang lama ditahan Freya. Rindunya sama sekali tak terobati.

Freya tidak butuh kaos Justin. Freya tidak butuh harum tubuh lelaki itu. Freya hanya butuh presensi Justin di sampingnya. Memberinya pelukan dengan debaran jantung nyata, bukan sekadar kaos hitam yang diberi wewangian khas Justin Mahendra.

Stella dan Bella tampak cemas. Mereka tidak bisa menghentikan tangis Freya yang menyembunyikan wajahnya di balik kaos hitam itu.

“Fre, lo kenapa? Gue di sini. Semuanya bakal baik-baik aja, Fre,” bujuk Stella yang merengkuh bahu Freya. Ia melempar tatapan tanya pada Bella yang langsung dibalas gelengan.

“Ini kaosnya Justin. Kenapa dia kasih ini ke gue? Dia mikir kaos ini bisa bikin kangen gue ilang? Engga, sama sekali engga. Yang ada gue makin kangen sama dia.”

“Fre ….” Stella sontak terkejut. Dia pikir itu kaos biasa, kaos yang dihadiahkan Justin untuk Freya. Tapi nyatanya itu milik Justin. Rasa sesak seketika turut menyergap hatinya.

Gadis itu tengah merindu setengah mati pada Justin. Mungkin beberapa orang berpikir cara Justin bisa meringankan kerinduan Freya. Namun melihat Freya sekarang, cara Justin jelas salah besar. Ia hanya makin menyiksa gadisnya.

Mungkin ini alasan Justin menyuruh temannya untuk menemani Freya. Ia takut hal yang ia pikir bisa menyenangkan Freya berbalik menyerang gadis itu. Dan ketakutannya pun terwujud.

“Sini, kasih aja kaosnya ke gue. Biar Danny atau yang lain aja yang nyimpen,” ujar Bella berusaha merebut kaos hitam itu dalam genggaman Freya. Namun Freya menolak. “Kaos ini nggak baik buat lo, Fre. Gue nggak mau lo sakit gara-gara nangis terus,” tambah Bella.

Freya hanya menggeleng sembari menghapus air matanya. Ia tatap kaos hitam itu dengan lamat. Menyelami kenangan yang tertinggal dalam untaian benang yang dulu turut memberi kehangatan padanya.

Terakhir kali Freya melihat Justin memakai kaos hitam ini adalah saat lelaki itu datang ke Jakarta, tepatnya di hari ketika Justin pamit untuk pergi ke luar negeri. Ia masih mengingat pelukan terakhir yang Justin berikan sebelum pulang ke Bogor. Dan kaos ini adalah saksinya.

Freya kembali melipat kaos hitam itu. Di bagian paling bawah, ada sebuah amplop bertuliskan:

Untuk Freya, 27 Oktober 2024 JM

Ini pasti surat yang dimaksud Danny. Terdapat tiga lembar kertas dalam amplop tersebut. Freya berusaha keras untuk membuang sesak dalam jiwanya. Membangun kembali pondasi pertahanan yang sempat runtuh. She’s tryin’ to pick herself up piece by piece sebelum membaca untaian kata yang tertulis di sana.

Untuk Freya Grizelle, si cantik yang berusia dua puluh tahun

Baru satu kalimat yang ia baca. Namun bola matanya sudah kembali memerah. Freya menarik napas dalam sebelum beralih ke kalimat selanjutnya. Kata demi kata ia lalui. Kalimat demi kalimat ia resapi hingga melahirkan aliran haru dari kedua netranya. Bayangan Justin yang sedang menulis mendadak menghantui pikirannya.

Sampailah Freya di halaman terakhir. Ia menoleh ke kanan. Menatap Stella yang sedari tadi merangkulnya dan turut membaca surat dari Justin. Freya lantas menghambur dalam pelukan gadis itu dengan tangis yang kembali pecah.

“Gue nggak sanggup, La. Gue nggak sanggup kaya gini. Gue nggak bisa cuman dapet surat kaya gini setiap tahunnya. Gue nggak bisa,” rintih Freya dalam pelukan Stella. Tak ayal Stella turut merasakan perih yang membuatnya ikut menangis.

“Lo pasti bisa, Fre. Lo bisa. Lo hebat, kuat, tangguh, seperti apa yang Justin bilang ke lo. Gue yakin lo bisa melalui semua ini. Gue di sini akan selalu ada buat lo,’ jawab Stella penuh isak.

“Kenapa Justin tega ninggalin gue,” ujar Freya di sela tangisnya.

“Dia nggak ninggalin lo. Dia cuman pergi sebentar. Dia pasti balik. Percaya sama gue.”

Stella menatap kembarannya yang setia mengusap punggung Freya dari belakang. Dua obsidian gadis itu turut menggenang, walau tak menangis seperti dirinya. Mereka sama-sama mengusahakan cara untuk meyakinkan Freya kalau ada mereka di sini. Menemani Freya sampai sang tuan kembali ke puannya.