Malam yang Kelam

Cerita ini mengandung banyak adegan kekerasan yang mungkin akan membuat beberapa orang merasa tidak nyaman. Silakan skip sampai sub-judul “Di rumah sakit” kalo kalian nggak mau baca adegan kekerasannya.


Hampir tiga hari Freya tak keluar kamar. Sepertinya ia butuh sedikit udara segar untuk menenangkan pikiran. Ia sengaja tidak memberitahu Travis. Lelaki itu pasti akan membuntutinya ke manapun. Jujur, Freya merasa sangat tidak nyaman. Apalagi ketika ia mengingat kejadian expo. Freya benar-benar malu dengan apa yang diperbuat Travis.

Malam ini, Adam mengajaknya keluar. Lelaki itu benar-benar jelmaan Samuel. Selalu ada ketika ia membutuhkannya. Ia berharap, Adam akan terus di sampingnya. Menjadi pengganti Samuel yang begitu dirindukan.

Ponselnya berdering. Oh Tuhan, lelaki itu masih saja menanyakan keberadaannya. Apa dia tidak bisa membiarkan Freya hidup tenang sehari saja? Lama-lama, Freya jadi muak dengan semua sikap overprotektif Travis.

Ponsel dalam genggamannya tak berhenti berdering. Melodi dan getarannya menghantui pikiran. Kepalanya terasa sangat pening. Ia tidak kuat. Dengan emosi yang memuncak, Freya membanting ponsel itu ke trotoar. Napasnya memburu. Bunyi pengganggu itu akhirnya lenyap.

“Frey? Lo baik-baik aja?”

Freya berbalik cepat. Adam berdiri tak jauh darinya. Mengenakan kemeja kebesaran dengan kaus hitam sebagai dalaman. Sepertinya ia sudah cukup lama di sana. Ah, apakah Adam melihatnya membanting ponsel?

Ia menggeleng. “Nggak, gue nggak baik-baik aja, Dam.”

Terdengar Adam mengela napas. Terlihat turut prihatin dengan apa yang menimpa Freya. “Mau ikut gue?”


Derap langkah Travis menapaki sebuah lahan kosong gelap dan sunyi. Tak ada siapapun di sana. Degup jantungnya terdengar begitu keras. Di mana mereka? Bukankah ini lokasi yang tepat?

Terdengar langkah lain menyusul. Travis membawa seluruh anak buahnya untuk menyelamatkan Freya. Mereka berpencar ke segala penjuru lahan. Mungkin tidak harus sejauh ini sebab Travis yakin geng David tak begitu kuat. Namun ia tak bisa meremehkan rencana matang lelaki itu.

Ia tak menyangka. Apa yang dibilang Justin kemarin benar terjadi. Sebenarnya Travis pun sudah was-was akan hal ini. Ia berusaha menemani Freya ke manapun. Di hari pertama gadis itu menampakkan kaki di Bogor, Travis sudah menaruh curiga pada Adam. Wajah lelaki itu tak asing.

Beberapa kali ia memergoki Adam yang membuntuti Freya. Namun Travis sadar, Freya takkan percaya dengan hal itu. Adam begitu rapi menutupi identitas aslinya. Lelaki itu memang berperan sebagai mata-mata dan pengatur strategi di Dark Shadow.

“Bos! Di sini!” pekik salah satu anak buah Travis. Mereka semua serentak berlari menghampiri.


“Bang, mereka udah dateng!”

David yang berdiri di tepi jendela menoleh. Diliriknya seorang gadis yang terikat di kursi dengan mulut tersumpal tengah meronta-ronta.

“Biarin mereka masuk.”

Freya berusaha berteriak sekencang mungkin walaupun semuanya percuma. Suaranya tertahan oleh kain yang menyumpal mulutnya. Ia tidak menyangka Adam melakukan semua ini padanya. Selama ini, ia sudah percaya pada Adam. Namun apa yang ia dapat?

Lelaki itu tengah duduk tak jauh darinya. Sibuk dengan ponsel yang Freya yakini hanya sebagai alibi saja. Nyatanya lelaki itu tak henti melirik ke arahnya. Kecewa, Freya sungguh kecewa dengan Adam.

Ia sama sekali tidak tahu situasi apa yang terjadi saat ini. Apa yang membuat mereka menahannya di sini? Ia bahkan tak mengenal mereka kecuali Adam. Oh, tunggu, sepertinya ia tahu lelaki yang berdiri di sampingnya ini. Bukankah dia teman kerja Kevin? Apa semua ini ada hubungannya dengan geng Justin?

Freya jadi sadar. Apakah ini maksud Travis menyuruhnya untuk menghubungi kala ia ingin pergi ke suatu tempat? Apakah Travis sudah tahu hal ini akan terjadi?

Terdengar keramaian di luar. Freya mendongak. Ia sangat berharap itu Travis yang akan menyelamatkannya.

Dan benar saja, lelaki pertama yang muncul di ambang pintu adalah Travis. Freya berteriak kencang. Lelaki itu hendak menghampiri tapi langsung dicegah oleh orang di sana.

“Lepasin Freya atau gue habisin lo semua!” teriak Travis penuh amarah. Namun hanya dibalas tawaan remeh oleh geng David.

“Silakan aja,” ujar David santai. Travis langsung mengarahkan anak buahnya untuk menyerang. Namun mereka terhenti saat David mencekal leher Freya. “Kalo lo mau cewek lo celaka di tangan gue.”

Keringat dingin mengucur di dahi Freya. Sebuah pisau siap menggores lehernya. Walaupun bagian yang tajam di arahkan keluar, namun tak menutup kemungkinan jika ia bergerak sedikit saja, pisau itu akan menciptakan guratan merah di lehernya.

“Singkirin pisau lo!” teriak Travis yang begitu menggema. Semua anak buahnya tak berani bergerak.

“Gue akan lepasin cewek ini kalo lo mau menyerah sekarang.”

Travis menatap David dengan rahang yang mengeras. Manik penuh gejolak amarah itu tak lepas dari Freya yang tak berhenti meneteskan air mata.

“Berlutut sekarang dan terima semua pukulan anak buah gue tanpa perlawanan. Tarik semua anak buah lo. Setelah itu, gue bakal lepasin cewek ini.”

Travis tak gentar. Tidak mungkin ia mengalah di hadapan semua anak buahnya. Seorang Travis menyerah dengan lawan? Takkan terjadi.

Ia menatap sekitar. Tak ada jalan keluar lain. Semua anak buahnya pun tak bisa bergerak. Apalagi pisau yang masih saja mengalung di leher Freya. Haruskah, haruskah ia menyerah?

Bahunya naik turun pelan. Mengontrol deru napas yang memburu. Lutut Travis menekuk. Jatuh pasrah di lantai tepat di hadapan Freya. Gadis itu menggeleng cepat. Tidak, Travis tidak boleh mengorbankan diri untuk menyelamatkannya. Namun tentunya Travis tidak mengindahkan larangan tersebut.

“Gue menyerah. Gue siap terima semua yang bakal lo lakukan. Tapi gue minta lo lepasin cewek gue.”

David tertawa puas. Ia menyuruh anak buahnya untuk menahan Travis. Pisau dalam genggaman ia buang. Ikatan pada mulut gadis itu dibuka. Freya langsung meraup oksigen dengan terengah.

“TRAVIS! BERDIRI!” teriak Freya dengan tangis histeris. Ia melihat Travis tersenyum sebelum lelaki itu dikerubungi anak buah David.

“TRAVISSSS!”


Justin dan yang lain berlari tergesa. Mereka begitu kesulitan mencari markas David yang ternyata sudah berpindah tempat. Hanya sebuah lahan sunyi dengan bangunan tua yang terlihat. Tidak tahu di mana keberadaan Freya dan yang lain.

“Kayaknya di balik gedung itu,” ujar Danny sambil menunjuk gedung tua yang lebih terang dari gedung yang lain. Mereka lantas berlari ke sana.

Benar saja, terdengar kerusuhan dari dalam sana. Jayden berlari memimpin. Menghampiri seseorang yang langsung menyambutnya. “Den, tolong! Kayaknya bos udah nggak sadar di sana. Tapi mereka nggak berhenti mukul!” ujar Jarvis begitu panik.

Justin lantas menerobos. Melihat Travis yang tengan dipukul dan Freya yang dijegal oleh Adam dan David.

“Berhenti!” teriak Justin membuat seluruh perhatian tertuju padanya. Ia memandang David. “Nggak gini cara buat nyelesain masalah, bang. Lo cuman nambah masalah lain.”

“Ini bukan urusan lo, Tin. Jadi lo nggak usah ikut campur.”

Pandangannya memanas menatap Freya yang begitu berantakan. “Berhenti atau gue laporin ke polisi,” ancam Justin sambil mengangkat ponselnya dengan nomor polisi tertera di sana.

David mendecak. Ia lalu memberi instruksi pada anak buahnya untuk mundur. Mereka yang mengeroyok Travis lantas melenggang pergi. Meninggalkan Travis yang langsung tersungkur tak sadarkan diri.

“Travis!” pekik Freya yang langsung berlari bersimpuh ke hadapan Travis. Gadis itu menangis pilu sambil memandangi wajah Travis yang sudah babak belur.

Justin memandang datar. Ia lantas menatap Danny. “Panggil ambulans, Dan. Kita bawa dia ke rumah sakit.”


Di rumah sakit

Justin memandangi Freya dari kejauhan. Gadis itu tak berhenti menangis sedari tadi. Ia jadi khawatir. Namun ia tak bisa melakukan apapun untuk menenangkan Freya.

Gadis itu seharusnya turut mendapat perawatan karena ada beberapa luka di tubuhnya. Dan yang pasti, kondisi kejiwaan Freya terguncang hebat. Namun gadis itu menolak dan kekeh ingin menunggu Travis di sini.

“Mending kita balik sekarang. Kita udah nggak ada urusan di sini. Lagi pula anak bauh noir udah banyak yang nunggu,” saran Kevin. Sebenarnya dia khawatir dengan Justin yang terus memandangi Freya.

“Gue setuju sama Kevin. Ayo, kita balik,” ajak Danny yang kemudian merangkul Justin pergi.

Justin melepas rangkulan Danny. “Gue nggak bisa ninggalin Freya dalam keadaan kacau kaya gitu,” ujarnya lantas menatap Kevin. “Lo bisa suruh Stellah ke sini nggak? Temenin Freya.”

“Oh, bisa-bisa! Gue telfon dulu.”

“Kalo dia takut sendirian, boleh ajak Bella sekalian. Yang penting ada yang temenin Freya di sini,” tambah Justin. Kevin mengangguk.

Danny memandang Justin penuh arti. Dari sorot matanya, Danny bisa merasakan kalau Justin masih memiliki rasa sayang yang begitu besar pada Freya. Namun ia menahan semua itu.

Tak butuh waktu lama untuk menunggu kedua gadis itu datang. Justin dan yang lain pergi saat Freya sudah ada yang menemani dan semuanya aman.

Saat mereka keluar dari rumah sakit, tak sengaja mereka berpapasan dengan orang tua Freya. Mama freya terlihat begitu panik. Melihat keberadaannya, wanita itu lantas mendekat dan menampar wajah Justin. “Kamu lagi! Mau apa lagi kamu hah?! Mau bikin anak saya celaka lagi?! Iya?!” bentak mamah Freya di wajah Justin.

Danny dan yang lain langsung melindungi Justin. “Jangan asal tuduh, Bu! Justru Justin yang udah menyelamatkan anak ibu!” balas Danny tak terima dengan perlakuan mamah Freya.

“Udah, Mah! Jangan buat keributan di sini. Mending kita langsung temui Freya,” bujuk sang suami pada istrinya.

“Awas ya kamu kalo berani macam-macam lagi dengan anak saya!” ancam mamah Freya dengan menuding Justin sebelum melenggang pergi.

Justin masih memegangi pipi bekas tamparan mamah Freya. Benar, kan, dugaannya. Kesalahan masa lalu itu belum usai. Tidak ada kata maaf untuknya. Selamanya Justin akan menanggung kesalahan itu.

“Tin, lo nggak usah pikirin yang tadi, oke? Buru, buru! Bawa ke mobil!” pinta Danny begitu khawatir. Ia takut Justin kumat. Kevin dan Jayden lantas memapah Justin pergi dari sana.