Masa Lalu Jarvis
Flashback
Tim basket Putra Harapan baru saja turun dari bus sekolah. Mereka langsung disambut heboh oleh si pemilik kandang PORSENI tahun ini. Siswa-siswi berlarian menuju gerbang, tak ingin melewatkan kesempatan bertegur sapa dengan para atlet basket dari sekolah sebelah yang memang sudah langganan jadi primadona setiap pertandingan. Bahkan mereka melupakan tim sendiri yang mungkin tengah menatap iri dari kejauhan.
“Jarvis!”
Orang yang dipanggil baru saja menginjak aspal halaman SMA Taruna Bangsa. Ia menjadi yang terakhir turun dari bus sekaligus orang yang paling dinanti kemunculannya. Siswa yang menjabat sebagai kapten di timnya itu tak pernah absen membuat para gadis menjerit histeris saat tembakan bolanya menembus ring lawan. Dia Jarvis Arkatama, kapten basket SMA Putra Harapan.
Sambil menyampirkan jaketnya di bahu, Jarvis menoleh ke seorang gadis yang memanggilnya. Barisan atlet SMA Putra Harapan ikut terhenti mendengar panggilan tersebut.
“Ini buat lo!” ujar gadis itu sambil mengulurkan sebotol minuman dengan sticky note berwarna neon tertempel di sana. Tanpa ragu, Jarvis menerima lantas membaca sekilas tulisan di sana.
“Oh, makasih,” jawab Jarvis yang bibirnya sudah menggurat senyuman. Kaki gadis itu sontak lemas dan langsung dipapah oleh teman di sisi kanan-kirinya.
“Wah, ada apa ini? Masa ngasih hadiah ke atlet yang jadi lawan sekolah kalian? Parah, nih!”
Pak Angga selaku pelatih tim basket Putra Harapan menimbrung sambil merangkul Jarvis. Cowok itu terkekeh malu mendengar ledekan sang pelatih.
“Ya, soalnya di sekolah kita nggak ada yang seganteng Jarvis, Pak!” timpal salah satu siswi memicu gelak tawa yang makin keras. Tak terkecuali Jarvis yang langsung diserbu oleh anggota timnya dengan berbagai pukulan dan candaan.
“Eh, makasih ya buat minumannya! Gue duluan,” ujar Jarvis sebelum memasuki stadion.
“Eh, Jar! Temen gue ada yang mau ngasih juga. Tunggu dulu!” sergah gadis itu.
Jarvis tampak menimbang. “Gue harus masuk sekarang. Taro aja di kursi gue. Kalo nggak, ketemu habis pertandingan, ya? Sorry banget. Sampe ketemu nanti.”
Sejauh ini, Jarvis jadi kapten teramah sepanjang PORSENI yang nggak pernah ngeluh nanggepin tiap siswa yang kadang cuman cari perhatian. Jarvis tetep ngeladenin orang-orang yang minta foto, menyampingkan napasnya yang ngos-ngosan atau keringat yang ngalir di punggungnya.
Dia bahkan nyiapin satu box khusus yang isinya hadiah atau sticky note yang dia dapetin dari setiap pertandingan. Sejak kecil, Jarvis udah diajarin buat menghargai setiap pemberian kecil yang dia dapetin dari orang lain. Karena nggak semua orang punya kesempatan kaya apa yang dia terima. Orang tua Jarvis udah berhasil ngajarin arti bersyukur ke anaknya.
Dari awal, pertandingan ini udah cukup panas. Tim-tim yang udah jadi langganan bawa piala mendadak diturunin sejak awal. Biasanya, tim-tim yang jadi inceran penonton ini muncul di akhir buat nge-keep penonton biar nonton sampe akhir. Tapi kali ini panitia keknya punya rencana lain. Tim yang biasa menyabet juara satu dan dua bahkan dijadiin pembuka pertandingan.
“Lawan tuan rumah, coy! Ini kita nggak bisa nyepelein karna mereka pasti nggak bakal sudi kalah di kandang sendiri,” ujar Wira yang sedang membaca ulang bagan pertandingan hari ini.
“Malu-maluin banget kalo kita sampe kalah sekarang. Kita bahkan nggak sempet masuk semifinal,” timpal Yasa menambah rasa panik.
“Kenapa lo pada jadi panik? Kita udah biasa ngalahin mereka, kan? Masa gara-gara tanding kali ini di kandang mereka, lo pada langsung ciut?” Sagara yang baru menenggak minumannya ikut menimbrung.
“Ayo ke lapangan! Ngapa pada masih di sini?” Jarvis yang baru menaruh barangnya heran melihat anggota timnya masih bersantai di ruang transit.
“Eh, Jar! Ini kita bisa menang nggak, sih?” tanya Wira.
Jarvis terbahak. “Pertanyaan lo kaya kita nggak pernah menang aja. Usaha dulu, Wir. Soal hasil, itu piala setinggi jerapah pasti bisa kita bawa pulang,” jawab Jarvis penuh rasa optimis.
“Noh! Kalo kapten Jarvis udah bersabda pasti semuanya beres!” Sagara ikut menimpali.
“Tapi lo harus inget, Jar. Seekor singa jantan terlahir buat menjaga wilayah kekuasaannya,” peringat Bisma yang baru selesai mengganti pakaian.
Raut wajah Jarvis berubah serius. Sebenarnya dia juga nervous dengan pertandingan kali ini. Energi kedua tim sama-sama masih penuh. Strategi mereka pasti sudah matang, apalagi disaksikan oleh penghuni kandang sendiri. Mereka tidak akan semudah itu untuk menyerah. Sama seperti yang akan dilakukan Jarvis jika SMA Putra Harapan jadi tuan rumah PORSENI suatu saat nanti.
Jarvis lantas merangkul Bisma. “Tapi singa jantan juga bisa merebut wilayah kekuasaan singa lain. Kita tinggal cari anak singa yang mereka punya.”
Bak terhipnotis, semua anggota tim Putra Harapan terdiam dan mengangguk yakin pada pernyataan Jarvis. Pemain bernomor punggung 8 itu memang terlahir untuk menjadi seorang kapten.
Pertandingan berjalan sebagaimana mestinya. Nggak bisa disebut lancar dari sudut pandang tim manapun. Kedua tim sama-sama beringas mengejar poin. Saling menyusul, berlomba menjadi paling unggul, bahkan satu poin sangat berarti bagi mereka.
Jarvis dan Sagara mendominasi pertandingan. Dibantu oleh Bisma yang sigap melesat ke dekat ring untuk membobol pertahanan. Decitan alas sepatu beradu dengan lantai. Menyiratkan gesit langkah para pemain yang berlomba menjadi si pemenang.
Semakin lama, Taruna Bangsa semakin tertinggal jauh. Cahaya kemenangan yang telah tampak di tim Putra harapan seakan menjadi suntikan semangat para pemain untuk mempertahankan jarak. Sorak sorai penonton makin ricuh. Apalagi ketika wasit beberapa kali meniup peluit tanda pelanggaran yang dilakukan oleh tim Taruna Bangsa. Mereka mulai panik melihat jarak poin yang makin jauh.
Jarvis baru saja menerima operan bola dari Bisma. Ia lantas menggiringnya ke ring lawan. Namun tiba-tiba seseorang mendorong tubuh Jarvis dari belakang dengan keras. Jarvis yang kaget langsung terjerembab dan refleks menyangga tubuhnya dengan tangan. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidup Jarvis.
Krak!
“ARGHHHH!!!”
“JARVIS!!!!!”
Bisma yang berjaga di belakang Jarvis menjadi yang pertama menghampiri Jarvis. Ia jatuh terduduk melihat keadaan tangan Jarvis. Mulutnya gemetar. Bahkan makin bertambah saat seluruh pemain serentak mengerubungi Jarvis.
“P-patah. Tangannya ... patah ....” gumam Bisma yang seluruh tubuhnya sudah merinding. Ia bahkan tak sanggup berdiri untuk menghampiri temannya itu.
Jarvis tidak ingat seberapa besar sakit yang ia rasakan saat itu. Ia berteriak dan menangis melihat tangannya tak lagi lurus. Peluit berbunyi keras tanda pertandingan dijeda. Ia tidak mengingat apapun yang terjadi hari itu. Namun yang paling Jarvis ingat adalah raut merah padam sang pelatih yang berteriak panik mencari pertolongan.
Flashback end
“Gue ngerasa bersalah sama pak Angga, Ris. Selama ini gue udah naruh rasa benci berlebihan ke beliau tanpa cari kebenarannya dulu. Gue kecewa karena nggak pernah percaya sama diri sendiri. Gue udah ngerasa pak Angga nggak pernah salah tapi gue milih nurutin ego yang udah dipermainkan sama keluarga sendiri. Gimana caranya nebus kesalahan gue ke beliau, Ris?”
Rissa hanya bisa menatap Jarvis yang tampak menunduk dan sesaat kemudian ia ikut tertunduk lesu. Selama ini, Rissa bertanya-tanya alasan yang membuat Jarvis begitu benci kepada pak Angga. Sore ini, Jarvis menceritakan semuanya. Tentang Porseni 2020 sebagai saksi patahnya tangan Jarvis dan tentang segala kesalahpahaman Jarvis kepada pak Angga.
“Lo nggak sepenuhnya salah kok, Kak. Sebelumnya lo kan nggak tau. Gue yakin pak Angga juga memaklumi sikap lo selama ini. Mereka tau segalanya, tapi lo nggak. Kalo gue jadi lo, pasti gue juga benci ke pak Angga.”
Jarvis mengusap hidungnya yang masih berair, bekas dari tangisnya beberapa menit lalu. Rissa sigap mengulurkan selembar tisu yang kebetulan selalu tersedia di tasnya. Lelaki itu menerima dengan menggumamkan ucapan terima kasih.
“Pak Angga itu pelatih kebanggaan gue, Ris. Rasa hormat gue ke beliau sama kaya gimana gue menghormati orang tua sendiri. Beliau udah gue anggap kaya bokap sendiri. Apalagi setelah bokap gue nggak ada.”
Rissa menoleh cepat. “Emangnya ... Ayah kak Jarvis ke mana?” tanya Rissa yang spontan membekap mulutnya menyadari pertanyaan bodoh yang baru keluar dari sana.
Jarvis refleks tersenyum. “Gue belum cerita, ya? Bokap gue udah meninggal. Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.”
Rissa membeku.
“Pak Angga sama ayah itu temen deket. Mereka sama-sama atlet. Tapi mereka beda bidang. Ayah atlet sepak bola, pak Angga basket. Inget piala-piala yang ada di ruang tengah pas lo main ke rumah gue?”
Rissa mengangguk cepat.
“Itu punya ayah,” ujar Jarvis penuh kebanggaan. Rissa terperangah takjub. Teringat jumlah piala yang terpajang di sana.
“Keren banget!” puji Rissa.
“Bokap gue cukup terkenal saat itu. Dia bagian dari tim nasional. Tapi herannya, gue malah nurunin pak Angga jadi anak basket, bukan anak bola kaya ayah,” ujar Jarvis sambil terkekeh.
“Kok bisa, Kak???” Rissa ikut heran.
“Dulu waktu gue kecil, gue lebih seneng pas diajak nonton basket daripada nonton bola katanya,” jeda Jarvis untuk tertawa. “Gue selalu nangis kalo turun ke lapangan berumput. Apalagi kalo nggak dipakein sepatu. Dari situ, pak Angga langsung semangat banget ngajarin gue main basket.”
Rissa terbahak membayangkan bayi Jarvis yang menangis karena tidak mau menginjak rumput. “Ayah lo nggak kesel gitu liat anaknya lebih seneng jadi anak orang lain?” ledek Rissa.
“Awalnya iya, tapi mau gimana lagi, anaknya nggak mau.” Rissa makin terbahak. “Lama kelamaan, ayah sadar kalo anaknya nggak harus ngikutin jejak dia. Dia udah seneng liat gue jadi atlet, walaupun gue jadinya keliatan anaknya pak Angga bukan anak ayah gue.”
Jarvis agak terkejut mendengar Rissa tertawa begitu keras. Tawa yang seketika menular kepadanya. Walaupun ia harus menelan dalam-dalam pujian yang ingin ia lontarkan pada Rissa. Cantik, gadis itu cantik dengan senyum lebar terukir di wajahnya.
“Ayah mau gue jadi atlet nasional, ngikutin jejak dia. Gue pun bertekad buat wujudin keinginan ayah itu. Tapi ternyata Tuhan manggil ayah duluan.”
Tawa tadi seketika meredup, berubah menjadi sendu.
“Tapi walaupun ayah udah pergi, dia masih bisa liat gue dari langit kan, Ris?”
Rissa hanya bisa mengangguk. Kedua matanya mendadak perih.
“Makanya gue tetep berusaha mewujudkan keinginan ayah. Beliau emang nggak bisa nemenin gue di sini, tapi gue yakin ayah selalu mengawasi gue dari atas sana.”
Jarvis mendongak. Menatap langit sekaligus membendung buliran air mata yang kembali mendobrak pertahanannya.
“Tapi gue udah kecewain ayah, Ris. Gue berhenti dari basket. Gue berhenti jadi atlet. Dan semua itu karena mamah dan abang gue nggak ingin gue jadi atlet. Mereka bikin gue benci sama basket. Mereka bikin gue benci sama pak Angga. Mereka nggak tau kalo cuman itu yang bisa gue lakuin buat bikin ayah bangga.”
Jarvis merasakan nyeri menembus ulu hatinya. Basket adalah salah satu cara untuk mengenang sang ayah. Saat bermain basket, Jarvis bisa merasakan dukungan sang ayah dari sudut lapangan. Mendengar sorakan pak Angga yang mirip dengan ayahnya. Namun keluarganya seakan memaksa Jarvis untuk menghapus segala jejak sang ayah di hidupnya.
“Huh, kenapa jadi mellow gini ya, Ris?” ujar Jarvis dengan kekehan kecil lantas menoleh ke Rissa. “Lah, lo nangis, Ris?!” Jarvis tampak terkejut melihat Rissa yang sibuk menghapus air matanya.
“Eh, engga, Kak! Ini kelilipan tadi!” balas Rissa panik karena ketahuan.
Jarvis tahu Rissa berbohong. Namun ia tidak akan membahasnya. “Lo suka bakso nggak, Ris?”
“Suka, Kak, suka!” Rissa masih berusaha memaksakan diri untuk menahan air mata. Beberapa kali ia menarik dan mengembuskan napas agar tenang. Jarvis diam-diam mengulum senyum melihat tingkat Rissa yang menurutnya lucu.
“Mau makan bakso nggak? Di sini ada yang enak loh. Dulu gue sering makan bareng pak Angga sama ayah di sana.”
Bola mata Rissa kembali panas. Namun ia langsung mengerjap-erjap agar tidak menangis lagi.
“Tapi gue lagi nunggu ojol, Kak!” kilah Rissa.
“Udah ada yang nyangkut?”
“B-belum, sih.” Rissa yang polos ini tidak bisa berbohong.
“Ya udah nanti pulang sama gue aja. Gimana?”
Rissa memainkan kuku jarinya, membuang rasa gugup. “Ya udah deh kalo kak Jarvis maksa.”
Kedua sudut bibir Jarvis terangkat. Ia lantas beranjak mengajak Rissa menghampiri motornya.