Memori Asing yang Menghilang

Di atas kursi beroda, Justin melambungkan lamunan. Ia amati satu persatu bagian tubuhnya yang penuh bekas luka. Masih berusaha mencerna apa yang sudah terjadi padanya. Justin ingat betul, kemarin dia masih sanggup mengendarai mobil. Namun sekarang? Untuk berdiri saja dia memerlukan bantuan orang lain.

Pemuda itu memerlukan waktu untuk menerima kenyataan bahwa ia baru saja bangun setelah koma selama enam bulan lebih. Justin tentu menyangkal pernyataan itu. Memorinya masih merekam jelas bagaimana ia hidup selama ini.

Memang ada beberapa hal yang Justin lupakan. Hanya saja ia yakin, Justin sudah tumbuh dewasa, dia bahkan hampir berkeluarga. Namun mengapa orang-orang mengatakan umurnya baru saja menginjak tujuh belas tahun? Lalu, di mana ia selama ini hidup?

“Jakarta, Bogor, puncak, Sunnyside, Panti Asuhan Permata Hati, gue bahkan pernah kuliah di luar negeri, gue kuliah di … di … argh, kok gue lupa? Padahal tadi pagi gue masih inget. Astaga, gue kuliah di mana ya?” gumam Justin sambil memijit pelipisnya yang nyeri akibat dipaksa mengingat hal yang mendadak lenyap dalam memori.

Angin sore menerbangkan rambutnya yang gondrong. Justin kembali mendongak. Menatap genangan air berbentuk danau di hadapan. Airnya tampak jernih mengilat silau akibat pantulan matahari yang hampir tengelam. Lamunan kembali melayang. Apakah benar selama ini ia hidup dalam dunia mimpi?

Tawa riang seorang anak kecil mendistraksi imajinasinya. Justin menoleh, memperhatikan seorang anak perempuan yang tampak riang berkejaran dengan orang yang Justin tebak adalah kakaknya. Setelah ditelisik, Justin merasa tidak asing dengan anak perempuan itu.

“Wony?” gumamnya tanpa melepas pandang dari anak yang ia sebut sebagai Wony itu. Justin kembali memejam karena nyeri. Namun matanya kembali terbuka cepat saat seseorang menepuk kedua pahanya.

Kedua manik Justin membulat sempurna. Gadis kecil bernama Wony itu tengah berdiri di tengah kedua kakinya dengan senyum polos dan manis. “Ini cakit?” tanya anak itu sambil menunjuk kaki Justin yang diperban. Telunjuknya tak lupa menekan-nekan paha Justin.

Justin mengulas senyum. “Iya, sakit. Nama kamu siapa?” tanya Justin seraya menepuk pucuk kepala anak itu.

“Ony,” jawab anak itu dengan pelafalan khas anak kecil.

Jantung Justin mengentak keras. Ingatannya tidak salah. Potongan-potongan peristiwa tentang gadis kecil yang menyebut dirinya Ony itu lantas berputar dalam pikiran Justin. Apa yang bercokol dalam memorinya memang pernah terjadi. Justin benar-benar hidup selama enam bulan ke belakang.

“Wony, ngapain kamu di sana? Sini, jangan gangguin kakaknya!” teriak sang kakak dari kejauhan. Gadis kecil itu lantas berlari menghampiri. Namun Justin dibuat membeku oleh kalimat yang diucap Wony sebelum pergi.

“Jangan cakit, kak Tin! Ony mau main pelosotan lagi sama ka Tin!”


Hari semakin gelap. Justin beranjak meninggalkan taman untuk kembali ke ruang perawatannya. Dua tangan yang lemas itu sekuat tenaga mendorong beban tubuh. Namun sepertinya ada sesuatu yang menghambat laju rodanya. Justin mendecak tak bisa meraih batu yang menghalangi jalannya.

“Boleh saya bantu, Mas?”

Justin melihat sepasang kaki bersandal jepit berdiri di hadapan. Pandangannya naik hingga menemukan wajah pemilik kaki itu. Justin melotot. Bahkan bulu kuduknya berdiri serentak. Jantungnya memompa aliran darah panas langsung ke otaknya.

Seorang gadis dengan selang infus yang menempel di tangan membuatnya terkejut. Botol berisi cairan infus terlihat diangkatnya tinggi-tinggi. Rambut panjangnya diikat tak terlalu kencang. Presensi sebuah gadis yang sangat tidak asing untuk Justin.

Tatapan gadis itu tak kalah terkejut. Ia sontak mundur selangkah dengan tatapan tak percaya. Niat baiknya menolong seorang pemuda yang tampak kesusahan dengan kursi rodanya malah membuatnya seperti ditarik ke masa lalu. Masa di mana orang-orang bilang ia tengah terbaring koma.

Bibirnya bergetar, berusaha mengeluarkan apa yang ingin diucap. Namun mendadak kata itu hilang. Kata yang merupakan nama si pemuda. Kini yang tertinggal di ingatan Freya hanya satu kata. “… Mas?”

Kedua manik Justin memanas. Indra pengucapnya bergerak ragu. “C-cantik?”

Keduanya lantas saling memandang tak berkedip. Menggali segala memori yang terasa sedang terhapus satu persatu. Pandangan Justin bergulir ke jari manis gadis itu. Alisnya terangkat saat sebuah bayangan cincin perak samar-sama memudar dari sana.

Freya menatap pergelangan tangan Justin. Awalnya ada sebuah gelang hitam di sana. Namun perlahan gelang itu memudar dan tergantikan oleh tanda pengenal pasien yang melingkar di tangan pemuda itu.

Mereka kembali saling memandang. Pandangan yang awalnya familier seketika berubah asing. Mereka mendadak kehilangan memori yang baru saja terlintas. Semuanya lenyap. Justin dan Freya mendadak tidak saling mengenal.


Freya membantu Justin sampai ke ruangannya yang ternyata bersebelahan dengan miliknya. Justin meminta Freya berhenti tepat di ambang pintu. Freya lantas berpamitan masuk ke ruangannya sendiri. Namun pemuda bernama Justin itu mendadak memanggil.

“Apa kita pernah ketemu sebelumnya?”

Freya lantas berbalik menghadap Justin. Pemuda itu tampak masih kebingungan, tidak beda jauh dengannya. Freya menelan ludah lantas menjawab, “Saya juga mau tanya hal yang sama.”

Keduanya kembali saling terdiam. Saling menyelami pandangan. Menggebukan perasaan yang hampir memudar. Mengais memori yang berterbangan. Dan kembali mengenali satu sama lain.

Justin mendorong kursinya mendekati Freya. Tangan kanannya terulur. “Justin,” ujarnya yang membuat Freya tersentak. Satu memori Freya telah kembali. Ya, benar, nama pemuda itu adalah Justin. “Justin Mahendra,” tambah pemuda itu membuat Freya semakin yakin ingatannya benar.

Freya meraih uluran tangan Justin. “Freya,” jawab Freya membuat aliran darah Justin mendesir panas. “Freya Grizelle.”

Justin termenung. Sebuah perasaan asing meletup di hatinya. Perasaan yang membuat Justin tak mampu menyembunyikan senyum manisnya. Senyum itu pun lantas menular pada Freya.