Menyatukan Kembali Kaca yang Pecah

Travis sampai di arena sebelum Justin datang. Padahal seharusnya cowok itu yang datang duluan. Dia jadi sedikit mengkhawatirkan mobilnya. Apa cowok itu bisa membawanya dengan selamat sampai arena? Bagaimanapun, mobil yang dipakai Justin ia beli dari gajinya selama menjadi pembalap di Jepang. Berbeda dengan mobil lain yang dibeli dengan uang ayahnya.

Sebuah mobil hitam melesat kencang ke arena. Travis menyeringai tipis. Dateng juga. Mobil itu berhenti mendadak di depan Travis yang tengah berkumpul dengan anak gengnya. Asap jalanan langsung mengepul di sana.

Pintu mobil terbuka. Seorang lelaki berkaos hitam keluar dari sana seraya menghela napas panjang. Ia menghampiri Travis sambil tertawa disertai tepukan tangan. “Gokil!” seru Justin tampak kagum dengan mobil pinjaman Travis.

Travis tertawa ringan. “Baru pernah naik mobil mahal?”

Justin menaruh kedua tangannya di pinggang. “Gila sih, mesinnya alus banget, bro!”

“Lo kalo mau cek lintasan dulu silakan. Gue udah barusan.”

Justin menerima tawaran Travis. Ia kembali masuk ke mobil dan masuk ke lintasan balap. Travis menatap cowok itu dengan melipat tangannya di dada. Seseorang datang mendekat dan berdiri di sampingnya. Oh, itu Kevin. Lelaki itu mengangkat dagu untuk menyapa.

“Itu Justin?” tanya Kevin yang sedang menatap arena. Travis mengangguk sebagai jawaban. “Gue kira dia cuman jago keluar masukin mobil dari garasi doang. Lumayan juga skill dia buat pemula.”

Travis terkekeh singkat. “Biasa aja,” ujarnya lalu meninggalkan Kevin untuk masuk ke mobilnya.

Kevin sedikit terkejut dengan respons Travis. Ah, tentunya Kevin harus selalu mengingat fakta siapa Travis yang sebenarnya. Pandangannya mengedar dan menemukan Jayden yang duduk sebuah bar terbuka sambil menatapnya. Lelaki itu langsung memalingkan wajah saat bertemu pandang dengannya. Apa gue harus nyamperin Jayden?


Dua buah mobil hitam berjejer lurus di garis start. Travis tak hentinya meraungkan mesin mobilnya untuk menjatuhkan mental Justin. Namun ia salah. Raungan mobilnya malah dibalas geraman keras dari mobil Justin. Gesekan aspal dan ban membuat lintasan dikepung asap. Suasana mendadak memanas.

Sorak sorai penonton mendominasi ketika seorang gadis dengan bendera dalam genggaman berjalan ke arena dan berdiri di antara dua mobil itu. Ia mengangkat benderanya tingi-tinggi sebelum akhirnya ia jatuhkan pertanda balapan dimulai.

Justin menekan pedal gasnya dalam. Tangan yang sedikit lembab itu menggenggam stir dengan erat. Awalnya ia bisa mengimbangi kecepatan Travis. Namun mobil lelaki itu mendadak melesat kencang meninggalkannya.

Debaran jantungnya meningkat drastis. Mobil Travis sudah melesat jauh di depannya. Kalau begini terus, bisa-bisa ia kalah.

Walaupun Justin yakin ia takkan bisa menandingi Travis, tapi setidaknya ia mampu mengimbangi kemampuan lelaki itu.

Pedal gas semakin dalam ditekan. Tiba dibelokkan, ia memutar stirnya dengan cepat. Geraman keras berseloroh dari mulutnya setelah ia berhasil lolos dari tikungan tajam itu. Mobil Travis kembali terlihat. Kakinya menekan gas semakin kuat.

Kedua mobil itu melaju sejajar. Travis tertawa sebab ia memang sengaja mengurangi kecepatan untuk menunggu Justin. Cahaya lampu jalanan yang menyinari wajah tegang Justin membuat perutnya makin tergelitik.

Travis memutar stir mobilnya hendak merapat ke mobil Justin. “Bangsat!” teriak Justin dari dalam mobilnya. Ia melepas pedal gas dan sedikit mengerem untuk menghindari gesekan. Namun nyatanya itu hanya tipuan dari Travis. Lelaki itu kembali membanting stir ke arah berlawanan dan melesat jauh.

“Goblok!” seru Travis di tengah tawaannya saat berhasil menipu Justin. Garis finish ada di depan mata. Ya, Travis pun memenangkan lintasan.


“Lo curang anjir!” protes Justin saat keluar dari mobilnya.

“Itu bukan curang, tapi strategi,” balas Travis yang masih geli dengan balapan tadi.

“Udahlah, bro. Terima aja kekalahan lo. Sopir noob kaya lo mana mungkin ngalahin pembalap profesional,” timpal Kevin lantas merangkul Justin dan mengacak rambut lelaki itu. Justin yang risi sontak mendorong Kevin menjauh.

“Jadi gimana taruhannya?” ungkit Travis.

Justin menatap Kevin sejenak. “Ikut gue bentar,” ujarnya pada Travis lalu melenggang pergi. Travis menaikkan kedua alisnya bingung namun tetap mengikuti Justin.


“Gue belum siap Freya tahu soal kepindahan gue. Ada waktunya dia tau soal ini. Tapi bukan sekarang. Jadi gue mohon sama lo, biarin gue aja yang kasih tau ke Freya.”

Mata bulat Travis menyipit. Kedua tangannya dimasukkan ke saku sambil menimbang tawaran Justin. “Apa gantinya?”

“Terserah. Lo mau minta apapun gue berusaha penuhin. Tapi jangan kasih tau Freya soal ini.”

Travis mengangguk kecil tampak memikirkan sesuatu yang bisa menggantikan taruhan. Ia menyuruh Justin untuk mendekat dan membisikkan sesuatu di telinganya.

“Mana bisa?!” sela Justin tiba-tiba.

“Gue nggak akan gunain kesempatan itu sekarang. Tapi nanti kalo emang dia butuh.”

Justin menghela napas kasar. “Iya dah. Semoga aja dia nggak butuh.”

Travis tersenyum puas lalu mengulurkan tangannya. “Deal?”

“Deal,” sahut Justin sambil menjabat tangan Travis.

“Oh, iya, lo nggak mau selesain masalah geng lo?” tanya Travis membuat Justin mengerutkan keningnya. “Kebetulan mereka ada di sini semua.” Travis lalu menunjuk kerumunan. “Itu Jayden.” Telunjuknya beralih ke pojok arena “Itu Danny.”

Justin dibuat terperangah. Bagaimana Travis bisa menemukan keberadaan teman-temannya di antara gelapnya malam dan banyaknya orang?

“Kevin juga ada di sini. Lengkap kan, Sweet Escape?” Travis menepuk bahu Justin. “Selesaikan sebelum geng lo bener-bener bubar. Karena Sun Rose nggak mungkin bisa gantiin Sweet Escape.”


Empat orang lelaki duduk terlarut dalam pikiran mereka masing-masing. Mereka berkumpul di bekas markas yang mungkin akan melepas status bekasnya kalau mereka bisa menyelesaikan masalah malam ini. Namun entahlah, beberapa menit berkumpul tidak ada yang berinisiatif memulai percakapan.

Jayden merasa terpojokkan. Ia tahu dirinya yang menjadi penyebab retaknya hubungan mereka. Justin sudah berbesar hati untuk mengajaknya bertemu. Seharusnya ia yang memulai percakapan.

Danny tampak enggan menatapnya. Lelaki itu bahkan menarik kursi menjauh darinya. Justin tampak menunduk. Sedangkan Kevin sesekali meliriknya dan tersenyum tipis.

“Gue minta maaf.” Ketiga lelaki selain Jayden mendongak bersamaan. Menatap Jayden yang kini tak mampu mengangkat kepalanya. “Gue tau gue salah, salah banget nggak kasih tau lo bertiga soal gue gabung ke Black Rose. Tapi jujur, gue bukan sengaja gabung sama mereka. Tapi gue udah terlanjur terikat perjanjian sama Noir. Makanya gue nggak bisa nolak pas dia minta gue gabung ke gengnya.”

Tak ada sahutan dari yang lain. Jayden menganggap itu sebagai pertanda mereka masih menunggu penjelasannya lagi. “Soal gue minta bantuan ke Noir, itu bener. Gue emang minta bantuan dia pas bokap gue sakit. Gue nggak minta bantuan ke lo bertiga, terutama Danny, karena pas itu lo semua lagi ribet sama masalah Justin.

Gue tau pas itu masalah Justin cukup berat. Makanya gue nggak mau nambah beban kalian dengan masalah keluarga gue. Gue nggak punya cara lain. Akhirnya gue minta bantuan Noir dengan syarat gue harus turutin permintaan dia sewaktu-waktu dia minta sesuatu.”

Alis Justin sedikit terangkat. Oh, Travis memang suka menaruh bibit perjanjian yang bisa ia tuai di kemudian hari. Seperti yang baru saja lelaki itu lakukan padanya.

“Pas tau geng kita udah nggak pernah ke arena, Noir minta gue buat gabung ke gengnya. Gue nggak bisa tolak. Dan waktu Justin balapan sama Noir, sorry, gue jadi bawa-bawa Freya. Gue nggak tau lagi mau ngelakuin apa biar Justin ke arena. Gue nggak bisa mikir jernih. Di lain sisi gue ditekan sama Noir. Sorry banget, gue tau kesalahan gue bener-bener fatal.”

Terdengar helaan napas kasar dari Danny yang membuat Jayden mendongak lalu menunduk kembali. “Tapi gue nggak pernah mata-matain Justin sama Freya buat Noir. Demi Tuhan, gue nggak bohong.”

“Iya, Den, gue tau. Noir udah cerita semuanya ke gue,” sahut Justin yang akhirnya berbicara. “Gue maafin. Sorry ya waktu itu gue nggak sempet dengerin penjelasan lo dulu.”

Jayden tampak terharu. Ia lantas mengangguk dalam. “Gue nggak masalah. Makasih udah maafin gue,” jawab Jayden yang dibalas senyuman oleh Justin.

“Gue juga minta maaf ya, Den. Waktu itu gue nggak nanya apapun sama lo,” ujar Kevin.

“Gapapa, Vin. Thanks selama ini lo masih mau chat gue,” ujar Jayden yang tampak sedikit demi sedikit mendapat energi lagi.

“Sama-sama,” sahut Kevin.

Kini semua tatapan beralih pada Danny yang masih diam. Ketiganya dapat melihat bola mata Danny yang memerah. Entah mengapa suasana berubah jadi tegang dan hening. Danny lalu menegakkan tubuhnya dan menyangga tubuhnya di lutut.

“Gue … ngerasa nggak berguna jadi temen. Nggak bisa bantu lo pas lo butuh. Sampe-sampe lo harus minta bantuan ke orang lain yang nyatanya musuh kita. Se-nggak berguna itu gue di mata lo, Den?”

“Nggak kaya gitu maksud gue. Lo lagi ribet sama masalah lo sendiri, sama masalah Justin. Gue nggak mungkin nambah pikiran lo.”

“Tapi setidaknya lo kasih tau gue. Sejauh apa sih kita sampe cerita pun lo nggak bisa?”

Jayden tertunduk. “Sorry.”

“Udah, udah, kita di sini buat nyelesain masalah bukan buat nambah masalah. Kalo mau nambah, nambah kopi aja. Justin yang bayar,” timpal Kevin yang sukses menghancurkan suasana tegang dan haru yang tercipta.

“Kok gue sih?! Lo lah!” sahut Justin sewot.

Pertengkaran dua lelaki itu cukup membuat Jayden dan Danny menahan senyumnya. Pandangan Danny lalu beralih ke Jayden. “Sorry ya Den,” ujar Danny membuat Jayden mendongak cepat. “Sorry waktu itu gue nggak bisa bantu lo. Sorry juga karena gue nggak dengerin penjelasan lo dan milih ngeluarin lo langsung dari geng.”

Jayden menggeleng dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Nggak perlu minta maaf, Dan. Makasih udah maafin gue.”

“Ngapa lo yang nangis sih, Vin? Nggak jelas!” ujar Justin menemukan Kevin yang sudah berurai air mata.

Ya, begitulah cara mereka menyelesaikan masalah. Dengan sebuah kejujuran dan keterbukaan, Sweet Escape dapat berkumpul kembali seperti sedia kala.