Pamit

image

“Gue mau pergi, Fre.”

Tuhan melukis langit dengan cat biru terang. Beberapa kapas putih ditempel acak membentuk awan yang melindungi dua anak adam yang duduk di pinggir danau dari teriknya sang surya. Kamera yang awalnya sibuk memotret diturunkan. Dua pasang netra itu saling memandang dalam hening.

“Ke Bogor? Katanya sore, ini masih siang.”

Justin menekuk kakinya lalu dipeluk. Memandangi kubangan air bervolume besar di hadapannya dengan pikiran melayang entah ke mana. Di dalam sana, mereka sibuk merangkai kata demi kata yang akan terucap untuk gadis di sampingnya. Menimbang segala reaksi dan resiko yang akan ia dapat setelahnya.

Pemuda itu tampak menggeleng lemah. “Ke luar negeri.”

“Oh, mau liburan? Atau ada urusan lain?”

Hati pemuda itu makin tergores. Ini benar-benar akan menyakiti perasaan gadisnya. Haruskah ia pendam lagi sampai hari di mana ia pergi tiba? Bukankah lebih baik merasakan sakit sehari daripada harus berlarut jauh-jauh hari?

Namun Justin paham itu bukan cara yang terbaik. Ia ingin pamit dengan pantas. Ia ingin meninggalkan Freya dengan berbekal segudang cerita indah yang terkenang abadi dalam jiwa. Ia ingin rasa gelisahnya turut dirasakan gadisnya. Terdengar jahat mungkin, ia ingin Freya turut merasakan luka yang akan segera terjadi.

“Gue mau pindah. Gue tinggal di sana.”

Entah Freya yang memang tidak paham atau menolak paham. Gadis itu hanya menatap Justin yang tak meliriknya sama sekali. Netra pemuda itu tampak semakin merah. Menular ke maniknya yang mendadak perih.

“Kenapa?”

“Gue ingin lepas dari segala hal yang pernah terjadi di sini. Gue ingin melupakan semuanya.”

“Termasuk gue?”

Tak ada kata yang bisa terucap. Hanya helaan napas penghilang sesak yang terdengar dari mulut pemuda itu. Ia ingin sekali menoleh. Namun ia seakan dikelilingi oleh dinding tinggi yang mengurung diri. Kepalanya bahkan terasa sangat berat hanya untuk memandang wajah Freya.

Freya tak dapat mengalihkan pandangan dari Justin. Rasa sesak mulai menyeruak. Menembus paru-paru lantas merayap ke tenggorokan. Napasnya tercekat. Bahkan untuk menelan saja susah. Ia belum tahu pasti arah pembicaraan Justin. Namun ia yakin ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

“Gue nggak mungkin bisa lupain lo.”

“Lo bilang semuanya berarti gue termasuk. Pake bahasa Indonesia lo dengan baik. Jangan buat gue bingung.”

“Semuanya, kecuali Freya.”

Sang gadis membuang wajah ke arah lain. Ia mendongak untuk menghalau air mata yang hampir menetes. Tak ada kalimat yang terucap membuat Justin menoleh. Melihat Freya yang berusaha maksimal untuk menghapus air mata yang menderas membuat hatinya perih.

“Katanya lo udah sembuh. Katanya lo udah nggak mikirin itu lagi. Katanya lo udah lupain semuanya. Kenapa lo masih aja pergi dari gue?” ucap Freya dalam satu tarikan napas supaya tak terpotong oleh isakannya. “Lo bohong sama gue?”

Justin mengambil napas panjang. Rambut poninya ia sigar ke belakang. “Ada banyak hal yang nggak kita ketahui di dunia ini, termasuk bagaimana semesta itu bekerja. Ada banyak rahasia yang disimpan Tuhan pada diri masing-masing individu. Rahasia yang hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu. Rahasia yang mungkin sampai kapanpun akan menjadi rahasia. Karena nggak semua yang ada di dunia ini perlu dibicarakan.”

Senyum getir terukir di bibir Freya. Pemuda ini belum sembuh dari lukanya. Hanya itu yang bisa ia simpulkan. Selama ini usahanya belum cukup untuk menghapus segala duka yang pernah terjadi. Harus apa lagi? Adakah cara yang benar-benar ampuh untuk menghilangkan kelamnya malam itu?

Merelakan Justin pergi? Apakah itu cara yang tepat? Lalu untuk apa perjuangannya selama ini jika pada akhirnya mereka tetap berpisah?

“Kapan lo pergi?”

“Kurang lebih sebulan lagi.”

“Lo udah janji nggak akan ninggalin gue lagi.”

“Gue akan kembali saat semuanya udah selesai.”

“Kapan?”

Hanya kicauan burung yang mampu menjawab. Keduanya kembali tenggelam pada lamunan masing-masing. Mengusap air mata yang sesekali datang. Justin pikir Freya akan menangis, seperti malam ketika ia memutuskan hubungan berjangka sebulan itu. Ia sudah siap mengatakan beribu kata penenang itu gadisnya.

Namun yang ia dapat adalah sebuah pelepasan penuh ikhlas yang nyatanya terdengar lebih sakit dari tangisan gadis itu.

“Gue akan tunggu kepulangan lo. Jangan lama-lama. Freya udah kangen.”

Maka ia bawa kepala Freya untuk bersandar di pundaknya. Lengan kirinya melingkar di punggung gadis itu sambil mengusap lembut. Siang hari itu, tak ada lagi kata yang terucap. Kedua insan itu saling bungkam. Membiarkan anak sungai tercipta di wajah mereka dalam kebisuan.


Justin mengantar Freya kembali ke kos. Mereka berdiri saling menatap, enggan untuk berpisah. “Gue masih perlu ngurus beberapa berkas buat pindah. Mungkin makan waktu yang nggak sebentar. Kita masih bisa ketemu beberapa minggu lagi. Lo juga bisa chat gue kapanpun lo mau.”

“Pasti. Gue bakal chat lo tiap menit.”

Pemuda itu mengulas senyum. “Gue juga akan bales tiap menit.”

“Kabarin gue apapun yang terjadi. Kabarin gue kapan lo akan flight. Gue mau nganter lo ke bandara.”

“Iya, lo harus jadi orang terakhir yang gue liat di Indonesia.”

Keduanya saling melempar senyum. “Mau peluk?” tawar Justin yang diangguki Freya.

Pelukan yang erat. Terasa sesak namun takkan bisa menandingi sesaknya perpisahan yang akan terjadi. Justin memejam. Memorinya merekam setiap rasa yang tercipta dalam pelukan itu. Kehangatan, kenyamanan, ketenangan, dan tentu saja, sesak. Rasa ini akan terekam abadi dalam jiwa.

Freya menghirup napas dalam-dalam. Merasakan setiap zat pembentuk aroma dari tubuh Justin yang sebentar lagi tak dapat ia hirup lagi. Merasakan kelembutan kaus yang dipakai Justin. Merasakan detak jantung pemuda itu yang selalu berdetak cepat, sama seperti miliknya. Detak yang selalu berhasil melawan gundah dalam hati. Detak yang akan ia rindukan. Detak milik Justin.

Pelukan itu berakhir. Dengan langkah berat, Justin masuk ke mobilnya. Dua pasang roda mobil itu bergulir meninggalkan pelataran tempat Freya bernaung.

Freya melambai dengan memaksakan senyum di bibirnya. Saat mobil Justin hilang di persimpangan, tubuhnya meluruh ke bumi. Menumpahkan segala sesak yang ia tahan sedari tadi. Alih-alih merasa lega, yang Freya dapat justru rasa sesak yang terus membuncah.

Dari balik stir mobilnya, Justin melepas air matanya. Ia tahu Freya menahan semuanya. Ia tahu gadis itu sekarang tengah bertarung dengan sesaknya. Justin beberapa kali memukul stir mobil untuk melampiaskan rasa sesak di dadanya.

Maaf telah membuatmu jatuh untuk kesekian kalinya. Maaf lagi-lagi harus menghadirkan getirnya sebuah perpisahan. Namun jangan khawatir. Ini adalah yang terakhir. Setelahnya, tak ada lagi luka, duka, dan perpisahan. Aku akan menepati sumpahku untuk tidak lagi meninggalkanmu. Kau bisa, kan, tunggu aku sebentar lagi?

image