Panggilan dari Masa Lalu
“Mbak Freya, ya?.”
Freya tersentak. Ia lantas berdiri menyambut seorang wanita yang berdiri di sebelahnya. “Tante,” sapa Freya sambil bersalaman dengan ibu Justin. Tak lupa punggung tangan wanita itu ia kecup sebagai bentuk penghormatan.
“Panggil ibu saja,” sahut Wina sembari menepuk halus bahu Freya. “Ibu boleh duduk?”
“Boleh, boleh, Tan, m-maksud saya, ibu?” ujar Freya ragu. Jantungnya sudah bertalu keras. Dia hanya masih tidak percaya ia benar-benar bertemu dengan Ibu Justin di sini. Terlalu mendadak, itu yang dirasakan Freya. Setelah ia melihat Justin berpelukan dengan cewek lain, tiba-tiba ia harus bertemu dengan ibunya. Rasanya aneh.
“Sudah lama di Bogor, Mbak?”
“Sudah, Bu. Dari hari pertama libur semester, saya langsung pulang ke Bogor.”
“Oh, iya, ibu denger kamu kuliah di UI ya? Pinter ya mbak.”
“Eh, enggak, Bu,” balas Freya lantas tertawa canggung.
Ibu Justin tersenyum. “Sudah pesan makan?”
“Anu, belum, Bu.”
“Ehh, kok belum? Pesan dulu ayo. Mbak! Mbak! Saya minta daftar menunya ya!” ujar ibu Justin lantas mengangkat tangan memanggil pelayan. Seseorang datang sambil membawa lembaran daftar menu makanan di sana. “Pesan dulu ayo. Nanti ibu yang bayar. Ayo, mbak!”
“Anu, bu, nggak usah, saya bayar sendiri-”
“Ehh kok gitu? Udah, ndak usah malu. Kamu mau apa? Ini, pilih yang kamu suka.”
Freya menerima daftar menu itu dengan ragu. Duh, canggung banget rasanya. Tapi nggak enak juga kalo nolak. Lagian, ibu Justin kenapa baik banget sih? Rasanya Freya jadi mau nangis. Andaikan dia punya ibu sebaik ibu Justin. Pasti selama ini Justin bahagia banget punya ibu kaya beliau.
“Makasih, Bu.”
“Ibu ajak Freya ketemu di sini karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan.” Freya menahan napas. “Mas Danny sudah bilang sesuatu ke kamu?”
Freya berdeham. “Belum, bu. Danny cuman bilang ibu mau ketemu sama saya aja.”
Ibu Justin mengaitkan kedua telapaknya di meja. Menatap lurus tepat di bola mata Freya. Bibirnya bergerak ragu, mencari sebuah kalimat yang tepat untuk memulai percakapan. Sedang gadis yang ditatap tampak menahan napasnya. “Ibu mau bicara soal Justin.”
Dada Freya berdesir hebat. Dia memang sudah menebak bahwa arah pembicaraan mereka takkan jauh dari Justin. Namun ia tak bisa menebak apa yang akan ibu bicarakan tentang Justin. Apakah ini ada kaitannya dengan sikap Justin yang mendadak memblokir semua akun sosial medianya dan … berpelukan dengan gadis lain? Atau … tentang masa lalu …?
“Sebelumnya, ibu mau meminta maaf untuk kesalahan Justin yang buat Freya jadi kehilangan kakak. Ibu sadar, ibu dan keluarga belum meminta maaf secara resmi dengan keluarga Freya. Mungkin kalau keluarga Freya berkenan, ibu ingin bertemu dan … meminta maaf atas segala kesalahan yang sudah dilakukan Justin pada keluarga Freya.”
Freya terhenyak. Ia dapat mendengar suara ibu Justin yang bergetar. Setiap kalimat yang beliau ucapkan terasa berat, seperti menahan beban berat yang membelenggu. Entah sudah berapa lama Ibu Justin menanggung beban tersebut. Yang pasti, Freya dapat merasakan kalau beliau adalah wanita yang kuat dan tegar.
“Justin memang sudah mendapat hukuman yang setimpal. Namun ibu rasa itu belum cukup kalau belum mendapatkan maaf dari keluarga Freya. Jadi, ibu sebagai orang tua Justin benar-benar meminta maaf untuk kesalahan anak ibu yang mungkin sulit untuk dimaafkan,” ujar ibu Justin diakhiri dengan sebulir air mata yang mengalir.
“Bu …,” lirih Freya tampak panik lantas merogoh tasnya untuk mengambil tisu. “Saya ada tisu. Silakan, Bu,” ujar Freya lantas meletakkan sebungkus tisu di hadapan ibu Justin. Wanita itu tampak mengambil selembar seraya melempar senyum lembut.
Sejujurnya Freya benar-benar bingung sekarang. Bukan, ia bukan bingung karena tidak bisa menjawab pertanyaan ibu Justin. Ia hanya khawatir karena pembahasan ini sepertinya sangat menyakiti perasaan wanita itu. Freya harus mencari kalimat yang tepat agar tidak semakin menyakitinya.
Lagi pula, masalah itu sudah berlalu lama. Freya merasa semuanya sudah selesai dan tidak perlu dibahas lagi.
“Bu, saya udah maafin kesalahan Justin sejak dulu. Jadi ibu nggak perlu pikirin lagi. Dan untuk meminta maaf pada keluarga saya, sepertinya nggak perlu, Bu. Karena saya yakin keluarga saya pun sudah memaafkan Justin.”
“Terima kasih, Mbak Freya. Namun ibu merasa perlu untuk bertemu dengan keluarga Freya. Karena ini untuk kesembuhan Justin.”
Alis Freya bertaut. “Kesembuhan Justin? Memang Justin sakit apa, Bu?” tanya Freya was-was. Jujur, dia takut mendengar jawabannya.
“Justin punya trauma. Kemarin, dia sudah menjalani terapi. Tapi hasilnya belum maksimal.”
“T-trauma? Trauma kenapa, Bu?”
Ada jeda yang diambil Wina sebelum melanjutkan kalimatnya. “Karena masa lalunya. Dia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri, Mbak.”
Hening tiba-tiba mendominasi. Freya sampai bisa mendengar degup jantungnya yang berdentum keras. Masa lalu? Maksudnya masa lalu itu? Sesuatu yang sedari tadi mereka bahas? Sebuah peristiwa yang membuat hubungannya dengan Justin mendadak kandas?
“Justin sudah beberapa kali masuk rumah sakit karena trauma tersebut. Dia juga rutin minum obat dan datang ke psikiater. Semuanya sudah membaik. Tapi …,” jeda Wina sejenak. Freya menyimak tanpa berkedip. “Setelah Justin ketemu kamu, kondisinya kembali memburuk. Semuanya karena setiap melihat kamu, Justin jadi teringat dengan kesalahannya. Itu yang membuat kondisinya terus memburuk.”
Freya merasakan hening yang begitu kuat menembus telinganya. Dadanya terasa sesak lalu matanya panas. Sesak, ia merasakan nyeri yang luar biasa di dada. Otaknya kembali memutar pertemuan-pertemuannya kemarin dengan Justin yang ternyata … menyiksa lelaki itu?
“Ibu ndak menyalahkan kamu. Ibu tahu kalau Justin ndak pernah cerita tentang ini. Tapi ibu mohon, jangan temui Justin dulu, ya? Semuanya demi kesehatan Justin.”
Jiwa Freya sudah runtuh seluruhnya. Ia tak menyesali permintaan ibu Justin untuk menjauhi anaknya. Namun ia menyesali ketika selama ini ia terus berusaha menemui Justin. Bahkan ketika lelaki itu telah berusaha menghindar, dengan tak tahu diri Freya terus mengejar. Saat itu, mungkin Justin tengah menahan luka. Namun yang ia lakukan malah menabur garam di luka itu.
“Tapi ibu juga minta tolong sama kamu.” Freya mengedip untuk menghapus pandangannya yang mengabur. Ia usap cepat-cepat jejak air mata itu. “Tolong, yakinkan Justin kalau kamu sudah memaafkan kesalahannya di masa lalu. Karena hanya itu cara Justin untuk bisa lepas dari traumanya. Selama ini, Justin masih menganggap kamu belum ikhlas dengan apa yang dia perbuat. Namun, jangan temui Justin dulu. Kamu bisa bantu ibu kan, Mbak Freya?”
Pikiran Freya mendadak kosong. Ia harus meyakinkan Justin, tapi dia tidak boleh bertemu? Lalu bagaimana ia bisa meyakinkan lelaki itu? Semua akses ke Justin bahkan sudah diblokir. Dia bisa apa?
Namun tidak mungkin ia menolak permintaan Ibu Justin. Wanita penuh kelembutan itu sudah rela bertemu dengannya hanya untuk meminta maaf. Ia harus bisa menyanggupi permintaan ibu Justin.
“Iya, Bu. saya akan bantu.”
Jawaban Freya mengakhiri pertemuannya dengan Ibu Justin. Wanita itu lantas berpamitan pulang. Beliau sebenarnya menawarkan tumpangan untuk Freya. Namun Freya menolak dengan alasan masih ada urusan di sini. Padahal dia hanya ingin menenangkan diri.
Ia meghempaskan punggungnya di sandaran. Lemas, ia bahkan tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Semua ini datang terlalu tiba-tiba dan berlalu begitu cepat. Ada beban berat tertinggal di pundaknya. Sisa-sisa jiwanya perlahan melayang di udara, diiringi oleh derai air mata yang menderas.
“Fre,” panggil seseorang membuat ia menoleh. Danny, ia berdiri di sana dengan mengenakan jaket kebesaran putih dengan dalaman hitam serta topi hitam yang bertengger di kepalanya. “Gue yakin lo bisa. Lo, adalah perempuan yang kuat, Fre. Gue akan bantu sebisa gue,” ujar Danny berusaha menenangkan.
Tangis Freya semakin pecah. Entah dorongan dari mana, Danny beranjak mendekat dan membawa gadis itu dalam rengkuhannya. Freya meraung dalam dekapan Danny. Jaket lelaki itu ia remas. Menyalurkan betapa sesaknya rasa yang bercokol di dada.