Pecahnya Sebuah Kaca
Danny mengendarai motornya kencang. Dadanya sesak oleh emosi yang tak tertahankan. Jayden, sahabatnya itu adalah orang yang paling dekat dengannya, paling ia percaya dari Justin dan Kevin. Hampir semua masalah hidupnya Jayden tahu. Bahkan tentang kematian Della yang disebabkan oleh Justin, Jayden adalah orang pertama yang tahu soal itu.
Dan apa yang terjadi sekarang? Jayden menjadi orang pertama yang mengkhianatinya. Dari dulu, Danny selalu denial. Menyangkal prasangka buruknya yang mengatakan ada yang tidak beres dengan Jayden. Dia berpikir, Jayden akan menceritakan semua yang terjadi padanya, seperti yang ia lakukan. Namun ternyata Danny salah.
Namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih berharap kalau orang yang dilihat Kevin itu bukan Jayden. Lelaki itu tidak mungkin benar-benar mengkhianatinya.
Harapannya pupus. Jayden benar-benar ada di sana. Bercengkrama dengan orang-orang berjaket hitam dengan motif bunga mawar terbakar di punggung mereka. Oh, bahkan Jayden menggunakan jaket yang sama. Dalam arena, jaket berfungsi sebagai identitas para pembalap. Jadi, laki-laki itu sudah mendedikasikan dirinya untuk Black Rose ya?
Danny memarkirkan motornya sembarang. Melepas helm serta menyibakkan rambut poni. Danny hendak melangkah mendekat. Namun salah satu orang di sebelah Jayden terlebih dahulu menepuk bahu Jayden sehingga lelaki itu berbalik dan menemukan keberadaannya.
Obsidian Jayden membulat penuh. Tepat beberapa langkah di belakangnya, Danny berdiri dengan dua telapak yang tersimpan di saku jaket. Ia refleks turun dari motornya. Sial, bagaimana Danny bisa di sini? batin Jayden.
Jayden melangkah ragu, mendekati Danny yang tak bergeming di sana. Kini, hanya bersisa jarak satu langkah di antara mereka. Jayden menatap lurus iris Danny yang berkabut amarah.
“Dan … lo ngapain di sini?” tanya Jayden tergagap.
“Jaket siapa yang lo pakai?” sergah Danny membuat dada Jayden menyentak keras.
“Anu ….”
“Lo mau khianatin gue?” potong Danny tanpa menunggu jawaban dari Jayden.
Yang ditanya menelan ludahnya susah payah. Tak ada celah untuk berkilah. Jayden sudah tertangkap basah. Sekarang ia harus siap menanggung resiko dari kebohongan yang sudah ia bungkus rapi. Salah satunya saat Danny tiba-tiba melayangkan pukulan keras ke perutnya.
Rasa sakit yang luar biasa menguar dari sana. Jayden jatuh bersimpuh sambil memegangi perutnya.
“Berdiri!” gertak Danny mengagetkan seluruh pembalap yang tengah berkumpul di Sentul. Semua perhatian langsung tertuju pada mereka.
Susah payah Jayden berdiri sambil menahan pegal tepat di bawah tulang rusuknya. Ia meringis menatap mata Danny yang makin berkilat amarah. “G-gue nggak maksud khianatin lo,” rintih Jayden yang makin menyulut amarah Danny. Kerah jaketnya ditarik lelaki itu.
“Lo … adalah orang yang paling gue percaya. Tapi, KENAPA LO LAKUIN INI?” teriak Danny di wajah Jayden.
“DANNY!” Terdengar teriakan dari belakang Danny. Ia bisa menebak itu adalah Kevin dan Justin yang datang menyusul. Jadi sebelum mereka melerai, Danny kembali melayangkan pukulan ke wajah Jayden.
“WOI DAN UDAH!” Justin berlari makin kencang dan langsung menahan temannya itu. “Udah, sabar dulu,” ujarnya menenangkan.
“Lo bantu dia, gue pukul juga lo, Vin!” Kevin yang hendak menghampiri Jayden langsung terhenti. Ia bingung. Jayden butuh pertolongannnya. Namun ia tidak mau memperkeruh suasana hati Danny. Ia pun melangkah mundur saat Justin menyuruhnya menurut ucapan Danny.
Raungan mesin mobil yang menyalak keras mengagetkan ketiganya. Sebuah mobil lamborghini berwarna hitam mendekat. Cahaya menyilaukan dari dua lampu depannya membuat keempat lelaki di sana menyipit. Pintunya terangkat ke atas. Muncul seorang lelaki berperawakan tinggi menjulang dari sana.
Lelaki itu berdiri di samping Jayden dengan jaket yang menyampir di bahunya. “Ada apa ya?” ujar lelaki itu dari balik maskernya. Ia melirik Jayden yang berusaha berdiri lalu mengulurkan tangannya untuk membantu. “Kenapa lo mukul anak buah gue?”
Danny dan yang lain terkejut mendengar pengakuan lelaki itu. Tak perlu susah payah mengingat, mereka jelas tahu siapa orang ini. Noir, ketua geng Black Rose.
Noir melepas maskernya. Ia melingkarkan tangannya di bahu Jayden. “Dia anak buah gue yang paling setia. Udah lumayan lama. Hmm, mungkin hampir setahun?” Sebuah seringaian tipis terukir di bibir Noir melihat tiga pasang mata di depannya membulat.
Setahun? Kalau diingat lebih jelas, setahun lalu adalah hari di mana Sweet Escape berkomitmen untuk tidak kembali ke arena. Dan nyatanya, Jayden sudah melanggar sejak komitmen itu dibuat. Bahkan masuk ke geng lawan.
Noir belum puas untuk memanas-manasi tiga lelaki di depannya. “Banyak yang udah dia lakuin. Sebenernya nggak terlalu keliatan. Karena tugas dia jadi mata-mata gue.”
Hening. Bahkan balapan yang tengah berlangsung di arena mendadak dihentikan untuk melihat apa yang terjadi di antara Noir dan anak geng yang sudah lama tak terlihat di arena. Mungkin mereka terlihat tenang. Namun sebenarnya mereka tengah bertarung pada gejolak emosi masing-masing.
Noir melangkah mengitari mereka yang masih mematung. Ia berhenti di sebelah Justin. “Freya, gue tahu semua yang dilakuin cewek itu, karena dia,” ujarnya sambil menunjuk Jayden. Justin terbelalak dan langsung menatap temannya.
Ia kembali melangkah menghampiri Danny. “Gue nggak minta dia gabung, dia yang dateng sendiri ke gue karena temen-temennya nggak bisa bantuin dia lagi,” ujar Noir membuat Danny mengeratkan genggaman tangannya.
Tiba di orang terakhir, Noir menepuk bahu Kevin. “Masih ingat malam pas gue balapan sama Justin? Siapa yang bikin Freya jadi taruhan? Lo pasti tau, kan, Vin?”
“Siapa?”
Terdengar sahutan dari arah lain. Justin menatap tak berkedip Noir yang berjalan kembali ke sisi Jayden dengan kekehan ringan. Lelaki itu lantas menepuk bahu Jayden berkali-kali. “Jayden, anak buah gue yang paling handal.”
Justin tak bisa menahan emosinya lagi. Ia menghentakkan langkahnya menghampiri Jayden namun langsung ditarik mundur oleh Kevin dan ditahan oleh Danny yang menepuk dadanya. Rahangnya mengeras dengan gertakan gigi kuat menahan gejolak panas dalam diri.
“Sebenernya malam itu gue nggak mau terima tantangan lo. Tapi Jayden maksa gue buat dateng. Padahal waktu itu gue masih ada urusan di Jepang. Katanya, lo harus dapet balasan dari apa yang udah lo lakuin ke Danny di masa lalu. Tapi untungnya malem itu lo selamat. Kalo engga, mungkin dendam Jayden udah terbalaskan. Oh, mungkin dendamnya Danny juga?” ujar Noir dengan senyum penuh kemenangan.
Justin membasahi bibir bawahnya. Tawanya menghambur singkat dibarengi dengan gelengan kecil menolak percaya pada apa yang dikatakan Noir. Justin tentu paham maksud dendam yang dibicarakan Noir. Ia berusaha maklum, tapi batinnya terasa sangat sakit.
Danny menahan lengan Justin agar menghadapnya. Tidak, semua yang dikatakan Noir tidak benar. Ia tak pernah menyuruh Noir untuk bertaruh dengan Justin untuk membalaskan dendamnya. Semua ini salah paham.
“Tin, dengerin gue. Gue nggak pernah minta dia buat balapan sama lo,” ujar Danny meyakinkan. Namun Justin sepertinya tak mau mendengar. Ia menyuruh Danny untuk mengambil jarak darinya.
Justin menatap Danny dan Jayden bergantian. Pandangannya beralih pada Noir yang tampak puas sudah membongkar semuanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman miris. Ia melangkah mundur dan pergi dari sana.
“Woy, Justin!” teriak Danny hendak menyusul namun Kevin menahan.
“Gue aja,” ujar Kevin lantas berlari mengejar Justin.
Danny memberikan pandangan final pada Jayden. “Jangan berani lo dateng ke gue lagi. Lo bukan lagi bagian dari Sweet Escape.” Danny langsung melenggang pergi dari sana.
Noir tertawa puas. Sebuah geng berhasil dia hancurkan. Berbeda dengan Jayden yang harus menelan pil pahit dari semua yang sudah ia lakukan. Ia sudah kehilangan teman-temannya, kehilangan rumah untuk berteduh. Namun ia pun menaruh kekecewaan pada Noir yang sudah menghancurkan kepercayaan teman-temannya.
“Kenapa lo ngomong gitu ke mereka? Gue nggak pernah mata-matain Freya buat lo!”
Tawa Noir mereda. Ia mengikat pandangan dengan Jayden dengan tatapan meredup. “Apa? Itu doang kan yang nggak lo lakuin? Yang lain bener? Jadi apa salah gue?”
“Tapi nggak gini caranya. Lo bikin sahabat gue pergi. Geng gue hancur.”
“Geng gue? Siapa geng lo?” selidik Noir lantas berjalan menghadap Jayden. Lelaki yag ditanya tak berani menjawab. “Lo anak buah gue sekarang. Buat apa lo masih mikirin mereka? Inget, siapa yang nolong lo waktu lo kesusahan. Kalo nggak ada gue, mungkin lo udah nggak punya bokap lagi,” ujar Noir lantas pergi dari hadapan Jayden yang membisu.
“Apa untungnya punya sahabat? Mereka hanya kumpulan orang yang akan meledakkan lo saat lo nggak dibutuhin lagi. Munafik.”