Pelik dalam Peluk

image

”Freya, gue di Jakarta.”

Freya bergegas pulang ke kosnya yang berjarak tak jauh dari kampus. Ia hampir menangis merutuki tungkainya yang tak mau bergerak secepat yang ia inginkan. Ia menyumpahi kebodohannya yang lebih memilih berlari daripada memesan ojek online. Ia menyesali keegoisannya yang tak mau membuka pesan Justin hampir dua jam yang lalu.

Napasnya hampir habis. Namun itu lebih baik daripada harapan bertemu Justin yang habis. Semalam, ia sudah bercerita banyak dengan Stella. Ia terlalu egois, kata sahabatnya. Daripada berkabung dengan luka, seharusnya Freya membiarkan mereka menyelesaikan semuanya malam itu. Seharusnya ia lebih mempercayai Justin. Seharusnya ia melakukan hal yang membuat Justin bahagia.

Derap langkah Freya semakin lemah seiring jarak yang menipis. Di depan gerbang kosnya, seorang lelaki berpakaian merah dengan dalaman abu-abu bergaris tengah berdiri. Ia menjatuhkan beban tubuhnya di sebuah mobil hitam yang jadi sandaran. Ponsel dalam genggaman tak berhenti ia lirik.

Freya menutup mulutnya rapat. Bibirnya bergetar menahan tangis yang hampir pecah. Pandangannya mulai memanas. Lelaki itu tak menyadari presensinya. Masih memandangi gerbang hijau kos dengan helaan napas berat.

Perlahan, gadis itu mengikis jarak mereka. Mata cantik itu tak mengedip. Memandang lelaki yang hampir menyita seluruh ruang waktu dalam hidupnya. Rambut coklat gelap, garis rahang tegas, bahu kokoh yang berpadu dengan kaki jenjangnya, setiap detail yang menghantui pikirannya sepanjang hari.

“Justin,” lirih Freya ketika mereka berjarak dua langkah.

Yang dipanggil lantas berjengit. Ia menoleh dengan pandangan melebar. Dua jam yang membuahkan hasil, pikirnya refleks. Dua sudut bibirnya ditarik ke atas seraya menghela napas lega. Justin memgambil satu langkah lebih dekat.

“Boleh peluk?” ucap Justin yang hampir meloloskan kristal bening dari netranya.

Alih-alih menjawab, Freya lantas menubruk dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang nan luas milik Justin. Lelaki itu hampir dibuat terjungkal. Namun hanya kekehan ringan yang terdengar disertai air mata kelegaan lolos. Justin lantas merengkuh pinggang dan mengusap lembut rambut legam gadisnya sambil ia kecup ringan. Wangi.

Senang bisa menemuimu kembali, Freya.


image

“Kenapa lo mendadak ke sini?”

“Apa itu hal yang perlu ditanyakan? Lo tau jelas alasannya.”

Justin mengulum senyum melihat gadisnya menunduk lemas. Kini mereka tengah berada di sebuah kafe yang tak jauh dari kos Freya. Ia meletakkan kedua tangan di meja. Menatap Freya dengan menyangga dagunya menimbulkan semburat merah di dua belah pipi gadis itu.

“Jangan nunduk terus, Fre. Perlu waktu berjam-jam buat bisa liat wajah lo. Lo nggak mau hargain usaha gue dengan natap gue balik?”

Freya lantas menaikkan pandangan. Bertemu dengan mata serigala Justin yang teduh. Senyum lelaki itu memudar seiring dengan debaran jantung yang meningkat. Hanya butuh waktu sehari untuk terciptanya rindu yang menggebu. Justin tak bisa membayangkan bagaimana ia hidup bertahun tanpa bersua dengan Freya.

Sempat terlintas di pikirannya untuk turut membawa gadis itu pergi. Namun bukankah itu terlalu egois? Mereka jelas memiliki jalan hidup yang berbeda. Justin ingin Freya menapaki jalannya sendiri sebelum tiba waktu ketika mereka membangun jalan bersama.

Banyak impian, cita-cita, kebahagiaan yang mesti ia dan Freya capai. Mereka sama-sama perlu memperbaiki diri sebelum akhirnya bersama. Justin pun masih perlu waktu untuk membersihkan sisa-sisa masa lalu yang kadang menghampirinya.

“Masih lama natapnya?”

Lamunannya buyar. Freya terkekeh melihat Justin mengerjap-erjap sambil menggeleng cepat. Senyum itu, apakah Justin masih bisa melihat senyum itu ketika Freya tahu kalau kedatangannya hanyalah untuk pamit?

Seorang pelayan datang membawa pesanan mereka. Freya sigap menyingkirkan barang-barang di atas meja. Hanya itu yang dilakukan Freya, namun Justin sudah tersenyum bangga seperti Freya habis menyelamatkan dunia.

Selepas pelayan itu pergi, Justin kembali memergoki Freya mengintip jam tangan yang melingkar di tangan kurus gadis itu. Ia tampak gelisah namun tak mau menunjukkannya di depan Justin.

“Lo masih ada kelas hari ini?” Gadis itu mengangguk ragu. “Kurang berapa menit lagi?”

“Lima belas. Tapi nggak apa-apa kok gue bisa skip. Kebetulan gue belum pernah pake jatah absen gue.”

“Lo nggak boleh sia-siain waktu kuliah cuman buat gue, orang yang belum punya hak sepenuhnya buat lo prioritaskan. Habisin dulu makanannya. Nanti gue anter.” Raut wajah Freya tampak lesu mendengar jawaban Justin. Lagi-lagi bibir Justin mengulas senyum. “Gue di sini sampe besok kok. Gue udah nyewa penginapan.”

Benar dugaannya, wajah gadis itu tampak kembali bersinar. Freya tidak pernah salah saat menyebut Justin sebagai lelaki yang selalu tahu apapun yang ada di pikirannya.


“Gue cuman absen fingerprint kok, Tin! Tadi temen gue ngabarin dosennya nggak hadir. Lo mau tunggu di sini atau ikut gue ke kelas?”

“Gue di sini aja, ya? Nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa! Ya udah tunggu bentar ya. Nggak lama kok!” pamit Freya lantas bergegas meninggalkan Justin yang menunggunya di area parkir.

Pandangan Justin mengedar. Suasana tampak tak begitu ramai. Mungkin karena hari yang sudah menjelang sore. Ia lalu menghampiri sebuah bangku yang dipayungi oleh pepohonan rindang dan duduk di sana.

Justin memantik rokok yang terselip di jari. Menyesap asapnya sembari membalas pesan dari teman-teman yang menanyakan kabarnya.

“Permisi.” Pandangan Justin naik cepat. Terlihat dua orang perempuan dengan totebag di bahu dan buku yang dipeluk berdiri di hadapannya. Kedua perempuan itu tampak menahan semburat merah di pipi mereka. Justin mengantongi ponselnya sambil menatap bingung.

“Nama kakak Justin Mahendra bukan?” ujar perempuan satunya membuat Justin menaikkan satu alisnya.

“Iya, kenapa ya?” jawabnya masih dengan tatapan bingung.

”Anjir beneran dong!” ucap mereka tertahan agar tak terdengar Justin walaupun Justin masih bisa mendengarnya dengan jelas. Situasi macam apa ini?

“Kak, aku nge-fans banget sama kakak! Aku sering liat video kakak di Instagram!” ujar mereka tampak makin bersemangat.

“Instagram?” sahut Justin bingung. Ia rasa, ia tidak pernah mengupload video apapun di instagram-nya.

“Iya! Kakak sering nyanyi di kafe Sweet Night kan?”

Justin sontak memejam. Ah, ulah uncle Lim ternyata. Padahal dia sudah menolak ketika pemilik kafe itu hendak menyebarkan video ketika ia tengah bernyanyi.

“Boleh minta fotonya nggak kak? Boleh ya! Boleh ya!” Lelaki itu tak sempat menolak karena dua gadis itu langsung duduk di sisi kanan kirinya.

“Awas kena rokok!” ujar Justin sontak menjauhkan rokok yang terapit di jarinya dari dua gadis itu. Sikap gentle itu membuat keduanya hampir memekik. “Sebentar.” Justin lantas berdiri untuk membuang puntung rokoknya setelah menghisapnya sekali. Ia lantas kembali duduk di antara dua gadis itu dan tersenyum canggung ke kamera.

“Kyaa! Ganteng banget!” pekik mereka tampak girang. Justin yang risi akan jarak yang terlalu dekat lantas berdiri. “Makasih ya kak! Kalo aku … minta … nomer hpnya boleh nggak kak?”

Justin melotot seketika. Ngelunjak ni cewek. Ia hanya tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Sorry banget, kalo itu kayaknya nggak bisa,” jawabnya ragu.

“Yah, kenapa kak?”

“Anu soalnya ….” Justin diam-diam merutuki otaknya yang tidak bisa diajak berpikir. Dari kejauhan, ia menangkap Freya berjalan ke arahnya. Sebuah ide cemerlang muncul. “Aku udah punya pacar! Ya, aku punya pacar. Itu tuh orangnya hehehe. Bentar ya aku samperin dulu. Hai sayang, baru selesai ya kelasnya?” ujar Justin sembari melenggang menghampiri Freya.

Freya tampak bingung saat Justin merangkulnya erat. Namun ia segera menyadari situasi ketika berhadapan dengan dua gadis yang menatap mereka kecewa. “Oh, iya sayang. Maaf ya bikin kamu nunggu lama,” balas Freya seraya menepuk pipi Justin dengan mengerucutkan bibirnya. Yang ditepuk lantas mematung.

Brengsek! Si Freya ngapa lebih ngegas dari gue.

“Ya, udah sayang, yuk pulang!” ujar Justin lalu membawa Freya ke mobil setelah melambai ke dua gadis yang tampak patah hati itu.


“Hahahaa, apaan tuh tadi? Justin punya fans?” Freya terbahak saat mobil Justin meninggalkan area kampusnya.

“Gue baru sehari di Jakarta udah kaya gini, gimana kalo gue tinggal di sini ya? Bisa-bisa nyaingin Park Jeongwoo.”

“Hei, nggak usah kepedean ya!”

Justin terbahak. “Untung lo dateng tepat waktu, Fre. Oh, maksud gue, sayang?” ledek Justin yang dihadiahi tepukan keras di bahunya.

“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Freya.

“Ada saran tempat yang enak buat ngobrol?” jeda Justin sejenak. “Banyak hal yang perlu kita obrolin.”


image

Keduanya duduk dalam hening. Ditemani semilir angin yang membuat Justin menggosok lengannya. Freya memilih sebuah kafe yang memiliki ruang outdoor di lantai atas agar mereka dapat memperoleh suasana tenang sembari menyaksikan Jakarta yang tak pernah tidur walaupun matahari sudah kabur.

Freya berdiri menghampiri pagar dan menyandarkan tubuhnya di sana. Menatap indahnya kota malam dari ketinggian. Justin lantas mengambil tempat di sebelahnya.

Malam ini tampak elok. Langitnya cerah bertabur bintang yang berkilauan. Benar kata Justin, langit Jakarta akan selalu cerah karena ada Freya di dalamnya. Ia pandang gadisnya yang memejam menikmati angin sepoi yang menerbangkan helai rambutnya.

Justin tersenyum. “Cantik,” ujarnya membuat Freya menoleh.

“Oh, thanks,” balas Freya dengan jiwa yang menghangat.

“Gue sedikit kecewa saat lo lebih percaya sama omongan Anggie ketimbang omongan gue. Lo bahkan nggak kasih kesempatan gue buat cari tahu semuanya. Lo lebih memilih pergi ketika kita udah berjanji untuk nggak meninggalkan masalah berlarut. Dan gue kecewa saat lo nggak mengabulkan keinginan gue yang ingin lo tetap bales setiap chat gue,” ujar Justin tak berjeda membuat Freya menahan napas.

“Maaf, gue akui gue salah. Harusnya gue dengerin lo. Harusnya gue nggak kebawa emosi. Harusnya gue bales setiap chat lo. Maaf bikin lo kecewa.”

Justin melepaskan napas halus. “Ada dua hal yang menjadi penyangga kokoh dalam suatu hubungan jarak jauh, komunikasi dan kepercayaan. Keduanya pun nggak ada artinya kalo nggak ada keterbukaan. Dan semuanya nggak ada artinya lagi kalo hanya dilakukan oleh satu pihak.

Gue selalu mengusahakan semuanya. Tapi kalo lo nggak kooperatif, usaha gue akan sia-sia. Apa lo mau terus memilih buat percaya omongan orang lain daripada gue?”

Freya bergegas menggeleng. “Gue mau percaya sama lo aja mulai malem ini.”

“Apapun yang lo tunggu dari gue, bisa tunggu sebentar lagi? Hubungan itu nggak segampang diucap aja. Ada tanggung jawab yang harus gue jamin. Boleh minta waktu sedikit lagi?”

Yang ditanya mengangguk ringan. Lelaki itu tersenyum lantas menyelipkan rambut Freya ke belakang telinga. “Gue nggak bohong saat gue bilang nggak suka lo nggak ada kabar. Entah sejak kapan gue kaya gini. Gue mungkin bisa gila karena lo, Fre. Jangan lakuin itu lagi.”

Freya membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan lelaki itu. Meresapi kehangatan yang diberikan Justin di tengah dinginnya angin malam. Justin memejam dengan kening yang berkerut tegang. Dia tidak bisa pamit malam ini, dia belum siap. Tidak siap dengan segala reaksi yang akan terjadi, baik dari Freya maupun dirinya sendiri.

Maka biarlah malam ini mereka melepas rindu yang mengikat walau hanya tak berjumpa sesaat. Biarkanlah mereka melepas pelik dalam peluk yang hangat. Apapun yang akan terjadi esok, biarlah terjadi esok. Peluk ini mungkin akan jadi kenangan abadi dalam memori.