Pengkhianatan dan Penyesalan
“Yudha bangsat!”
Sultan tak bisa menahan emosinya. Ia berlari menuju Yudha yang bersembunyi di balik para pemain Galasena. Anak Dewandaru yang terkejut dengan kemunculan Yudha di Galasena terlambat mencegah Sultan. Mereka sontak ikut berlari mengejar.
Galasena yang tahu siapa yang jadi incaran Sultan lantas menghalau lelaki itu. Mereka mendorong Sultan yang terus memberontak. Kericuhan pun terjadi. Makian Sultan, sorakan anak Galasena, serta pekikan penonton berpadu jadi satu.
“KALO LO LAKI MAJU KE HADAPAN GUE SETAN!” teriak Sultan pada Yudha yang menatapnya datar.
“Oy sante bro! Gak usah pake emosi,” sahut salah seorang anggota Galasena.
“Gue nggak ada urusan sama lo bangsat! Bawa tu anak ke depan! Jangan jadi pengecut!”
“Tan, udah sabar!” ujar Barra mencoba menenangkan.
“Sabar kata lo?! Temen lo jadi pengkhianat, Bar! Pake otak lo!”
“Ada ribut-ribut apaan nih?”
Mereka serentak menoleh. Seseorang berjalan di tengah anggota Galasena yang langsung membelah jadi dua menyisakan ruang untuknya. Kedua tangan lelaki itu tersimpan di saku. Raut wajahnya santai, namun bibirnya mengulas senyum tipis.
“Gue pikir kita ke sini buat tanding bukan buat tawuran,” tambah seseorang itu, Haidar, kapten Galasena.
“Kalo mau tawuran, sok! Maju lo semua!” gertak Sultan lagi membuat suasana kembali memanas.
Sultan yang hendak kembali maju didorong mundur oleh Raja yang menarik bahunya. Raja yang sejak tadi memantau dari belakang kini berdiri di hadapan Haidar. Pandangan dinginnya menusuk bola mata Haidar lalu bergulir pada Yudha yang berdiri tak jauh di belakangnya.
“Apa maksud lo?” tanya Raja dingin.
“Maksud apa? Tanya yang jelas dong.”
“Nggak usah belagak bego kalo nggak mau tanding kali ini berubah jadi arena tawuran beneran.”
Atmosfer mendingin seiring tatapan Raja yang makin redup. Lelaki itu sudah lelah. Lelah dengan segala problematika seorang kapten. Setiap harinya selalu ada masalah baru yang terus memberat. Hari ini, Raja merasa kesabarannya sudah berada di ambang batas. Dia paling tidak suka dibohongi, apalagi dikhianati.
Sudut bibir Haidar terangkat. “Kenapa lo nggak tanya langsung sama orangnya?” ujar Haidar sembari menoleh ke belakang memanggil Yudha untuk berdiri di sampingnya.
Kini Raja telah berhadapan dengan Yudha. Ia terus menatap lelaki yang tak berani beradu tatap dengannya itu. Sultan menghempas cekalan Barra dan berdiri di samping Raja. Tangannya mengepal kuat. Tak tahan ingin melayangkan pukulan pada Yudha.
“Lo ngapain di sini, Yud?” tanya Raja setelah beberapa detik meredam emosi. “Kaos apa yang lo pake sekarang?” tanya lelaki itu lagi ketika Yudha tak kunjung menjawab. Suaranya terdengar bergetar.
“Punya mulut dipake goblok!” gertak Sultan tak tahan dengan bungkamnya Yudha.
Mata merah dan bergetar milik Yudha perlahan naik menatap Raja. Bisa ia lihat ada genangan tipis di pelupuk mata lelaki itu. Hatinya begitu tergores. Menatap satu persatu rekan satu timnya yang penuh dengan raut kekecewaan.
“Butuh uang? Butuh uang kata lo, Yud? Emang ini satu-satunya cara buat dapetin uang?”
Makin dalam penyesalan yang bercokol di dada Yudha. Kedua tangannya mengepal kuat. Menahan buncahan emosi yang hendak meledak. Apalagi melihat rahang Raja yang mengeras, sama-sama tengah menahan amarah.
“Lo nggak tau apa-apa soal gue, Ja. Ini udah jadi pilihan hidup gue dan lo nggak berhak buat ikut campur,” jawab Yudha yang langsung membuat jantung Raja menghentak begitu kuat.
“BOCAH SET—”
Baru saja Sultan hendak melayangkan pukulan, Raja sudah terlebih dahulu memukul rahang Yudha hingga hampir tersungkur jika tidak ada yang menahannya. Semuanya terperangah. Apalagi Yudha yang langsung melotot, tak menyangka Raja akan memukulnya begitu kuat.
“Masih kurang hah?! Nih gue tambahin!”
Sultan lantas melayangkan pukulannya yang sempat tertunda. Tidak hanya sekali, satu demi satu pukulan ia daratkan pada Yudha membuat suasana semakin kacau. Barra dan anak dewandaru lain berusaha menghentikan Sultan. Bian bahkan sampai menangis melihat lelaki yang dipanggil abang tan itu begitu membabi buta memukuli Yudha.
Sedangkan Raja? Dia hanya diam. Menatap anggotanya yang kini malah jadi berkelahi dengan lawan. Raja sudah tidak peduli. Dia sudah muak dengan segala hal yang harus ia lakukan sebagai kapten.
“HEH! HEH! HEH! APA APAAN INI!”
Raja tersentak dari lamunan mendengar suara coach Yoga yang berusaha membelah keributan. Di belakangnya ada pak Tegar, pelatih Galasena, beserta sang ayah yang turut panik dengan kericuhan yang terjadi. Raja mendadak gelagapan.
“Raja! Apa yang sudah terjadi?!” gertak Yoga setelah berhasil menarik Sultan mundur.
Raja tak mampu mengatakan sepatah katapun. Hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari sana.
“BAPAK LIAT SENDIRI! YUDHA MASUK GALASENA PAK!” Bukan Raja yang menjawab, melainkan Sultan yang masih dikuasai emosi.
Dahi Yoga mengernyit. Dilihatnya sang anak didik yang mengenakan seragam lain. Ia lalu bertatapan dengan pelatih Galasena. Namun sepertinya pelatih itu pun sama terkejutnya.
“Sepertinya ada yang tidak beres, Pak,” ujar Yoga pada Tegar.
“Diundur saja, Pak. Suasananya sudah kacau,” jawab Tegar memberi saran.
Yoga mengangguk. Ia lalu memanggil pelatih Galasena untuk berdiskusi dan sepakat menunda pertandingan. Tarkam hari itu pun dibatalkan.
Yudha POV
Kalian marah sama gue? Retoris, pertanyaan yang nggak memerlukan jawaban karena jawabannya sudah diketahui atau sudah pasti. Gue nggak masalah. Kemarahan kalian gue terima, terutama anak-anak Dewandaru yang udah gue khianatin. Gue pantas dapetin semuanya. Gue nggak dendam meskipun Sultan dan Raja udah bikin muka gue babak belur. Gue udah siap sama segala resikonya.
Malam itu, malam di mana gue mendapat kabar yang tidak mengenakkan dari bos. Malam di mana seharusnya gue pulang dengan satu amplop gaji. Namun ternyata gue membawa satu amplop lagi berisi pesangon.
Pikiran gue mendadak kosong. Semuanya terlalu tiba-tiba. Bayangin aja lo mau berangkat kerja dan di jalan dapet telfon dari atasan kalo lo dipecat dengan alasan kinerja lo yang nggak bagus. Padahal beberapa hari yang lalu, lo bahkan mendedikasikan seluruh hari lo buat kerja!
Gue berasal dari keluarga yang biasa-biasa aja. Beda dari keempat temen gue yang lain. Gue mungkin ada di urutan terakhir dalam hal perekonomian. Sebenernya pekerjaan orang tua gue masih cukup buat gue sama adik. Tapi semenjak ayah sakit-sakitan, gue merasa punya tanggung jawab untuk ikut cari uang buat keluarga.
Hari itu, ibu bilang kalo Kiran, adik perempuan gue, harus buru-buru bayar SPP biar bisa ikut PAS. Di situ gue langsung putar otak. Gue tau arah pembicaraan ibu. Ayah masih sakit. Pemasukan cuman dari ibu dan itu pun udah kepotong buat makan sehari-hari. Kesimpulannya, gue harus bisa nyisihkan gaji buat bayar SPP nya Kiran.
Perhitungan gue udah pas. Gaji di minggu ketiga dan keempat ditambah tabungan gue udah pas buat bayar SPP Kiran. Kalo gue bisa lembur bakal dapet lebih banyak lagi. Seminggu ini gue maksimalin kerja. Dapet bonus sih, bonus pesangon.
Gue bingung, gue frustasi. Di mana gue bisa dapet tempat yang mau memperkerjakan seorang siswa SMA? Apalagi dengan gaji mingguan. Cari kerja part time itu susah. Kebanyakan udah diisi sama mahasiswa. Trus gue harus cari uang ke mana lagi?
Seakan menjawab pertanyaan gue, mendadak ada yang chat nawarin pinjaman uang. Gue nggak tau dia siapa sampai saat dia ngajak gue ketemu di suatu tempat. Ternyata dia Haidar, kapten Galasena, salah satu musuh terbesar Dewandaru.
Ini nggak bener. Gue harus pergi dari sini. Namun Haidar seakan tau kelemahan dan apa yang lagi gue butuhin saat ini. Dengan segala bujuk rayunya, gue terbuai. Gue terima syarat dari dia. Jadi libero Galasena di tarkam mendatang, melawan Dewandaru.
Maaf kawan, gue tahu apa yang gue lakukan sangat fatal. Gue akan terima segala resikonya. Bahkan kalaupun gue harus dikeluarkan dari tim, gue terima. Yang gue pikirkan sekarang adalah keluarga, terutama Kiran. Gue tau, gue terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Gue tau banyak cara lain untuk dapetin uang secara instan. Tapi entahlah, mungkin gue nya aja yang bodoh.
Sekarang gue menyesal. Melihat raut kekecewaan kalian, bahkan Bian sampai menangis, bikin hati gue sakit. Maafin gue yang terlalu egois. Apa yang dibilang Sultan nggak bener. Gue nggak pernah berencana buat khianatin kalian. Gue hanya berusaha bertahan di tengah himpitan keluarga yang memaksa gue untuk terjun ke jurang.
Maaf kalian harus punya teman kaya gue. Yang mau apapun, harus kerja. Yang mau beli sesuatu, harus nabung. Yang kalau nongkrong selalu gelisah karena harus buru-buru pulang buat kerja atau ngurusin adik. Yang nggak pernah bisa terbuka hanya karena malu punya keluarga yang nggak seberuntung kalian. Maaf. Gue minta maaf.
©haruquinza