Percakapan Malam
Zafran POV
Mencoba buat enggak panik itu susah. Walaupun udah berkali-kali dapet kabar Zayyan masuk rumah sakit, paniknya masih sama seperti saat pertama kali Zayyan terbaring di sini. Julukan “rumah sakit biasa” yang disebut sama bunda jadi bukti seberapa seringnya kami datang. Melelahkan emang, tapi mau gimana lagi?
Gue harap semua pengorbanan, keringat, dan air mata yang udah terbuang dibayar lunas oleh Tuhan dengan kesembuhan Zayyan. Walaupun Zayyan tidak pernah mengakui, gue tau dia tersiksa. Napasnya berbunyi. Dahinya kerap kali mengernyit menahan sakit seraya memegangi dada. Gue tahu semuanya, tapi gue berusaha biasa aja.
Tungkai gue melangkah cepat. Terlihat bunda yang sedang menatap sebuah pintu sambil membungkam mulutnya. Bunda menangis. Langkah gue semakin cepat.
“Bun,” panggil gue lembut. Bunda menoleh cepat seraya menghapus air matanya.
“Sudah pulang sekolah, nak?” tanya Bunda sambil menyodorkan tangannya untuk gue cium.
“Udah. Zayyan gimana?”
“Lagi ditangani dokter.”
Pintu berkaca itu membuat Kami bisa menatap Zayyan dari luar. Gue lihat Zayyan tengah terbaring dengan kepala tertoleh bersama seorang suster yang membantunya meredakan mual. Sakit, hati gue sakit banget. Tapi gue nggak boleh nangis.
Bunda kembali terisak. Tangan gue lantas merangkulnya dan memberikan usapan lembut di sana. Gue harus kuat. Gue harus kuat untuk bunda, untuk keluarga gue.
“Ayah di mana, Bun?”
“Lagi di jalan. Mungkin satu jam lagi sampai.”
Gue mengangguk. “Bunda duduk dulu di sini. Aku mau beli minum sama makanan ringan.”
Gue lantas memapahnya ke kursi yang ada di sana. Setelah memastikan bunda bisa ditinggal, gue segera pergi dengan satu lirikan ke ruangan Zayyan.
“Maaf, nggak jadi nemenin lo ke studio.”
Gue dan bunda akhirnya diijinkan untuk menemui Zayyan. Adik kembaran gue itu terbaring lemas dengan alat bantu pernapasan yang membungkus mulut dan hidungnya. Kebahagiaan gue hanya sebatas bisa melihat Zayyan membuka mata dan mendengar suaranya. Sesuatu yang gue harapkan bisa terus terlihat dan terdengar.
“Gue udah bilang, kalo sakit itu ngomong. Susah banget ngakuin semuanya ke gue?”
“Tadi belum sakit,” jawab Zayyan dengan mata berbinar membuat gue jengah.
“Kalo sakit, bilang sakit, Yan. Jangan nutupin apapun dari gue.”
“Gue baik-baik aja, Ran.”
“Baik-baik aja tapi lo buat ngomong aja susah. Baik-baik aja tapi lo bikin gue ke sini, jengukin lo ke rumah sakit. Gue bosen liat lo kaya gini.”
“Gue minta maaf.”
“Bukan permintaan maaf yang gue mau, Yan. Gue mau lo lebih terbuka sama gue.”
“Iya, gue janji akan lebih terbuka lagi sama lo.”
Gue menghela napas sadar udah bicara terlalu keras sama Zayyan. Kursi yang ada di sana gue tarik ke dekat Zayyan dan duduk di sana sambil bermain ponsel. Atas permintaan gue, bunda pulang untuk beristirahat menemani ayah yang baru pulang dari luar kota. Malam ini, gue menginap di sini, berdua dengan Zayyan.
“Lo masih suka ngerokok, Ran?”
Gue mendongak dan terkejut ketika Zayyan melepas alat bantu pernapasannya.
“Ngapain dilepas, njir!”
“Pengap, gue udah nggak sesek, kok.”
Mulai aneh-aneh ini anak. Lantas gue membantu Zayyan merapikan alat tersebut.
“Lo belum jawab pertanyaan gue,” ujar Zayyan kembali.
“Kadang kalo lagi stress.”
“Banyak cara buat ngilangin stress. Kenapa lo pilih rokok?”
Gue terdiam sejenak. “Rokok yang paling ampuh.”
“Lo nggak belajar dari ayah? Ayah sakit karena rokok. Dari dulu bunda udah peringatin buat berhenti tapi ayah abai. Pas udah sakit, baru mau berhenti. Lo mau kaya ayah? Atau nunggu kaya gue dulu?”
“Doa lo buruk amat buat gue.”
“Gue nggak doain?”
“Ucapan adalah doa, Yan.”
“Makanya berhenti ngerokok. Bukan cuman di depan gue, tapi di manapun lo berada. Jangan sentuh rokok lagi.”
Gue cuman diam menyimak omelan Zayyan.
“Lo nggak tau, mungkin beberapa orang udah jadi korban buat abu panas rokok yang lo buang di jalanan. Mungkin ada orang yang jadi batuk karena hirup asep rokok yang lo buang. Mungkin ada orang punya penyakit kaya gue karena jadi perokok pasif dari asap yang lo hirup. Ngerokok itu merugikan, Ran. Bukan cuman buat lo, tapi buat orang lain.”
Gue bersandar sambil menatap Zayyan. Sedikit tersentuh dengan apa yang dia bilang. Ada rasa bersalah yang muncul saat ingat bahwa gue turut andil memperparah penyakit Zayyan, dan mungkin untuk orang lain juga.
“Pelan-pelan gue yakin lo bisa meninggalkan rokok. Gue harap lo mau berusaha buat berhenti.”
Gue cuman mengangguk ringan.
“Nilai lo gimana?”
Gue mendecak. “Ini ceritanya lo lagi nge-roasting gue?”
“Ya.”
“Belum keluar. Masih kaya biasanya mungkin?” jawab gue tak acuh sambil bermain ponsel.
“Belajar, Ran. Gue kan udah nggak bisa ngajarin lo lagi. Lo harus berusaha sendiri.”
Kepala gue menoleh cepat. “Maksud lo apa? Jaga omongan lo, Yan!”
“Maksudnya, gue sekarang kan homeschooling. Materinya bakal beda sama sekolah reguler. Ya gue nggak bisa ngajarin lo kan?”
Diam-diam gue bernapas lega. Sialan, gue memikirkan hal lain yang lebih mengerikan dari apa yang mau diucap Zayyan.
“Ya, bisa. Lo kan pinter.”
“Gue nggak mau.”
“Ya, udah gue nggak usah belajar.”
“Lah?”
“Gue cuman mau belajar kalo lo yang ngajarin.”
Zayyan cuman tersenyum tipis mendengarnya.