Pertandingan dan Persahabatan
Punggung Jarvis ditepuk membuatnya berjengit. Ia menoleh dan menemukan Sagara duduk di sampingnya. Kurang dari sepuluh menit, pertandingan akan segera dimulai. Mendadak Jarvis panik mengetahui siapa yang menjadi lawan timnya kali ini.
“Lo boleh nggak turun sekarang kalo belum siap. Gue sama yang lain masih bisa handle mereka.”
Jarvis hanya mengela napas. Menatap satu persatu anggota tim lawan dan menemukan beberapa orang yang pernah ia temui setahun lalu, terutama orang yang sudah membuat ia lama vakum dari basket. Orang itu tampak melayangkan tatapan ejek kepadanya.
“Justru gue dipaksa ikut karena mereka lawannya, Gar,” jawab Jarvis sembari menyambar botol pocari sweat.
“Gue bakal koordinasi sama pak Angga biar lo dimasukin ke match selanjutnya. Ini anaknya parah-parah. Persis kaya waktu itu. Gue takut lo kenapa-kenapa.”
Jarvis menghabiskan setengah botol minumannya. Ia lantas memasukkannya ke dalam tas dan beranjak dari sana.
“Gue nggak mau stuck di sini terus. Gue bakal lawan mereka.”
“Cowok nomer punggung 8 paling keren!”
“Yang nomer 17 lah!”
“Masih keren nomer 8. Nggak ada yang lebih keren dari kapten!”
“HUH!”
Rissa menjulurkan lidahnya ke Dara yang tampak kesal. Mereka serentak histeris saat kedua tim memasuki area pertandingan. Rissa dan Dara kompak melompat-lompat kecil seraya menyerukan semangat untuk tim kebanggaan mereka.
“PUHA SEMANGAT! PUHA SEMANGAT!”
“KAK JARVIS SEMANGAAAATTT!”
Dara spontan memukul bahu Rissa. “Nggak usah kenceng-kenceng, bego! Sakit kuping gue!”
“Bodo amat!”
“Kak Jarvis mulu deh! Kak Sagara udah nggak lo anggep ya?”
“Ih kata siapa? Ini mau semangatin. KAK AGA SEMANGAAAATTT!!!” Sebuah teriakan yang berakhir Dara membekap mulut Rissa.
Peluit tanda mulai pertandingan ditiup. Jarvis sigap menguasai bola. Ia langsung menggiring ke ring lawan dan berhasil menjebol pertahanan bahkan belum sampai satu menit sejak pertandingan dimulai. Penonton berseru gembira, tak terkecuali teriakan melengking dari seorang gadis bernama Carissa Aurora.
Awal bagus yang dimulai Jarvis untuk timnya. Bola-bola lain berdatangan, menembus pertahanan lawan. Satu poin dari lawan dibalas tiga poin menciptakan selisih yang cukup kentara di kedua tim itu. Putra Harapan seperti menemukan jiwanya yang sudah lama terpendam.
Jarvis masih bisa menikmati permainan sebelum akhirnya ia berpapasan dengan pemain yang dulu pernah membuat tangannya patah. Keduanya saling menatap tajam dengan Jarvis yang berusaha mempertahankan bola di tangannya.
“Lama nggak keliatan ya, Vis? Tangan lo udah nggak bengkok lagi?” ejek cowok itu di tengah napasnya yang terengah sambil tersenyum miring.
Jarvis tak terpengaruh dengan ejekan itu. Ia lantas melompat dan melakukan lemparan dari jauh. Bola berhasil mendarat di ring dengan mulus. Teriakan penonton menggelegar. Jarvis melenggang dari hadapan cowok yang tampak terkejut dengan tembakan mendadak dari Jarvis.
Babak pertama selesai. Putra Harapan unggul. Mereka menepi untuk mendengarkan arahan pelatih. Namun Jarvis memilih duduk untuk menyeka keringat dan mengisi cairan di tubuhnya.
“Permainan yang hebat, Jarvis! Pertahankan sampai babak terakhir, ya!”
Pria bernama Angga yang paham Jarvis takkan sudi mendengarkan perintahnya memilih untuk menghampiri anak didiknya itu. Jarvis hanya menatapnya sekilas. Angga tersenyum tipis sembari menepuk bahu Jarvis. Sebuah perhatian yang membuat seorang pemuda yang duduk di tribun penonton meremas botol di tangannya hingga kerempeng.
Babak kedua dimulai. Entah mendapat petuah apa dari pelatih mereka, tim lawan menjadi lebih agresif dari sebelumnya. Beberapa pemain tampak sengaja mendorong dan menghalangi pemain Putra Harapan dengan kasar. Bahkan Yasa ditampar sampai hidungnya mengeluarkan darah.
“Kak Yasa cidera! Gimana, nih?” ujar Rissa tampak khawatir.
“Gue ngerasa anak Taruna Bangsa jadi beringas deh. Iya nggak sih? Masa dari tadi dorong-dorong terus?” tanggap Dara membuat dua gadis itu mengerutkan dahi pertanda khawatir.
Dan benar saja, makin lama permainan tim lawan makin kacau. Peluit wasit tanda pelanggaran seperti tak ada harganya untuk mereka. Angga yang menyimak permainan dari pinggir lapangan tampak khawatir.
“Defense! Defense! Jarvis! Yak! Good ball!” teriaknya memberi arahan.
“Bang, gue kosong!” teriak Fazwan sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi kepada Jarvis. Sang kapten menerima kode lantas melemparkan bola pada Fazwan.
Bola mendarat di tangan Fazwan dengan mulus. Ia hendak melangkah menuju ring lawan. Namun tanpa diduga, kakinya diinjak oleh lawan hingga tubuhnya langsung terguling ke lapangan.
“WAN!” pekik Jarvis yang melihat Fazwan terjatuh dengan memegangi kakinya yang terkilir.
Wasit memberikan peluit tanda pelanggaran ke orang yang sengaja membuat Fazwan terjatuh. Namun orang itu malah mengangkat bahunya tak peduli. Kelihatannya dia memang sengaja melakukan itu.
Fazwan langsung dipapah menuju pinggir lapangan. Angga sigap mengecek kaki anak didiknya itu. Jarvis tampak tak beranjak dari samping Fazwan, menatap khawatir adik kelasnya yang meringis kesakitan.
“Ada pergeseran sedikit di pergelangan kakinya. Kamu istirahat dulu ya. Biar Bagas yang menggantikan,” ujar Angga.
“Eh, jangan saya, Pak! Saya nggak bisa kalo lawan mereka!” tolak Bagas.
“Udah, Pak. Saya baik-baik aja kok. Saya masih bisa main,” timpal Fazwan.
“Nggak bisa! Lo cidera kaya gini kok!” serobot Jarvis menolak permintaan Fazwan.
“Gapapa, Bang. Gue bisa.”
“Nggak, Wan. Gue nggak izinin.”
“Tapi nggak ada yang bisa gantiin gue, Bang.”
“Saya aja yang gantiin dia, Pak.”
Semuanya serentak menoleh. Mereka sama terkejutnya melihat seseorang yang baru saja menawarkan diri itu. Angga langsung bangkit menghampirinya.
“Memang hanya kamu yang Bapak butuhkan saat ini, Bisma.”
Lelaki bernama Bisma itu mencopot topi yang ia kenakan. Menatap Angga malas, apalagi teman satu timnya—terutama Jarvis—yang tampak senang akan kehadirannya.
Pertandingan kembali dimulai dengan Bisma yang menggantikan Fazwan. Jarvis awalnya ragu untuk mendekat ke Bisma. Dulu Bisma adalah partnernya untuk menyerang ke ring lawan. Mereka seringkali bergantian mencetak poin. Namun dengan keadaan sekarang, apakah Bisma masih mau kerja sama dengan Jarvis?
Keraguan Jarvis sontak runtuh saat Bisma tiba-tiba mengoper bola kepadanya. Cowok itu langsung berlari ke depan, menunggu operan balik dari Jarvis yang kemudian akan ia tembak ke ring lawan. Jarvis menyeringai. Ia yakin seratus persen kemenangan akan jatuh ke tangan timnya.
Berkat kolaborasi dua kapten itu, Putra Harapan semakin dekat dengan kemenangan. Jarvis berdiri tepat di hadapan ring, bersiap memasukkan bola. Saat ia melompat, tiba-tiba seseorang mendorong tubuhnya.
Bisma yang melihat itu sontak melotot. Terbayang kejadian di masa lalu yang sama persis seperti apa yang ia lihat sekarang. Teriang teriakan penuh kesakitan dari Jarvis yang tergeletak di tengah lapangan sambil memegangi tangannya. Tidak, hal itu tidak boleh terjadi lagi.
Maka secepat mungkin, Bisma mengambil langkah cepat dan menangkap tubuh Jarvis hingga keduanya terjatuh dengan tubuh Bisma sebagai tumpuan. Penonton memekik kaget mendengar benturan keduanya yang cukup keras.
“Fuck!” umpat Bisma saat tubuhnya menubruk lapangan.
“Anjir! Bisma!” Jarvis langsung menggulingkan tubuhnya agar Bisma tak terlalu terbebani dengan massa tubuhnya. “Weh! Lo baik-baik aja, kan?” tanya Jarvis sambil membantu Bisma bangun.
Bisma tampak meringis. Setelah mengecek tubuhnya, ia lantas melempar pandang ke Jarvis. “Lo ada yang luka nggak?” tanya Bisma.
Jarvis menunjukkan sikunya. “Cuman berdarah dikit. Thanks ya!” ujarnya yang hanya diangguki Bisma. Jarvis berdiri lantas mengulurkan tangan pada Bisma. Lelaki itu menerimanya dengan senang hati.
Keduanya tampak canggung setelah itu. Namun mereka sama-sama lega bisa menjaga satu sama lain lagi seperti dulu.
“Kayaknya siku kak Jarvis berdarah deh, Ris!” ungkap Dara.
Rissa menggigit kukunya. Ia lantas turun dari tribun dan pergi entah ke mana.
Pertandingan yang sempat terjeda kembali dilanjutkan. Jarvis dan Bisma makin bersemangat untuk mencetak poin bersama. Hingga akhirnya, tim Putra Harapan memenangkan pertandingan. Semuanya bersorak gembira.
Jarvis dan Bisma menghampiri satu sama lain. Mereka berpelukan erat dan bersorak gembira sebelum akhirnya tersadar dengan apa yang mereka lakukan. Mereka serentak menarik tubuh menjauh dan menatap kikuk.
Kecanggungan itu terselamatkan oleh pemain lain yang kompak memeluk keduanya bersama dalam sebuah lingkaran tim yang berhasil membawa pulang kemenangan.