Praduga yang Salah
Sesekali Rissa menatap pantulan wajahnya dari layar ponsel. Mengembalikan setiap helai rambut yang mencuat ke barisan semula. Di setiap embusan napas, terselip beban yang berkecamuk. Mengingat alasan ia tidak bisa tidur semalaman karena sibuk memilih baju yang akan dipakai hari ini, alasan ia bangun pagi buta karena tidak ingin terlambat, alasan ia malas melakukan apapun karena harus menghemat energi, dan segala hal tidak penting yang Rissa lakukan demi hari ini, hari pertemuannya dengan Jarvis.
Entah apa yang akan dibicarakan lelaki itu, Rissa tidak bisa menebak. Lagipula, sejak kapan Jarvis bisa ditebak? Lelaki yang dulu menatap Rissa dengan alis menegang itu bahkan memegang tangannya tanpa alasan kemarin. Tidak cukup sampai di situ, besoknya Jarvis menghindari Rissa mati-matian. Dan sekarang? Tiba-tiba lelaki itu mengajak bertemu dengan alasan yang lagi-lagi tidak jelas. Herannya, Rissa selalu mengikuti arus berliku milik Jarvis itu dan selalu selamat, setidaknya sampai hari ini.
Mereka berangkat terpisah. Bukan sebuah kesepakatan, melainkan inisiatif Rissa yang tak kunjung mendapat ajakan dari Jarvis. Lelaki itu hanya memberitahu tempat dan waktu mereka bertemu, tidak ada pertanyaan, “Mau berangkat bareng nggak?” yang biasa Jarvis lontarkan. Cukup menyedihkan, Rissa merasa asing dengan Jarvis.
Beribu pertanyaan tak terjawab memenuhi pikiran Rissa sejak kejadian sore itu. Perubahan sikap Jarvis adalah tanda tanya terbesar di sana. Mengapa? Apakah Jarvis marah karena Rissa sudah memeluknya tanpa ijin? Atau, apakah karena Rissa tak sengaja mendengar detak asing dalam diri Jarvis? Lantas kalau begitu, bukankah Rissa juga punya hak untuk marah karena Jarvis telah menggenggam tangannya tanpa alasan? Dan juga Jarvis yang sudah memporak-porandakan jam tidurnya oleh lima menit genggaman hangat itu.
Semua tanda tanya itu seolah tak pernah ada di pikiran Jarvis. Dia seakan tak merasa bersalah telah membuat Rissa bingung. Jarvis kembali seperti tidak terjadi apa-apa dan seenaknya mengajak Rissa bertemu. Bodohnya, Rissa tak punya nyali untuk sekadar menegur Jarvis atau menolak permintaannya.
Sepuluh menit berlalu tapi Jarvis belum tampak juga. Lelaki itu tidak terlambat, tapi Rissa saja yang datang terlalu awal. Keputusan yang pantas untuk disesali. Rissa jadi harus menunggu Jarvis dan jadi pusat perhatian orang-orang yang hendak masuk ke kafe.
Lelaki itu datang. Rissa sontak berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Jarvis walaupun itu SANGAT sia-sia karena mereka jelas sudah saling memandang.
Rissa meremas tali tas slempangnya. Sudut matanya menangkap Jarvis tengah melangkah ke arahnya. Rissa tidak bisa menahan kepalanya untuk menoleh. Ia pun melempar senyuman kaku sembari melambai tangan ringan.
“Sorry, udah nunggu lama, ya?” sapa Jarvis dengan raut setengah terkejut. Dia pikir, dia yang akan datang lebih dulu.
“Engga, baru aja kok, Kak,” kilah Rissa sambil meringis, padahal dia sudah menunggu lebih dari 15 menit.
“Ooh.” Tiga detik berlalu canggung. “Mau masuk?” ajak Jarvis.
“Boleh, Kak.”
“Gue sebenernya udah dari kemaren-kemaren mau ngajak lo ke sini. Cuman baru nemu waktu buat ngajak pas hari Kamis itu. Trus gue harus nyesuain sama jadwal latihan cheers lo juga, jadi baru bisa ngajak sekarang. Sorry ya, kemarin gue ngajaknya nggak jelas.”
Jarvis membuka obrolan saat Rissa sibuk memilih menu. Penyataan yang cukup membuat jari Rissa berhenti menelusuri dan menaruh atensi sepenuhnya pada Jarvis.
“Ooh, gapapa kok, Kak. Gue makasih malah lo sampe mikirin ke jadwal latihan gue. Yang penting kan sekarang udah ketemu.”
Perlu waktu dua detik untuk mencerna kalimat Rissa sampai sebuah senyum terbit di wajah Jarvis.
“Udah nemu yang mau dipesen?”
“Aduh, gatau gue bingung! Lo dulu aja deh, Kak!”
Jarvis menarik lembaran menu itu ke tengah. “Yaudah, liat bareng-bareng aja.”
“Kak Jarvis tuh sebenernya mau ngomongin apa sih?”
Jarvis bergeming. Mendengar pertanyaan Rissa membuatnya bergerak tidak nyaman. Ia pun memaksakan tawa yang terdengar sumbang.
“Makanannya aja belom dateng, masa udah mau ke intinya? Harusnya ada pembukaan, sambutan, doa bersama, baru ke inti. Abis itu lain-lain alias makan.”
“Emang mau pengajian?”
Keduanya terbahak.
“Lagian lo pake nggak ngasih tau mau ngomongin apa. Kan gue jadi penasaran!”
“Tujuan gue emang itu, bikin lo penasaran. Kalo gue kasih tau nanti lo nggak mau ketemu gue.”
“Kenapa gue harus nggak mau?”
Senyap.
Dari balik meja, Jarvis meremas celananya. Sedikit berdeham untuk menjernihkan suara.
“Kita kenal udah dari kapan sih, Ris?”
Pupil Rissa melebar. Sorot matanya tenggelam oleh tatap sedalam palung yang tengah mengikatnya. Tidak ada yang istimewa dari pertanyaan Jarvis. Bahkan pertanyaan itu sangatlah sederhana untuk bisa Rissa jawab. Namun suasana siang ini mendukung munculnya persepsi lain dari pertanyaan itu.
“Kapan ya? Dari sebelum Porseni? Sekitar 4 bulan yang lalu berarti?”
“Lumayan lama juga ya,” tanggap Jarvis dengan tatapan menerawang ke arah lain. “Dari empat bulan itu, lo mungkin jadi tau gimana sifat gue, karakter gue, atau kebiasaan gue. Begitu juga dengan gue, gue juga udah tau lo gimana,” tambah Jarvis tanpa berani menatap Rissa.
Si puan masih setia mendengarkan setiap kalimat yang terucap. Menebak-nebak apa yang akan dituju oleh lelaki di depannya dengan gelisah.
“Dari situ gue ngerasa kalo ... gue nyaman sama lo.” Jarvis memberanikan diri untuk melirik Rissa. Memastikan apakah gadis itu mendengar kalimat terakhir yang sengaja ia ucapkan lirih. Dari raut wajahnya, Jarvis yakin gadis itu mendengar jelas setiap kalimatnya.
“Gue pengen kenal lo lebih jauh, pengen tau setiap hal yang lo lakuin, setiap rasa yang lo rasain. Gue pengen tau apa yang lo makan buat sarapan, apa yang lo lakuin setiap pulang sekolah, jam berapa lo tidur di setiap malam. Gue pengen tau segalanya tentang lo.”
Semakin banyak kalimat yang terucap, semakin banyak pula keberanian yang terkumpul di benak Jarvis.
“Gue ... pengen jadi ....”
“JARVIS!”
Kalimat Jarvis menggantung, bahkan mulutnya yang hendak mengucapkan kalimat selanjutnya masih terbuka, saat seseorang tiba-tiba memanggilnya. Ia menoleh cepat. Menemukan seorang gadis tengah melambai ke mereka dari ambang pintu masuk.
Oh, bukan seseorang, ada seseorang lagi yang mengekor di belakang.
Seseorang yang membuat bola mata Jarvis membulat sempurna diiringi ledakan besar di rongga dadanya.
Gadis itu menarik seseorang di belakangnya untuk menghampiri Jarvis. Lelaki itu tersentak berdiri.
Melihat Jarvis beranjak dari duduknya, Rissa ikut berdiri. Sepasang alisnya menukik tajam mengamati apa yang sedang terjadi. Dahinya ikut berkerut mendapati Jarvis yang terpaku pada sosok yang sedang menghampiri mereka.
“Lo ngapain di sini anjirrr??? Sumpah ini bener-bener kebetulan yang harus lo syukurin di hidup lo!!!”
Adhisty, nama gadis yang memotong ucapan Jarvis tadi. Ia datang begitu heboh membuat hampir seisi kafe menatap mereka. Ia menarik seseorang yang bersembunyi di punggungnya dan mendorongnya ke sisi Jarvis. Lelaki itu spontan mengambil selangkah mundur. Namun tatapannya masih terpaku pada gadis yang kini berdiri beberapa centi di depannya.
“Udah gue bilang! Lo berdua emang jodoh anjir!!!” ujar Adhisty dengan pekikan kecil dan tepuk tangan heboh. Sudut matanya menemukan kehadiran Rissa yang termenung di sebelahnya. “Eh, ada Rissa! Yaudah, lo berdua ngobrol dulu deh ya! Gue juga ada yang diobrolin sama Rissa! Ayo, Ris!”
Tanpa persetujuan dari Rissa, Adhisty menarik tangannya begitu kuat. Rissa sempat melirik Jarvis, berharap lelaki itu akan menahan. Namun sampai ia lenyap di balik pintu pun, Jarvis tak menoleh kepadanya sedikitpun.
“Lo lagi ada urusan apa sama Jarvis? Kok berduaan tadi?”
Adhisty mengajak Rissa duduk di depan kafe. Dari sini, mereka dapat memantau Jarvis yang kini tampak mengobrol dengan gadis yang masih membuat Rissa bingung. Siapa dia? Rissa menangkap sebuah binar kebahagiaan di mata Jarvis saat menatap gadis itu.
“Kak Jarvis yang ngajak, Kak. Katanya ada yang mau diomongin.”
“Apa?”
Rissa tak langsung menjawab. Tatapan Adhisty tampak terganggu dengan jawaban Rissa. Ia seperti tidak suka Jarvis mengajak Rissa bertemu.
“Nggak tau. Kak Jarvis belum sempet ngomong, Kak.”
Tempo pusat kehidupan Rissa meningkat kala mengingat ucapan Jarvis sebelum terpotong oleh panggilan Adhisty. Rissa merasa bisa menebak potongan lain dari ucapan Jarvis. Setengah mati ia menunggu kalimat itu benar-benar terucap. Namun mengapa semesta tak membiarkan kalimat itu terselesaikan?
“Lo masih inget omongan gue buat nggak deketin Jarvis kan, Ris?”
Bola mata Rissa bergulir cepat menatap Adhisty.
“Percaya sama gue, Ris. Jarvis nggak worth it buat lo.”
“Emang kenapa?”
Adhisty memajukan tubuhnya, berbisik ke Rissa sambil menunjuk Jarvis. “Lo tau siapa yang duduk sama Jarvis sekarang?”
Rissa menggeleng ragu. Bukan karena ia merasa tidak yakin dengan jawabannya. Rissa tidak siap mendengar kenyataan yang akan terucap dari Adhisty, atau bahkan, dia tidak mau mendengarnya.
“Dia Ayunda Larasati, mantannya Jarvis.”
Sebuah beton besar menghantam tubuh Rissa. Kepalanya berdenyut hebat hingga pandangannya berkunang. Namun sebanyak apapun kunang yang mengerubungi pandangan, Rissa masih dapat melihat jelas ukiran kebahagiaan di wajah Jarvis saat menatap gadis di depannya.
“Hatinya Jarvis masih buat Laras, Ris. Lo pasti bisa liat dari matanya Jarvis pas natap Laras.”
Tatapan lemah Rissa mendarat ke tujuan. Energi di sana begitu kuat hingga membuatnya tak sanggup menatap lama-lama. Hanya sebuah gigitan di bibir dalam yang dapat menguatkan Rissa.
“Gue kalo udah suka sama satu cewek, susah ngelirik cewek lain ris.”
Oh, pantas saja, Jarvis tak melirik Rissa sedikit pun saat Laras datang. Bahkan saat Rissa meminta pertolongan pun, Jarvis tak mengulurkan tangannya.
“Kalo gue nemu yang cocok, yaudah gue fokus ke dia aja.”
Tidak ada kebohongan di setiap kalimat yang ditulis Jarvis. Saking fokusnya, Jarvis tidak merasakan ketiadaan Rissa. Dia bertingkah seolah-olah Rissa tak pernah ada di sana. Benar-benar tidak merasa ada yang hilang dari pandangannya.
“Di mata gue, cuman dia yang terbaik.”
Rissa tersenyum getir. Cuman dia yang terbaik.
Kukira kau rumah Nyatanya kau cuma aku sewa Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang