Prolog

Orang bilang, nama adalah perwujudan doa atau harapan yang ingin dikabulkan saat sebuah kehidupan dimulai. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan nama terbaik, berharap kehidupan mereka akan baik seperti nama mereka. Di dalamnya terdapat sebuah makna atau pesan yang tak disadari turut andil membentuk karakter seseorang. Gadis bernama Freya Grizelle setuju dengan pernyataan tersebut.

Freya Grizelle, sebuah nama dengan arti pejuang cantik yang cerdas. Dia sangat paham alasan orang tuanya memberikan nama itu. Alur kehidupan penuh perjuangan. Kecerdasan adalah keharusan. Semuanya Freya pahami saat semesta terus menghadirkan lika-liku kehidupan yang tak ia harapkan.

Malam semakin larut. Embusan angin semakin menusuk. Namun seakan mati rasa, Freya tak beranjak sedikitpun dari pinggir rooftop sebuah gedung berlantai lima. Setengah dari ujung kakinya sudah menggantung di udara. Siap membawanya untuk menjemput kehidupan yang kekal. Kehidupan yang ia harap lebih membahagiakan.

“Mau lompat?”

Suara bariton seseorang menginterupsi Freya. Ia menoleh dan menemukan seorang laki-laki tengah duduk bersandar tak jauh darinya. Wajah lelaki itu terhalang minimnya pencahayaan.

“Kalau mau lompat, jangan sekarang. Tunggu gue pergi dulu. Gue males jadi saksi kematian lo. Nanti kalau gue nggak bisa jawab, gue dikira nutupin sesuatu. Kalau gue kasih kesaksian palsu, gue bakal dipenjara. Ahelah, mana gue masih SMA. Belum bisa bahagiain orang tua. Nanti ya, lompatnya kalau gue udah pergi aja.”

Freya mengernyit. Lelaki itu tampak beranjak. Mungkin dia akan segera pergi agar tidak menyaksikan Freya mati. Namun ternyata bukan itu yang dia lakukan. Lelaki yang belum diketahui namanya itu malah mendekati Freya.

Tak ada yang bisa dikenali dari wajahnya. Di samping gelapnya malam, lelaki itu ternyata menggunakan kain penutup wajah. Freya jadi tidak bisa mengenali lelaki itu.

“Tapi gue lebih takut lihat mayat yang gue kenali jadi pemberitaan di mana-mana. Nggak menutup kemungkinan lo bakal menghantui gue karena udah biarin lo mati sia-sia. Turun, yuk! Emang lo nggak kedinginan apa?” ujar lelaki itu seraya mengulurkan tangan. Bak tersihir oleh ucapannya, Freya meraih tangan lelaki itu tanpa ragu. Dia sedikit melompat dan dengan sigap ditangkap oleh lelaki itu. Mereka berdiri berhadapan dengan tangan yang masih bertaut.

“Gue pikir lo bakal nolak terus teriak-teriak kaya di sinetron. Ternyata yang kayak gitu nggak beneran ada, ya! Gue kebanyakan nonton sinetron bareng ibu jadi gini dah.”

Freya masih membisu. Dia sibuk mengenali siapa sosok lelaki yang bicaranya santai tapi telapaknya sangat dingin dan bergetar. Apa dia sedang menutupi rasa takut melihat Freya akan melompat tadi?

Lelaki itu menghela napas panjang. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah permen. Tangan Freya yang masih digenggam lalu dibalik dan diselipkan permen itu di sana. Ia juga melepas jaketnya untuk dikenakan Freya.

“Lagi ada masalah ya? Sorry, gue nggak bisa kasih apapun buat bantu masalah lo. Itu permen gue dapet dari kembalian rokok, dimakan aja. Katanya makan yang manis-manis bisa bikin suasana hati jadi lebih baik. Di sini dingin banget, mending lo pulang sebelum sakit. Tapi sorry, gue nggak bisa anter lo pulang. Gue udah ada janji sama temen. Gue duluan, ya!”

Lelaki itu melenggang pergi. Tak memberikan kesempatan pada Freya untuk menjawab. Namun baru beberapa langkah, ia berbalik.

“Gue nggak mau pertemuan selanjutnya, kita udah beda alam. Jadi jangan coba-coba lompat setelah gue pergi. Lagi pula, lo masih punya tanggung jawab buat balikin jaket gue.”

Ia kembali melenggang, menyisakan tanda tanya besar di benak Freya. “Dia lupa kasih tau di mana gue bisa balikin jaketnya.”