Pudar, Hilang, Pulang

Napas Sagara tercekat saat pintu kamar Rissa terbuka. Gadis itu sangat kacau. Ikatan rambut yang kendur membuat rambutnya berantakan. Sepasang mata kecil Rissa makin sipit oleh luka yang terpupuk di sana.

“Kak ....”

Suara gadis itu terdengar parau. Menggoreskan perih di relung Sagara yang ia kumpulkan dalam satu kepalan tangan. Amarahnya bergejolak. Berkali-kali batinnya meneriakkan sumpah serapah pada seseorang yang menciptakan tangis di wajah bocilnya.

Sagara menyesal. Seharusnya dari awal dia tidak pernah mengijinkan Jarvis untuk masuk ke kehidupan Rissa. Bertahun ia mengenal kalau Jarvis tak mungkin semudah itu membuka hati pada orang baru. Seharusnya dia tidak membuka peluang, bahkan persaingan, untuk Jarvis bisa mendapatkan Rissa. Seharusnya ia langsung menarik Rissa ke sisinya, bukan membiarkan gadis itu terombang-ambing oleh lelaki yang tak pernah benar-benar melihatnya.

Senyum kecil dipaksakan terbit di bibir Sagara. “Gapapa, Ris. Ayo, duduk dulu.”

Rissa tampak menggigit bibir bawahnya. Menahan sesak saat Sagara berucap Gapapa. Dia membuka jalan agar Sagara dapat masuk lalu kembali menutup pintu kamarnya dengan menyisakan sedikit celah terbuka.

Sagara merangkul Rissa untuk duduk di tepi ranjang. Sedangkan ia duduk di kursi dekat meja belajar Rissa. Secangkir teh hangat yang ia bawa lantas diulurkan ke gadis itu.

“Diminum dulu biar agak lega.”

Rissa menerima uluran itu lantas meminumnya pelan.

“Tadi pulang naik ojol?” Gadis itu mengangguk. “Kok berani?”

“Terpaksa,” jawab Rissa masih terdengar serak, namun sudah lebih baik dari sebelumnya.

“Kenapa nggak chat gue?”

“Nggak kepikiran.”

Sagara mengembus napas halus. “Kacau banget, ya?”

“Pas dia dateng, dia udah nggak liat gue lagi. Gue dianggep nggak ada. Dia nggak nyariin gue. Bahkan perlu waktu setengah jam lebih buat dia sadar kalau gue udah nggak di sana.”

“Setengah jam?”

Rissa mengangguk mantap. Air matanya kembali menggenang. Rasa sakit itu datang lagi.

“Sadarnya pas lo udah balik?”

“Pas gue lagi di ojol mungkin. Nggak tau.”

Mereka kompak mengakhiri obrolan.

Sesekali terdengar sesenggukan Rissa dan embusan napas halus Sagara. Keduanya sama-sama tengah bertarung melawan emosi masing-masing. Sagara ingin bertanya banyak hal pada Rissa. Namun melihat keadaan gadis itu, sepertinya tidak memungkinkan. Dan lagi, dia sudah berjanji hanya akan menjadi pendengar di cerita Rissa kali ini.

“Gue nggak tau kenapa mantannya ada di sana. Kenapa gue harus ditarik pergi dari situ. Dia kan mau ketemu gue, kenapa jadi gue yang pergi? Harusnya cewek itu yang diusir, bukan gue.”

Sagara menyadari kalau Rissa tak menyebut nama Jarvis ataupun Laras sejak tadi. Bukan masalah besar. Sagara bahkan akan mengganti nama Jarvis menjadi si Bangsat kalau dia ada di posisi Rissa.

“Gue kira dia bakal nahan gue atau sekedar negur si Adis yang seenaknya narik-narik gue. Ya, apa kek biar gue tetep ada di situ. Tapi nggak, dia nggak ngelakuin apa-apa. Malah fokus melototin mantannya.”

Kedua belah bibir Sagara mengulum ke dalam. Menahan senyum yang tercipta dari omelan Rissa yang tampak lucu di matanya.

“Padahal dia udah mau confess. Kenapa sih harus dateng di timing itu???” eluh Rissa seraya meraup wajahnya dan kembali menangis.

“Hah? Confess? Siapa yang mau confess? Jarvis?” tanya Sagara panik. Dia sampai memajukan kursi lebih dekat ke Rissa.

“Nggak usah sebut namanya!!!”

“Oh ya oke oke! Maksud gue, si BANGSAT?”

Rissa mengangguk ragu. “Dari kalimatnya sih keliatan gitu. Tapi gatau, keburu dua cewek itu dateng. Sebel gue.”

“Ini gue boleh kasih komentar nggak?”

“Boleh, tapi jangan roasting gue dulu. Roasting temen lo aja.”

“Iyaa, bagian lo mah nanti. Paling seminggu lagi juga gue ungkit,” jeda Sagara untuk terkekeh.

“Sebenernya dua cewek itu nggak salah sih, Ris. Jangan fokus nyalahin mereka berdua doang. Keadaannya nggak bakal kaya gini kalau Jar—si bangsat nggak ngerespon. Wajar mereka berdua nyamperin buat sekedar nyapa. Harusnya yaudah berhenti di situ. Ngapain malah ngobrol sampe setengah jam?”

Gadis di depan Sagara hanya menunduk sambil memainkan ujung kaosnya.

“Udah percaya kan sekarang si bangsat orangnya gimana? Dibilangin dari awal dia belum selese sama masa lalunya nggak mau percaya. Udah kaya gini baru sadar.”

“Jangan roasting gue dulu!!!”

“Itu nasehat, bukan roasting.”

Rissa mencebikkan bibirnya seraya menendang tulang kering Sagara. Yang ditendang hanya meringis sambil mengusap bekas tendangan Rissa.

“Jadi sekarang mau gimana? Kapok belum nyakitin diri sendiri?”

“Kapok.”

“Pinter.”

“Tapi itu jahat banget nggak sih, Kak? Setidaknya jangan ngilangin gue kek. Setidaknya sadar gue nggak ada di situ. Dia kan datengnya sama gue. Masa se-nggak inget itu sama gue?” ujar Rissa yang mulai menangis lagi.

“Berharga banget ya mantannya buat hidup dia sampe dengan gampangnya ngilangin gue? Kalo iya, kenapa sih harus biarin gue masuk ke hatinya? Kenapa pake segala bukain pintu, nyambut, ngasih banyak jamuan, nge-treat gue sebaik mungkin. Kenapa sih dia harus kaya gitu? Kenapa sih dia jahat banget sama gue? Emang gue salah apa sama dia?”

Tangis Rissa semakin keras mendorong Sagara untuk berpindah tempat duduk ke sebelahnya.

“Sshh, udah, udah, lo nggak salah apa-apa, Ris.”

“Gue tuh udah banyak banget effort buat mantesin diri biar layak di samping dia. Gue cuman mau dihargain, Kak. Tapi dia malah gitu.”

“Iya, iya, maaf ya. Maaf lo jadi ketemu manusia seanjing itu. Dah, abisin dulu nangisnya. Tapi jangan lama-lama. Nanti mata lo makin merem. Kalo sampe nggak bisa melek kan berabe,” ujar Sagara menenangkan sembari mengusap pelan punggung Rissa.

“Boleh peluk nggak, Kak?”

You can do anything you want. Come here.

Sagara merenggangkan tangan, mengajak Rissa ke pelukan. Dengan segenang air mata yang meluruh di pipi, Rissa melesak ke tubuh Sagara. Lelaki itu lantas mengunci tubuh Rissa dalam dekapan yang hangat.

Selintas kejadian di halte berseliweran di pikiran Rissa. Semalam, memori itu masih ampuh membuat beribu kupu-kupu terbang di perutnya. Namun sore ini, memori menggelikan itu telah menjelma menjadi cakaran kucing yang tampak sederhana tapi perihnya tak terelakkan. Dunia benar-benar berputar begitu cepat.

Rissa tak bisa menemukan apa yang ia dapat dari Jarvis di pelukan Sagara. Tak ada debaran yang membuat telinganya bergetar. Tak ada degup yang menular ke miliknya. Tak ada desir panas yang mengalir di tubuhnya.

Namun satu hal yang ia temukan di Sagara tapi tak ada di Jarvis: kenyamanan.

Rissa tak perlu merasa bersalah atas pelukan ini. Rissa tak perlu memikirkan apa yang ada di pikiran Sagara saat ini. Rissa tak perlu memikirkan bagaimana sikap Sagara setelah ini.

Dan yang terpenting, Rissa tak perlu menjadi orang lain di depan Sagara.

Karena Sagara takkan membuat dunianya pudar. Sagara takkan membuatnya hilang. Dan, Sagara akan selalu menunggunya pulang.

Saat duniamu mulai pudar Dan kau merasa hilang Ku akan selalu jadi sayap pelindungmu