Raja Pamungkas dan Kapten
Gue udah ngerasa aneh waktu coach Yoga nyuruh Dewandaru buat latihan di GOR. Nggak mungkin kalau cuman latihan biasa kita semua sampe dibawa ke tempat yang cukup jauh dari sekolah. Dan kecurigaan gue terbukti. Pak Tegar bawa tim lain buat tanding sama Dewandaru.
Anak Dewandaru riuh di belakang punggung coach dan pembina Dewandaru yang emang suka bikin kejutan yang menguji mental. Apalagi Sultan yang nggak ada habisnya ngata-ngatain dua orang lelaki dewasa itu. Gue cuma bisa pasrah. Nggak ada yang bisa disalahkan sama respon mereka. Lawan yang dibawa Pak Tegar nggak main-main.
Baruna, tim voli dari SMA Permata yang namanya udah besar dari dulu. Udah jadi rahasia umum lulusan Baruna banyak yang jadi atlet nasional. Bahkan tahun ini, salah satu alumninya berhasil tembus PON buat mewakili Jawa Tengah.
Sialnya, Baruna turut serta di Popda tahun ini. Dulu, waktu gue masih kelas sepuluh, Dewandaru juga dapet kesempatan berhadapan sama Baruna. Dan yah, kita kalah. Gue akui, buat tim yang berhasil menelurkan atlet-atlet nasional, Baruna emang nggak bisa diremehkan.
Tahun ini, gue kaptennya. Ada beban tersendiri dengan adanya jabatan yang melekat di pundak gue. Kalau tahun ini Dewandaru dikalahin lagi sama Baruna, sama artinya gue melanggar janji saat pelantikan kapten Dewandaru empat bulan yang lalu.
“Saya akan membawa Dewandaru menjadi tim yang lebih baik dari tahun sebelumnya.”
Ah, apa gue bisa merealisasikan janji itu?
Ngomong-ngomong soal pelantikan, sebenernya gue nggak minat buat jadi kapten. Mungkin banyak pemain yang mengincar jabatan ini. Bukan karena mereka punya jiwa kepemimpinan atau punya keinginan buat memajukan Dewandaru. Hm, kalian tau sendiri gimana keadaan loker gue setiap hari. Itu salah satu alasannya.
Ya, jadi populer.
Nggak munafik, gue suka sama kepopuleran yang gue dapatkan hasil dari jabatan gue sebagai kapten. Tapi kalo tim gue lagi menang. Kalo lagi kalah? 70% hujatan datengnya ke gue. Tapi untungnya gue belum pernah dihujat sih. Lah, tim gue nggak pernah kalah HAHAHAHA.
Sebenernya jadi kapten nggak buruk juga. Tapi rasanya gue pengen jadi pemain biasa aja. Ngeliat bang Leon—kapten Dewandaru tahun lalu—ngurus tim bikin gue mikir Wah, nggak bakal dah gue jadi penerusnya bang Leon. Tapi kenyataannya, bang Leon sendiri yang nunjuk gue jadi kapten.
Padahal gue sempet mikir yang bakal jadi kapten itu si Barra. Gue yakin dia lebih jago ngurus tim daripada gue. Dia selalu punya solusi yang kadang bikin gue lah iya ya, kok gue nggak kepikiran? Trus apa ya, dia tuh orangnya pekaan banget. Selalu tau siapa siapa yang lagi butuh semangat dari dia. Ya, finansial dia juga dukung sih.
Dengan segala kesempurnaan itu, si Barra malah ikutan dukung gue jadi kapten. Kadang gue mikir, INI BENERAN PADA DUKUNG GUE APA MERENDAH DOANG DAH? Atau jangan-jangan niat ngerendahin gue ...?
Tiba-tiba kerah kaos gue ditarik. Mata gue membulat pas tau pelakunya adalah Sultan.
“Lo pasti udah tau hari ini Baruna bakal dateng. Kenapa lo nggak kasih tau gue?!” ucap Sultan dengan memeras habis kerah kaos gue. Gue cuman diem karena kaget.
Barra sigap narik tangan Sultan dari kerah gue. Yang lain turut memisahkan. Gue refleks ngelirik coach Yoga sama Pak Tegar yang untungnya nggak liat kejadian tadi. Kalo iya, gue bakal dikritik abis-abisan.
Tatapan Sultan ke gue belum melunak. Gue menghela napas kasar lantas melenggang. “Ikut gue ke belakang.”
“Apa? Mau alesan apa lo? Mikir lo, Ja! Lo pikir Dewandaru bakal menang tanpa persiapan kaya gini hah?!” gertak Sultan setibanya Kami di luar GOR.
“Gue nggak pernah tau hari ini kita bakal lawan Baruna. Coach Yoga nggak ngomong apa-apa sama gue.”
“Lo yang pertama kali dapet kabar kita bakal latihan di GOR. Harusnya lo tau alesan coach ngajak latihan di sini. Dan alesannya pasti, kita bakal tanding. Tapi apa? Lawan Baruna? Gila ya lo?!”
“Gue bener-bener nggak tau, Tan! Lo boleh cek chat gue sama coach Yoga kalo lo nggak percaya,” jawab gue lantas mengeluarkan ponsel dari saku. Namun Sultan dengan segera menepisnya.
“Kalo lo nggak tau, sikap lo nggak mungkin kaya gini.”
“Kaya gini gimana maksud lo?”
“Tenang, seakan nggak ada hal besar yang terjadi. Seakan lo tau kalo semua ini bakal terjadi. Lo cuman diem di saat semua anak-anak ri—”
“KARENA GUE KAPTEN!”
Atmosfer menghening. Sultan keliatan kaget pas gue nggak sengaja ngomong nada tinggi ke dia. Jujur, gue paling nggak suka dituduh hal-hal yang nggak gue lakukan. Apalagi dalam hal negatif.
“Sorry,” ucap gue setelah beberapa saat hening. Gue sadar, sebagai kapten sebisa mungkin gue harus menahan emosi biar tim gue nggak berantakan. Apalagi saat gue harus menghadapi Sultan yang emang mengedepankan emosi buat nyelesain masalah.
“Gue kapten, Tan. Kalo gue ikut panik kaya yang lain, siapa yang nenangin lo semua? Gue nggak mungkin tega nggak ngomong ke kalian hari ini ada tanding bareng Baruna. Gue diem karna gue lagi mikir solusi. Jadi tolong lah, tahan emosi lo. Jangan memperkeruh suasana.”
Terdengar decakan dari mulut Sultan. “Trus sekarang gimana? Kita lawan Baruna? Mana bisa, Ja! Dewandaru nggak ada persiapan apa-apa!”
Gue menepuk bahu Sultan. “Lakuin kaya yang biasa lo lakukan aja, Tan. Jangan merasa terintimidasi sama mereka. Mungkin maksud pak Tegar bawa Baruna ke sini biar mental kita udah siap ngadepin mereka pas popda.”
Tangan gue ditepis Sultan. Dia balik masuk ke GOR meninggalkan gue sendirian. Sultan sebenarnya nggak seburuk itu. Kemampuan dia nggak bisa diraguin. Bahkan sejak setahun yang lalu saat kita sama-sama masih kelas sepuluh. Julukan tosser terbaik yang melekat di diri Sultan nggak ditempel gitu aja. Makanya sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan Sultan.
Cuman kekurangan dia itu nggak bisa mengontrol emosi dan kurang percaya diri sama kemampuannya. Bisa dibilang Sultan itu pemain yang paling sulit diatur. Gue mengakuinya. Dia emang yang paling sering menguras tenaga gue.
Kaki gue melangkah kembali masuk ke GOR. Di balik pintu, Barra berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Melihat gue masuk, dia menarik punggung dari sandaran lalu menghampiri gue.
“Gimana?” tanya Barra.
“Biasa, dia nggak pede Dewandaru bakal menang. Nggak ada masalah yang serius. Tenang aja, Bar.”
“Gue cuman kaget dia berani narik baju lo pas ada pelatih. Untung nggak ketauan.”
“Kayaknya emosi dia lagi tinggi. Nggak biasanya Sultan sensi kaya gini.”
Barra mendecak. “Ya, udah balik ke lapangan yok! Coach Yoga udah nyariin lo tadi.”
“Baruna udah dateng?” tanya gue selagi melangkah.
“Tuh,” jawab Barra dengan dagunya yang menunjuk ke pintu masuk.
Pandangan gue lantas mengikuti arah tunjuknya. Terlihat beberapa pemain berseragam biru dongker tengah menaruh barang-barang mereka di pinggir lapangan. Refleks gue menegakkan tubuh. Melihat Barra yang agak bungkuk, tangan gue bergerak memukul punggungnya.
“Jangan bungkuk!”
“Brengsek! Gue lagi bales chat!”
“Oh!” Gue terkekeh. “Gue kira lo nunduk gara-gara takut.”
“Halah, takut apa? Serangan mereka nggak pernah lolos dari block-an gue.”
Senyum tipis terulas di bibir gue. “Good job!”