Rasa yang Tak Asing
“Mau pulang bareng, Frey?” ajak Adam saat keduanya keluar dari sebuah kafe. Mereka baru saja selesai radiv (rapat divisi) bersama anggota lainnya. Atmosfer divisi acara masih cukup panas. Mereka harus gerak cepat setelah banyak membuang waktu hanya untuk memutuskan konsep dan tema acara.
“Nggak usah, Dam. Gue bawa mobil sendiri,” jawab Freya lesu. Gadis itu masih merasa bersalah telah mengacaukan suasana di divisinya.
Adam menepuk pucuk kepala Freya pelan. “Nggak usah dipikirin. Pasti selesai, kok. Sekarang lo fokus sama bagian lo. Segera hubungi koordinator divisi ATP buat konfirmasi venue yang bakal kita pakai. Kalau ada kesulitan, jangan ragu buat kabarin gue atau yang lain.”
Freya tersenyum ringan. “Makasih, Dam.”
Lelaki itu mengangguk lalu melambaikan tangannya pergi. Freya berjalan lesu menuju mobilnya. Namun ia belum ingin pulang. Ia lalu duduk di kursi yang berjejer di pinggir trotoar.
Freya duduk di sana. Memandangi jalanan ramai dengan pandangan yang menerawang. Ia menyadari ternyata bekerja bersama banyak orang tak semudah yang ia bayangkan. Banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum membuat sebuah keputusan. Semakin banyak kepala yang berpikir tidak berarti masalah semakin mudah untuk diselesaikan. Namun akan semakin rumit sebab setiap kepala memiliki pemikiran yang berbeda-beda.
Maniknya menyipit. Bola matanya bergerak mengikuti seorang lelaki di seberang sana. “Itu Justin bukan, sih?” gumam Freya tanpa melepas pandangan dari lelaki di sana. Ia sontak teringat sesuatu. “Astaga! Gue belum hubungin dia! Udah lama banget, dong? Ya, ampun bisa-bisanya gue lupa.”
Freya segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mencari sebuah kontak yang telah disimpan oleh lelaki itu dengan nama ”Jangan lupain gue.”. Freya belum mengganti namanya. Sengaja mungkin? Entahlah, ia pun berharap takkan melupakan lelaki itu.
Gadis itu lantas menelepon Justin. Refleks yang baru disadari saat nada sambung berbunyi. Ngapain gue nelpon, sih? batin Freya. Namun sebelum ia berhasil memutuskan telepon, seseorang di seberang sana sudah mengangkatnya.
“Halo?” Jantung Freya mengentak sangat keras. Suara Justin masih sama merdunya seperti tiga tahun yang lalu.
“Justin? Gue di belakang lo,” ujar Freya seraya berdiri. Lelaki di sana tampak berbalik. Freya mengangkat tangannya ragu lalu melambai. Sebuah perasaan hangat menjalar di tubuhnya saat Justin berdiri menghadapnya.
“Sorry baru hubungin lo. Kemarin gue sibuk sama kepanitiaan.”
Justin dan Freya duduk bersebelahan. Ada sedikit jarak di antara mereka. Namun masih cukup untuk saling mendengar degup jantung mereka yang menggema. Freya memainkan tali tas selempangnya untuk mengurangi rasa gugup. Sedangkan Justin menggenggam gelas coklat hangatnya dan es coklat yang diletakkan di antara mereka berdua.
“Nggak apa-apa. Gue udah seneng lo masih mau hubungin gue. Gue nggak pernah minta lo harus hubungin gue sekarang, besok, atau mungkin lusa. Kapanpun itu, gue bakal selalu tunggu.”
Freya tersenyum canggung. Peninggalan masa lalu yang sedang dikubur dalam-dalam kembali tergali.
“Ya … gue juga bakal hubungin lo. Cuman waktu itu gue lupa jadi baru hubungin sekarang.”
Sebuah tawa ringan menyapa telinga kiri Freya. “Iya udah, gue juga udah bilang nggak apa-apa, kan? Nggak usah dipikirin lagi.” Justin menyodorkan minuman dalam genggamannya. “Mau minum?”
Freya menggeleng. “Gue baru aja minum tadi. Lo beli dua?”
“Iya, tadi ada temen yang nitip.”
Freya mengangguk kecil. Ia memperhatikan seragam yang dikenakan Justin. “Gue kayak pernah lihat baju yang lo pakai.”
Justin yang sedang meminum coklat hangatnya lalu menatap kaos yang dipakainya. “Oh, iya? Gue kerja di sana. Tempat penitipan anak,” jawab Justin sambil menunjuk bangunan di seberang. Freya refleks mengikuti arah tunjuk Justin. “Ya, udah luamayan lama, sih. Hampir setahun. Lo pernah ke sana?”
“Ah, iya! Gue pernah ke situ. Waktu itu nemenin Trav …,” jeda Freya tiba-tiba.
“Nemenin siapa?”
“Travis,”lirih Freya. Ia melihat kerutan bingung di kening Justin. “Noir,” jelasnya yang sontak memudarkan kerutan tersebut.
“Ooh, gue baru tau dia nitipin …?”
“Adik.”
“Iya, gue baru tau adiknya dititipin di situ. Nggak pernah ketemu juga.”
Keduanya hanya mengangguk bersamaan. Canggung, tidak ada obrolan yang mengalir lagi. Mereka sama-sama sibuk menatap jalanan yang mulai menguning akibat langit senja. Mengais hal yang mungkin dapat dijadikan bahan obrolan selanjutnya.
“Oh ya, lo berarti ikut kepanitian bareng Danny, kan?” Gotcha! Akhirnya Justin menemukan topik selanjutnya.
“Iya, Jayden juga ikut kan? Gue waktu itu liat pas temu perdana.”
Justin mengangguk. “Mereka berdua ikut. Tapi mereka beda divisi katanya. Lo masuk divisi apa, Fre?”
Ada perasaan aneh yang Freya rasakan saat Justin menyebut namanya. “Oh, gue masuk acara. Capek banget. Banyak hal yang harus dipikirin dan dikerjain. Kayaknya gue nggak cocok jadi anak acara. Baru awal aja gue udah ngerusak suasana, bikin beban anak acara makin banyak. Gue jadi nyesel masuk ke acara.”
Justin menatap Freya dari samping kiri. Maniknya meneliti satu persatu detail wajah cantik gadis itu yang lama ia rindukan. Semuanya masih sama, yang membedakan hanya polesan make up yang makin membuatnya berkilau. Cara gadis itu berbicara, gestur, raut wajah, semuanya sangat tidak asing untuk Justin.
Gadis itu masih sama, masih suka mengeluh. Padahal ia bisa melakukan segalanya. Di saat seperti ini, Justin hanya mengeluarkan kalimat penyemangat singkat lalu membawa gadis itu untuk bersandar di pundaknya, itu dulu. Apakah sekarang ia masih bisa melakukan hal yang sama?
“Gimanapun lo harus tetep ngelakuin itu kan? Jadi, selesaikan aja apa yang udah lo mulai.” Gue di sini bakal selalu dukung lo dan ada buat lo. Begitu kalimat yang diucapkan Justin sebelum Freya tenggelam di pundaknya.
Freya menatap Justin dengan pandangan berair. Ia tentu mengingat kebiasaan itu. Saat telapak lebar Justin menangkup pipinya lalu menariknya dalam pelukan. Pundak Justin adalah pelabuhan ternyaman untuk segala rasa penat yang menghampiri hidupnya. Apakah pundak itu masih sama nyamannya seperti dulu? Sayangnya, Freya sudah tak punya kesempatan untuk memastikannya.
Gadis itu menoleh cepat saat Justin tiba-tiba menangkup mulutnya, seperti ingin muntah. “Justin, kenapa? Lo sakit?” ujar Freya penuh raut kekhawatiran. Wajah Justin sudah memerah. Sepertinya ia sudah menahan mualnya dari tadi.
Lelaki itu melambai ringan, berusaha mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Matanya masih memejam. Lagi-lagi efek obat itu menyerangnya. Perlahan, Justin membuka matanya lalu menurunkan tangan yang membekap mulutnya. Ia menatap Freya lalu tersenyum ringan. “Minumannya nggak enak. Lo jangan beli di situ ya. Nggak enak sumpah,” ujar Justin disertai kekehan. Freya sangat yakin Justin berbohong.
“Oh, iya, gue kayaknya harus balik kerja. Takut temen gue nungguin. Gue duluan nggak apa-apa, kan?” pamit Justin lantas berdiri.
Freya refleks ikut berdiri. “Lo beneran nggak apa-apa? Muka lo pucet banget, Tin.”
Justin menggeleng lalu tertawa ringan. “Nggak apa-apa, Fre.” Tungkainya kembali melangkah. Sekuat apapun Justin menahan, tubuhnya tak mampu menerima. Pandangannya semakin kabur. Tubuhnya limbung yang lantas ditangkap oleh Freya.
“JUSTIN!”