Rencana Pembebasan
Angin malam menyelinap dari celah jendela tua yang berderit. Seorin berdiri gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel yang sesekali ia nyalakan untuk melihat apakah ada kabar dari seseorang yang akan ia temui malam ini atau tidak.
Tiba-tiba terdengar suara langkah pelan bergema di lantai beton, membuat jantungnya berpacu. Pintu gudang berderit dan terbuka sedikit. Seorang lelaki yang mengenakan hoodie rapat masuk. Sekilas wajahnya tertutup kegelapan. Namun saat ia semakin mendekat, Seorin dapat melihat kalau pria itu adalah...
“Asahi?”
Lelaki itu melepas tudung hoodie-nya. “Kirain lo nggak dateng,” ujarnya tampak lega.
“Sebelum kita ngomongin strategi, bisa nggak lo ceritain dari awal dulu kenapa kalian bisa kaya gini?”
Asahi menatap sekeliling, memastikan tak ada yang mengintai. Lalu ia mengajak Seorin untuk duduk di kursi yang ada di sana.
“Kami diculik seminggu sebelum konser di Seoul yang kemarin dibatalin,” katanya. “Kami lagi latihan malem di studio waktu mereka dateng. Tiba-tiba lampu mati trus tubuh gue kaya disergap sama seseorang dan leher gue disuntik sesuatu yang bikin gue langsung pingsan. Kami dibawa ke tempat yang gue nggak tau persis di mana. Tempatnya gelap, dingin, dan bau darah. Di sana, darah kami diambil buat bahan ritual biar mereka bisa menyamar jadi kami.”
Seorin menatap serius. “Gimana lo bisa kabur?”
“Karena vampir yang bertugas niru gue ceroboh. Ritual dia gagal. Waktu dia lengah, gue langsung bunuh dia. Gue ambil baju sama gelangnya buat pura-pura jadi dia dan kembali ke sini sampai sekarang.”
Seorin mengangguk. “Lo tau dari mana kalo senjata perak yang ditetesi darah kalian bisa bunuh mereka?”
“Gue udah buktiin sendiri waktu bunuh vampir yang mau nyamar jadi gue,” jelas Asahi sambil menunjukkan luka sayatan di lengannya. “Waktu ngambil darah gue, vampir itu nggak sengaja jatuhin pisau yang baru dipake buat nyayat lengan gue. Pisau itu kena kakinya dan vampir itu langsung kesakitan. Gue liat ada bekas terbakar di sana. Dari situ gue langsung menyimpulkan kalau senjata yang ada bekas darah gue bisa membahayakan mereka. Terus gue nekat buktiin dugaan gue dengan ngambil pisau itu, gue lumurin sama darah gue yang masih netes, trus gue tusukin ke dia. Ternyata vampir itu langsung berubah jadi abu.”
Seorin menahan napas. Terbayang kalau Asahi telat sedikit saja, dia pasti sudah celaka.
“Setelah bebas dari sana, gue banyak baca buku soal vampir. Ternyata vampir lemah sama senjata yang terbuat dari perak. Itu bisa melumpuhkan mereka tapi nggak cukup buat membunuh mereka. Cara biar senjata itu bisa membunuh, kita harus lumurin sama darah manusia yang jiwanya diambil sama mereka.”
Asahi menutup bekas lukanya lagi. “Makanya sekarang kita harus cari cara buat bebasin para member dulu sebelum nyerang mereka.”
“Lo udah tau di mana mereka dikurung? Eh, ya enggak ya? Tadi lo udah ngomong nggak tau tempatnya di mana.”
“Gue emang nggak tau,” jeda Asahi untuk mengambil sesuatu dari dalam jaketnya. “Tapi peta ini tau.”
Sebuah kertas yang sudah setengah kusut didorong ke depan Seorin. Ia menatap kertas itu lamat.
“Itu bukan peta asli punya mereka. Gue bikin tiruannya dari peta yang nggak sengaja gue temuin di meja produser. Gue pelajarin peta itu trus gue gambar sendiri. Mungkin nggak begitu tepat. Tapi setelah gue telusuri tempatnya sih bener. Gue inget pernah lewati jalur itu pas gue balik ke sini bareng vampir yang udah nyamar jadi member.”
“Lo emang jago soal gambar ya, Sa.”
Asahi nyengir. “Bikin Mickey Mouse tiga detik adalah karya terbaik gue.”
Seorin tertawa. Misi ini bikin dia lupa kalau lelaki di hadapannya adalah seorang Asahi yang dia bucinin setengah mati. Asahi yang ia temui sekarang tampak berbeda dari Asahi yang ia lihat di panggung. Wajah lelaki itu bebas dari sentuhan riasan. Pakaiannya pun sederhana. Seorin merasa seperti sedang bertemu dengan seorang teman lama alih-alih seorang idol.
“Tapi gue juga penasaran sama lo, Rin.” Asahi menatap skeptis. “Kok bisa lo nggak kena hipnotis mereka?”
Seorin menyangga dagu. “Gue juga nggak tau. Padahal kayaknya mending gue ikut kehipnotis aja nggak sih? Kalo kek gini posisi gue bakal lebih bahaya karena mereka pasti nargetin gue terus.”
“Tenang aja,” sahut Asahi lembut. “Selama ada gue, lo nggak bakal kenapa-napa.”