Rumah Baru

Do we need somebody Just to feel like we're alright Is the only reason you're holding me tonight 'Cause we're scared to be lonely?

“Lagu apaan sih!”

Travis secepat kilat menggeser layar ponselnya untuk beralih ke lagu lain.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

“Bangsat makin parah! Ini spotify gue kenapa, sih?!”

Ibu jari Travis menekan layar dengan penuh emosi untuk beralih ke lagu selanjutnya.

Roti dan selai. Bunga dan kumbang.

“BANGSAAAATTT!” umpatnya seraya mengangkat ponselnya tinggi, bermaksud membanting kalau saja ia tidak ingat ponsel itu adalah alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki sekarang. Ponsel itu mengambang di udara dan hanya ia ayunkan penuh kekesalan.

Travis menekan tombol 1 di layar ponselnya dan langsung tersambung dengan seseorang.

“Spotify premium gue habis, beliin!”

“Lo di mana anjing??? Nyokap lo nyariin dari tadi!”

“Beliin gue spotify premium! Gue nggak mau denger roti dan selai!” tandas Travis lantas memutuskan telepon tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang sana.

Kalian bertanya di mana Travis berada?

Sebuah halte tua yang sepertinya sudah lama tidak terpakai adalah jawabannya. Halte tersebut terletak di pinggir jalanan yang tengah disergap kesunyian malam. Tidak banyak pemukiman di sana. Hanya semak belukar yang kadang berbunyi gemrisik oleh terpaan angin.

Travis juga tidak tahu bagaimana ia bisa berjalan sampai ke tempat ini.

Ya, dia berjalan. Tidak menggunakan motor atau mobil mahalnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki jenjang yang terlapis celana selutut dan sandal slop bernilai jutaan rupiah. Kaos pendek yang dipakai berbalut hoodie hitam dengan kalung rantai menjuntai di dada. Rambutnya dikuncir dengan poni yang berantakan. Kedua telinganya terselip airpods yang tak mengeluarkan suara. Trauma sama roti dan selai.

Entah style apa yang digunakan Travis saat ini. Dia hanya asal menggunakan apa yang tergeletak di kasur sebelum ia “kabur” dari apartemennya.

Sepasang netra yang menyipit karena kantuk berpendar menatap sekitar. Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada kehidupan yang ia kenal. Semuanya terasa asing. Namun Travis takkan dibuat takut. Inilah dunianya. Tak merasakan kehadiran siapapun walau ia berdiri di tengah keramaian sekalipun.

“Huuu ... huuuu ... huuu ....”

Kepalanya menoleh cepat sampai tulang lehernya berbunyi. Ia meringis sambil mengusap leher. Suara apa tadi? Tidak ada seorang pun di sini. Namun ia yakin ada suara seseorang menangis di sekitar sini. Bahkan suaranya terekam jelas walau telinganya tersumbat earphone tak bersuara.

Sial! Bukan keramaian seperti ini yang Travis maksud!

“Hiks ... hiks ....”

Rintihan itu kembali terdengar. Kali ini Travis refleks berdiri. Ia melihat cahaya dari kejauhan tengah berjalan mendekat, seperti cahaya dari lampu motor. Namun lajunya sangat pelan. Ia bahkan tidak melihat seseorang tengah mengendarainya.

“Bangsat, ini gue lagi diliatin setan?!?!”

Travis berusaha tenang. Walaupun di sisi lain, kakinya sudah memasang kuda-kuda yang tidak tahu fungsinya untuk apa. Kedua tangannya mengepal di depan wajahnya. Menunggu serangan yang tidak tahu bisa ia lawan atau tidak.

Motor itu makin dekat. Mata Travis makin memicing. Semakin jelas ia melihat kalau ternyata ada seseorang di sana. Bukannya mengendarai, orang itu malah mendorong motornya. Padahal dapat Travis dengar mesinnya menyala. Orang lampunya aja nyala.

“Itu orang lagi stress banget kah sampe dorong motor malem-malem sendirian???”

Travis mengubah gaya berdirinya menjadi tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Kembali ke mode “sok” keren yang biasa ia perlihatkan di depan orang-orang.

“Lah cewek?” gumamnya lagi saat orang itu hampir melintas di depannya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan Travis di sini.

“Mbak?”

Yang dipanggil sontak menoleh dengan raut terkejut. Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan Travis.

“Kenapa nggak dinaiki, Mbak?”

Cewek itu mengusap hidungnya yang berair. Dengan sempoyongan, ia berusaha menyandarkan motornya yang tampak kelewat berat untuk tubuh kecilnya. Travis refleks menengadahkan tangan melihat motor itu hampir jatuh. Setelahnya, cewek itu melangkah ke hadapan Travis dengan takut-takut.

Mata sembab gadis itu menelusuri penampilan Travis dari atas sampai bawah. Telunjuknya terulur ragu menuju bagian perut Travis dan menusuknya kilat. Travis terkejut dan langsung mundur.

“Ngapain, anjir?!”

“Ini ... manusia?”

Rahang bawah Travis hampir jatuh ke tanah mendengarnya.

“Harusnya gue yang tanya!”

“Gue manusia, sih. Kalo lo?”

“Ya, gue manusia juga.”

Kenapa pembicaraan ini terdengar sangat tidak wajar????

Setelah mendengar jawaban Travis, energi cewek itu seperti meluap hingga ia merosot ke tanah.

“Akhirnya penderitaan gue selesai!!!”

Cewek itu tiba-tiba langsung menyergap kaki Travis. “Tolongin gue, please!”

“Apaan woy! Lepasin!” tolak Travis seraya berusaha menarik kakinya dari pelukan cewek itu.

“Tolong gue,” rengek cewek itu.

“Lepasin dulu anjing! Apa mau gue tendang muka lo?”

Cewek itu mencebikkan bibir lantas melepas kaki Travis. Cowok itu berbalik dan duduk di kursi halte.

“Duduk,” pintanya sambil menunjuk sebelah kirinya dengan dagu.

Cewek itu kesusahan berdiri. Dia menjulurkan tangan, bermaksud meminta bantuan pada Travis tapi tak direspon. Lihat, dia bahkan bisa berdiri tanpa bantuan sekarang. Tipu muslihat wanita memang luar biasa.

Sebelum pantatnya mendarat di kursi, Travis terlebih dahulu menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Mesin motornya nggak mau dimatiin? Bapak lo yang punya POM kah?”

Cewek itu mendecih lantas menghampiri motornya untuk mematikan mesin. Ia kembali dan menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga besi panjang tempat mereka duduk bergoyang.

“Gue butuh bantuan lo. Please, tolongin gue!”

“Gue bukan anak bengkel. Nggak bisa benerin motor lo.”

“Hah???” Cewek itu menggaruk kepalanya bingung. “Motor gue nggak kenapa-kenapa tuh???”

“Kenapa nggak dinaikin?”

“Nggak bisa hehe.” Gadis itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya lagi.

“Nggak bisa??? Maksudnya???”

“Ya nggak bisa, nggak bisa gue naikin. Apanya yang maksudnya???”

“Lo nggak bisa naik motor? Trus ngapain bawa MOTOR???”

Cewek itu tampak gelisah menjawab pertanyaan Travis. Hampir saja Travis refleks beli obat penghilang ketombe atau kutu soalnya ini cewek ngapain garuk-garuk kepala mulu anjing?????

“Jadi gini, gue baru punya motor ini sekitar semingguan lah. Nah gue baru latihan makenya sekali sama abang gue.”

“SEKALI???”

“TENANG DULU! Gue jago loh walau cuman sekali latihan. Approved by abang gue sendiri! Cuman ... ya ... sekarang gue lagi lupa aja cara makenya hehe.”

“Itu namanya lo belum jago, tolol! Mana ada orang lupa cara bawa motor!”

“Ya .. gitu. Ya nggak lupa sih. Tapi ya ... iya.”

Travis memejam frustasi sambil meraup wajahnya. “Lagian ngapa sih cewe pake motor gituan???”

Motor yang dipakai cewek itu memang jarang dipake sama cewek. Motornya sejenis kaya punya Travis. Warnanya merah. Dilihat dari catnya yang masih mengilap tanpa goresan, Travis percaya kalau motor itu masih baru.

“Yeee, emang nggak boleh?! Lo tuh sama aja ya kaya abang-abang gue! Mereka aja boleh punya motor kaya gitu masa gue enggak??”

“Motornya nggak cocok sama lo. Liat, lo nggak bisa pake kan?”

“Bukan nggak bisa, tapi LUPA.”

“SAMA AJA.”

Mereka saling memunggungi karena kesal.

“Jadi lo mau bantuin gue nggak?” ujar cewek itu memulai percakapan kembali.

“Apa?”

“Gue mau nyusulin abang gue di arena. Anterin gue ke sana dong!”

“Arena apaan?”

“Arena balapan! Abang gue markasnya di sana. Dia anak geng motor tau. Keren nggak?”

Alis Travis mengerut sejenak lalu kembali normal. “Biasa aja.”

Cewek itu dengan enteng memukul bahu Travis. “Please, gue minta tolong banget. Gue harus ke sana sekarang sebelum balapannya selesai. Tolongin gue dong!”

Travis sampai menggeser posisinya ketika cewek itu terus mengikis jarak. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan waktu sudah melewati tengah malam. Sebenernya dia males banget nolongin cewek ini. Di samping dia emang nggak ada basic suka nolong orang, dia sama sekali nggak kenal sama cewek ini. Siapa namanya, darimana dia berasal, apa dia benar-benar manusia, intinya bukan Travis banget yang nolongin orang asing yang bahkan nggak ngasih untung apa-apa buat dia.

Tapi sayangnya cewek itu megang kelemahan Travis.

Kelemahan Travis: cewek lemah yang butuh dia

Alias dia bakal luluh kalau ada cewek lemah yang ngandelin dia. Bawaannya kek pengen ngasih apapun buat dia gitu. Tapi lemahnya yang nggak dibuat-buat kaya pick me girl. Dan yang bisa menilai semua itu cuman Travis. Sialnya, cewek ini punya kriteria cewek lemah yang bikin Travis luluh!

“Lo tau tempatnya?” tanya Travis.

“Tau!”

Travis mengulurkan tangan. “Mana kuncinya?”

Cewek itu kegirangan sebelum akhirnya teringat suatu hal. “Eh, lo bisa bawa motor gue, kan?”


“Gue nggak nyangka ternyata lo jago!” pekik cewek itu saat Travis membawa motornya melesat menembus malam. Ia sampai memeluk erat perut Travis saking kencangnya laju motor itu. Travis tak keberatan. Toh motor ini memang diciptakan untuk berboncengan dengan gaya seperti ini, pikirnya.

“Ini ke mana—aduh!” Travis menoleh yang membuat dahinya terantuk helm cewek itu. Cukup sakit karena dia nggak pake helm dan persis terkena ujung kaca helm-nya.

“Aduh! Sorry! Lo sih nggak mau pake helm-nya tadi! Ini masih lurus aja! Tuh, yang banyak lampunya itu tempatnya!”

Travis melaju sesuai arahan cewek itu. Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang masuk. Jaring-jaring besi mengalungi tempat itu. Raungan motor yang familier untuk Travis terdengar bersahutan. Dia memarkirkan motornya di pinggir gerbang lantas mendekat ke pagar untuk melihat suasana di dalam.

Banyak sekali orang berkumpul di sana dengan pakaian senada bersama motor mereka yang berisik. Travis cukup tercengang mengetahui ada tempat seperti ini di sekitarnya.

“Baru tau ada tempat kaya gini di sini,” gumamnya.

“Emang jauh dari kota sih. Nggak banyak orang yang tau,” jawab cewek itu yang lantas berdiri di sebelah Travis.

Mereka termenung sejenak sebelum akhirnya cewek itu tersadar sesuatu. “Oh, iya! Lo kan nggak bawa kendaraan ya?! Trus lo baliknya gimana dong?!”

“Ya lo yang bawa gue ke sini.”

“Iya juga.” Gadis itu menggaruk kepalanya. “Gue minta abang gue nganterin lo ya? Soalnya kalo gue yang nganterin sama aja. Nanti gue nggak bisa balik ke sini lagi.”

“Nggak usah! Gue bisa minta jemput asis—temen gue nanti.” Setelahnya, Travis tampak mengirim pesan kepada seseorang sebelum ia menyimpan ponselnya kembali untuk mengagumi tempat itu.

“Oh iya, kenalin nama gue Jelita. Makasih banget ya udah bantuin gue. Padahal kita nggak saling kenal.”

Travis melirik pada uluran tangan cewek itu. “Ngapain kenalan? Kaya kita bakal ketemu lagi aja.”

“Emangnya kita nggak bakal ketemu lagi?”

Entahlah, Travis pun tidak bisa memastikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Jelita. Namun ia yakin, cepat atau lambat, dia akan kembali ke tempat ini lagi.

Bukan untuk menemui Jelita.

Melainkan untuk menghuni rumah barunya.